Cuaca Kota Bandung sore itu terasa lebih dingin dari biasanya. Maklum saja, Kota Kembang sedang sering diguyur hujan dengan kondisi suhu mencapai 20-23 derajat celcius dan kecepatan angin 20-30 kilometer per jam.
Karena cuaca dingin di Kota Bandung, para pengendara motor di jalan juga terlihat berlomba-lomba memakai jaket yang lebih tebal. Agak nyaman sepertinya jaket yang mereka kenakan kini harus diganti menjadi dibanding jaket yang dipakainya sehari-hari.
Setelah memacu motor matic keluaran tahun 2017 berwarna hijau ini, perjalanan tiba melintas ke Jalan Dipatiukur, Kota Bandung. Namun, karena kondisi jalan sedang macet-macetnya di jam pulang kerja, perjalanan kemudian dialihkan ke jalan memotong di Jalan Haur Pancur menuju Kelurahan Sadang Serang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lantaran kondisi jalannya berupa gang, laju kendaraan tidak bisa dipacu dengan cara kebut-kebutan. Belum lagi, hilir mudik warga harus jadi kewaspadaan jika tak ingin nantinya malah disalahkan. Intinya, jangan sampai berkendara kebut-kebutan karena jalannya hanya berupa gang.
Di tengah kosentrasi mengendara di jalanan gang, motor matik hijau itu sempat dikagetkan dengan kehadiran 3 anak kecil yang berlarian di ujung persimpangan di kawasan Gang Basis. Seolah tak menghiraukan kendaraan yang lalu lalang, ketiga bocah lelaki tersebut tetap asyik berlarian mengejar rekannya yang lain untuk bisa lebih awal sampai di tujuan.
Tak lama setelah itu, muncul suara bernada peringatan dari salah seorang ibu-ibu yang keluar dari dalam rumahnya. Tampaknya, perempuan ini merupakan ibu dari salah satu anak yang berlarian tadi seraya memanggilnya untuk segera pulang.
"Aldi, mau ke mana? Udah sore, cepet pulang! Cepet mandi kamu, jangan main terus," kata ibu tersebut yang suaranya cukup terdengar nyaring dari arah jalan gang yang sedang dilintasi.
Mendapat panggilan yang seolah menjadi tanda peringatan, Aldi, salah satu bocah lelaki yang berlarian tadi lalu mengurungkan niatnya untuk bermain bersama teman sebayanya. Ia lantas berbalik arah dan langsung pulang menuju rumah untuk menuruti perintah ibunya.
Percakapan singkat antara ibu dan anaknya di atas nampaknya bisa terdengar normal untuk generasi zaman sekarang. Tidak ada sesuatu yang membuatnya menjadi aneh karena memang hal itu sudah biasa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Tapi jika menarik ke masa 10-20 tahun ke belakang, percakapan seperti tadi masih menjadi hal yang belum selumrah sekarang untuk dilakukan, terutama bagi warga Kota Bandung. Bukan tanpa alasan, masyarakat Kota Kembang begitu kental dengan budaya kesundaan yang dalam percakapannya selalu menggunakan bahasa Sunda dalam aktivitas sehari-hari.
Contohnya kata dari Bahasa Sunda seperti Aa, Teteh (panggilan kepada orang yang lebih tua untuk laki-laki dan perempuan) menjadi hal yang lumrah didengarkan. Maupun kata punten yang biasanya digunakan sebagai kata ganti permisi saat dalam posisi berpapasan dengan orang yang lebih tua umurnya.
Meski kata tersebut sampai sekarang masih digunakan oleh warga Kota Bandung, namun dominasinya sudah menurun. Banyak warga yang kemudian memilih menggunakan Bahasa Indonesia dibanding Bahasa Sunda, karena menanggap hal itu lebih universal untuk berkomunikasi dengan seseorang.
Misalnya diakui Nia Novianti (28). Ibu muda asal Bandung ini mengaku lebih sering berkomunikasi menggunakan Bahasa Indonesia dibanding menggunakan Bahasa Sunda, terutama saat menghadapi lawan bicara yang umurnya lebih tua dari Nia.
