Cijulang merupakan salah satu desa di Kabupaten Pangandaran yang memiliki nilai historis. Menurut keterangan sesepuh setempat, Desa Cijulang sudah ada sejak 15 Januari 1815 yang saat itu masih di bawah pemerintahan Raden AA Wiradikusuma.
Nama yang digunakan saat itu adalah Desa Cijulang. Kata Cijulang diambil dari nama sungai yang mengalir di wilayah Cijulang dan sungainya menjadi batas desa antara wilayah Cijulang dengan Batukaras.
Dilansir dari laman Desa Cijulang, dahulunya Cijulang merupakan salah sungai yang panjang. Hulunya ada di Gunung Bangkok di Langkaplancar yang bermuara di Samudera Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Warga setempat percaya jika Sungai Cijulang sejak dulu airnya tidak pernah surut. Bahkan dulu wilayah Langkaplancar dan Cigugur menjadi hulu sungai yang dipenuhi hewan-hewan dan burung besar seperti julang, rangkong dan kangkareng yang kerap mandi dan minum di sungai Cijulang.
Budayawan Pangandaran Erik Krisna Yudha atau akrab disapa Ki Geude mengatakan saat para burung mandi di sungai, burung yang paling menonjol adalah burung julang.
"Karena badanya paling besar serta panjang paruhnya dan hitam berkilau warna bulunya," kata Erik kepada detikJabar belum lama ini.
Versi lainnya menyatakan jika Cijulang berasal dari kata Ci atau air dan Julang yang artinya ngajulang alias menjulang. "Makanya wajar jika Cijulang itu diprediksi menjadi daerah yang berdiri tegak atau datarannya tinggi," katanya.
Erik mengatakan pembangunan zaman dulu dan sekarang berbeda. Sebab pembangunan zaman sekarang yang menjadi patokan adalah Rencana Tata Ruang Wilayah atau RT/RW.
"Nah begitu pun di daerah ini yang menjadi acuan pembangunan wilayah Kabupaten Pangandaran adalah RT/RW," ucapnya.
Menurutnya penetapan RT/RW di Pangandaran melibatkan ahli, termasuk di dalamnya ada sejarawan hingga budayawan. Hasil akhirnya, pendapat mereka jadi salah satu rumusan dalam dalam kebijakan RT/RW.
Sedangkan zaman dulu, pembangunan menurutnya berdasarkan Uga. Uga merupakan tradisi tutur. "Uga itu tradisi tutur yang keluar dari tokoh spiritual yang disampaikan secara turun-temurun, contohnya di Cijulang isukan bakalan aya papatong euntreup (besok akan ada capung singgah), tapi orang zaman dulu nggak bisa menerjemahkan itu," jelas Erik.
Namun setelah sekian tahun berlalu, hal itu akhirnya terungkap. Terbukti dengan adanya bandara dan pesawat yang beroperasi di Pangandaran. "Oh yang dimaksud papatong euntreup teh sing horeng pesawat udara (yang dimaksud papatong euntreup itu ternyata pesawat)," ucapnya.
(mso/orb)