.webp)
Saparua bagi warga Kota Bandung sudah menjadi kawasan fasilitas publik yang biasanya dimanfaatkan untuk berolahraga. Tempatnya tak pernah sepi dari hiruk-pikuk, apalagi di waktu pagi maupun sore hari.
Namun jauh sebelum kawasan ini dikenal sebagai sarana olahraga, plus arena bermain yang dilengkapi dengan taman-taman khas perkotaan, Saparua, terutama di gelanggang olahraga-nya pernah menjadi saksi band-band beraliran cadas bermunculan. Mereka di antaranya bahkan masih terbilang eksis hingga sekarang meramaikan blantika musik bawah tanah di Indonesia.
Sebut saja Burgerkill, Jasad, Jeruji, Forgotten, Pas Band, Koil, Runtah, Purgatory maupun Pure Saturday dan band-band cadas lain dari Kota Kembang. Mereka pernah manggung di GOR Saparua dan merasakan moshpit panggung yang chaos sembari diiring hentakan aliran musik yang saat itu tengah merasuki anak muda medio 90-an.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi sayang, bangunan yang berada di Jalan Banda, Kota Bandung itu kini sudah terlupakan. Tak ada lagi distorsi nyaring yang terdenger di dalamnya, maupun moshing hingga pogo yang biasanya membuat GOR Saparua penuh disesaki kalangan anak muda.
Perjalanan GOR Saparua sebagai tempat pergerakan kolektif anak muda Kota Bandung kemudian direkam dalam sebuah film dokumenter berjudul 'Gelora: Magnumentary of Gedung Saparua'. Film garapan Rich Music melalui kampanye DistorsiKERAS dan disutradarai Alvin Yunata ini pun sukses menghentak kenangan mengenai keberadaan tempat tersebut. Alvin mampu menghadirkan kembali bagaimana suasana GOR Saparua, lantaran merupakan personel Teenage Death Star dan Harapan Jaya.
Bayangan tentang kemegahan GOR Saparua pun sudah mulai terlihat di awal film dokumenter itu. Di awal cuplikannya, Rich Music menulis sebuah penggalan berisi 'Saparua adalah pusaran energi, asilum bagi anak muda, tempat lahirnya imajinasi intelektual, seniman dan para eksentrik'. detikJabar pun sudah mendapatkan izin dari Founder Rich Musik M Andika Agustiansyah untuk mengutip film dokumenter garapannya.
Tapi lagi-lagi, itu sekarang hanya menyisakan kenangan. Buktinya saja, generasi sekarang tidak ada yang mengetahui jika GOR Saparua pernah digunakan sebagai tempat menggelar event musik, atau lebih tepatnya band-band cadas di Kota Bandung.
Seperti saat detikJabar menanyakan hal ini kepada 3 anak SMP yang saat itu tengah asyik nongkrong di Saparua. Ketiganya yaitu Andi, Herdi dan Nanang, kompak tidak mengetahui jika GOR yang berada di tengah-tengah kawasan tersebut dulunya pernah venue yang kerap diburu band-band beraliran bawah tanah untuk menunjukan eksistensinya di dunia musik Tanah Air.
Dari ketiganya, hanya Herdi yang memang pernah menonton konser musik secara langsung di Kota Bandung. Namun, saat itu ia menontonnya di sebuah lapangan terbuka bukan seperti di GOR Saparua yang bersifat venue indoor untuk acara musik.
"Nonton konser pernah a, biasanya yang di lapangan-lapangan terbuka gitu. Kalau GOR Saparua, enggak tahu kalau pernah dipakai buat acara musik. Tahunya ya buat olahraga aja," kata Herdi kepada detikJabar beberapa waktu lalu.
Meski di kalangan generasi sekarang GOR Saparua sudah dilupakan, tapi bagi Sandi (26), kenangan itu masih tertanam dalam ingatannya. GOR Saparua biasanya menjadi list yang tidak pernah terlewatkan, terutama untuk menonton band-band metal manggung.
Pengalaman itu Sandi rasakan ketika ia duduk di kelas 2 SMP sekitar tahun 2007. Sejumlah gigs di GOR Saparua pernah ia rasakan, salah satunya adalah Bandung Berisik yang diisi beberapa band metal dari Kota Bandung dan tengah naik daun.
"Kalau di Saparua yang paling keinget itu pas Bandung Berisik. Saya lupa lagi itu edisi keberapa, tapi kayaknya edis pertama-pertama Bandung Berisik-nya. Ya gitu, kalau di Saparua mah beda sama konser di lapang-lapang sekarang," katanya.
Tapi sayang, bisingnya GOR Saparua sudah tidak bisa lagi Sandi rasakan di sekitar awal tahun 2010an. GOR tersebut ditutup untuk event musik, apalagi waktu itu ada tragedi AACC yang membuat konser musik cadas dilarang digelar lagi di Kota Bandung.
"Semenjak AACC, konser di Saparua juga udah enggak ada. Sampai akhirnya kan sekarang konser-konser metal pindah ke lapangan-lapangan di tempat militer. Di sana juga seru sebetulnya, tapi masih seru pas zaman di Saparua," ucapnya.
Kenangan tentang GOR Saparua juga masih terekam dalam benak Ariyono Wahyu Widjajadi. Pria yang akrab disapa Alex dan kini menjadi pegiat sejarah di Komunitas Aleut itu, masih ingat betul bagaimana moshpit yang begitu besar di GOR tersebut.
Kenangan itu memang tidak begitu aneh untuk Alex rasakan. Sebab saat GOR Saparua masih digunakan sebagai venue musik cadas, ia merupakan dari salah satu vocalis dari band punk di Kota Bandung bernama The Clown.
Alex kemudian bercerita mengapa GOR Saparua menjadi venue favorit band-band bawah tanah menggelar gigs di sana. Ada satu alasan yang Alex anggap begitu sederhana, yaitu karena urusan perizinan di Saparua tidak begitu rumit dibandingkan izin keramaian di tempat lain di Kota Bandung.
"Sebetulnya kenapa akhirnya GOR Saparua ini digunakan sama band-band metal, itu karena ngurus izinnya yang bisa dibilang gampang dibanding di tempat-tempat lain. Ya waktu itu memang ngurus perizinan masih belum ribet, sehingga GOR Saparua ini banyak dipakai gigs sama anak-anak," kata dia kepada detikJabar beberapa waktu lalu.
Namun, kenangan tentang GOR Saparua tidak bertahan lama. Setelah sempat ramai pada medio awal tahun 90an, GOR tersebut tidak bisa digunakan kembali untuk menggelar acara musik pada awal tahun 2000-an.
"Saya enggak ingat pasti tahunnya, tapi di tahun 2000-an awal itu udah enggak bisa dipakai lagi GOR Saparua. Itu kalau enggak salah sama Pemkot Bandung akhirnya dikembalikan lagi fungsinya untuk olahraga. Sejak saat itu, enggak pernah ada lagi gigs di GOR ini," pungkasnya.