"Saya lebih enak pakai Bahasa Indonesia sih kalau ngomong sama yang lebih tua yah, enak aja ngucapinnya. Ke bapak sama ibu juga pakai Bahasa Indonesia dibanding pakai Bahasa Sunda," katanya kepada detikJabar belum lama ini.
Tak hanya ke orang tua, ke anaknya yang masih berumur 3 tahunan, Nia juga menggunakan Bahasa Indonesia saat berkomunikasi. Ia merasa lebih nyaman disamping ada sebuah kekhawatiran yang Nia rasakan jika harus bicara dengan anaknya dengan menggunakan Bahasa Sunda.
Salah satu faktornya adalah, Nia khawatir pembendaharaan kata di Bahasa Sunda yang ia kuasai merupakan bahasa yang tidak begitu santun untuk anaknya pelajari. Maklum, saat masih kecil hingga beranjak remaja, Nia bergaul dengan kalangan anak milenial (anak yang lahir pada rentang waktu 1981-1996) yang mengucapkan Bahasa Sunda sudah dicampuradukan dengan bahasa lain dalam kesehariannya.
"Makanya, mending pakai Bahasa Indonesia aja kalau lagi komunikasi sama anak mah. Watir soalnya a, takutnya kata yang kita ucapin itu kasar dalam malah diikutin sama anak kita. Jadi yaudah, mending pakai Bahasa Indonesia aja komunikasinya," ungkap Nia.
Sama halnya dengan Nia, Oris Riswan, seorang pekerja swasta di Kota Bandung juga memilih berkomunikasi dengan anaknya menggunakan Bahasa Indonesia. Ada salah satu faktor utama yang Oris pilih sehingga komunikasinya dengan si anak sekarang dominan menggunakan Bahasa Indonesia dibanding Bahasa Sunda.
Kepada detikJabar, Oris mengaku, untuk saat ini lebih mementingkan supaya anaknya mahir terlebih dahulu dalam berbicara. Ketika sudah dirasa cakap dalam berkomunikasi dengan orang lain, Oris berencana untuk mengajarkan anaknya bicara Bahasa Sunda yang memang menjadi bahasa sehari-harinya yang ia ucapkan.
"Kalau saya, sekarang mah yang penting anak itu bisa lancar dulu ngomongnya. Responsnya misalkan kalau ditanya sama orang udah bagus, baru saya ajarin Bahasa Sunda. Karena saya juga pengin komunikasi ke depannya itu sama anak saya pakai Bahasa Sunda kayak saya diajarin sama orang tua saya dulu," ujar Oris.
Fenomena menurunnya penggunaan Bahasa Sunda turut dikuatkan melalui data yang disajikan Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat. Dalam dokumen bertajuk Hasil Long Form Sensus Penduduk 2020, sekitar 30 persen warga Jabar sudah tidak menggunakan lagi bahasa daerah, terutama Bahasa Sunda yang kental digunakan masyarakat Tanah Priangan.
Sekedar diketahui, bahasa daerah di Jawa Barat ada 3 macam yaitu Bahasa Sunda, Betawi dan Cirebonan. Bahasa Sunda menjadi bahasa yang paling dominan digunakan masyarakat Jabar seperti di Bandung, Garut, Tasikmalaya hingga ke Cianjur.
Misalnya pada bagian pembahasan bertajuk Kemampuan Berbahasa Indonesia dan Penggunaan Bahasa Daerah, BPS mencatat 72,45 persen warga Jabar menggunakan bahasa daerah di lingkungan keluarganya. Kemudian, BPS juga mencatat 71 persen warga Jabar masih menggunakan bahasa daerah di lingkungan tetangga/kerabat.
Meskipun persentasenya masih tinggi, namun BPS memberikan catatan tentang penggunaan bahasa daerah, terutama Bahasa Sunda di Jabar yang mulai berkurang digunakan dari generasi ke generasi. Gap-nya pun cukup tinggi jika melihat data yang disajikan BPS itu.
Terlihat pada pembahasan bertajuk Kemampuan Berbahasa Indonesia dan Penggunaan Bahasa Daerah Menurut Generasi, BPS mencatat generasi Pre Boomer (lahir 1945 dan sebelumnya) masih cukup tinggi menggunakan bahasa daerah, terutama Bahasa Sunda di Jabar dengan persentase 84,73%. Dominasi Bahasa Sunda ini masih digunakan generasi Pre Boomer dalam komunikasinya di lingkungan keluarga.
Tapi kemudian, persentase penggunaan Bahasa Sunda mulai menurun ke generasi Baby Boomer (lahir 1946-1964) menjadi 79,9 %. Terus menurun lagi ke generasi Millenial (lahir 1981-1996) menjadi 73,92 %, Gen Z (lahir 1997-2012) 72,44 % dan makin menurun tajam ke generasi Post Gen Z (lahir 2013 hingga sekarang) menjadi 63,99 %.
Di pembahasan selanjutnya, BPS juga mencatat persentase penduduk yang menggunakan bahasa daerah di lingkungan tetangga/kerabat mengalami penurunan dari generasi ke generasi selanjutnya. Generasi Pre Boomer yang paling tinggi dengan 83,06 %, kemudian Baby Boomer 78,16 %, Millenial 70,59 %, Gen Z 70,96 % dan menurun drastis penggunaan Bahasa Sunda ini di kalangan generasi Post Gen Z menjadi 63,20 %.
Mengenai fenomena ini, Balai Bahasa Jabar punya sejumlah catatan mengapa penutur bahasa daerah, terutama Bahasa Sunda sekarang mulai ditinggalkan masyarakat Jawa Barat. Kepala Balai Bahasa Jabar Herawati menyebut Bahasa Sunda saat ini mulai ditinggalkan generasi sekarang karena merasa nyaman jika bisa menuturkan Bahasa Indonesia maupun bahasa asing.
"Bahasa daerah sebagai salah satu warisan budaya dan sebagai identitas kelokalan ada kalanya tidak lagi dibuktikan dengan penggunaan bahasa tersebut, terutama di kalangan generasi muda. Pernyataan yang begitu mendasar bahwa bahasa cebagai cermin budaya bangsa, justru tidak atau belum sepenuhnya terwujud dalam praktik upaya pemertahanan bahasa melalui penggunaan bahasa daerah, terutama dalam ranah keluarga," katanya.
"Banyak penutur, terutama di kalangan generasi kiwari/generai milenial yang telah mengabaikan hal itu dan beralih menggunakan bahasa lain. Mereka cenderung melupakan bahasa daerahnya. Bahkan, sekarang ini kita melihat kecenderungan para generasi muda lebih memilih untuk menjadi penutur bahasa asing atau hanya menggunakan bahasa Indonesia," ungkapnya menambahkan.
Supaya Bahasa Sunda masih bisa digunakan generasi zaman sekarang, Herawati mengatakan harus ada kesadaran pelestarian dari Bahasa Sunda itu sendiri. Sebab menurutnya, ancaman kepunahan bahasa daerah tidak hanya terjadi di wilayah perkotaan saja. Di wilayah pelosok juga mulai berkurang penutur bahasa daerah akibat adanya faktor tersebut.
"Meskipun secara kuantitas penutur bahasa Sunda masih banyak, persaingan penggunaan bahasa semakin tampak dan tidak hanya terjadi di kota besar, tetapi juga sudah merambah hingga ke pelosok. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya pergeseran bahasa. Maka, sikap positif terhadap bahasa daerah harus terus ditumbuhkan dan dipupuk terutama di generasi muda yang harus bangga dengan bahasa daerahnya," pungkasnya.
Akhirnya, setelah melalui gang-gang di perkotaan, motor matik warna hijau ini sudah tiba di Jalan Tubagus Ismail setelah menembus jalan pintas untuk menghindari kemacetan di Kota Bandung sore itu. Untungnya jalanan jadi sedikit lenggang yang membuat laju motor matik warna hijau tersebut bisa lancar hingga sampai tempat tujuan.
Simak Video "Video Bahasa Jawa-Sunda Jadi Bahasa Daerah yang Aman dari Kepunahan"
[Gambas:Video 20detik]
(ral/mso)