Jemparingan gaya Mataraman adalah olahraga panahan tradisional yang menggabungkan aktivitas fisik dengan kekayaan budaya. Meskipun berasal dari Kesultanan Yogyakarta, jemparingan telah berkembang dan semakin dikenal di berbagai daerah, termasuk di Cirebon, Jawa Barat.
Saat ini, puluhan masyarakat di Cirebon telah menggemari jemparingan gaya Mataraman. Bahkan, mereka telah membentuk komunitas Paseduluran Jemparingan Cirebon (PJC), yang menjadi wadah bagi para pecinta olahraga panahan tradisional ini.
Didirikan sejak 2016, komunitas tersebut kini telah memiliki sekitar 60 anggota. Meskipun merupakan olahraga panahan tradisional, jemparingan gaya Mataraman tidak hanya diminati oleh kalangan dewasa, tetapi juga oleh para anak muda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jemparingan gaya mataraman sendiri merupakan sebuah bentuk olahraga panahan tradisional yang mengandung nilai-nilai sejarah dan menampilkan kekayaan budaya. Olahraga panahan ini pertama kali lahir di lingkungan Keraton Yogyakarta.
Keunikan olahraga ini terletak pada cara melakukannya, yang tidak berdiri seperti panahan pada umumnya, melainkan dilakukan dalam posisi duduk bersila.
Asal Usul Jemparingan
Dikutip dari laman resmi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, kratonjogja.id, asal usul jemparingan di Kesultanan Yogyakarta, yang juga dikenal sebagai jemparingan gaya Mataram Ngayogyakarta, dapat ditelusuri sejak awal keberadaan kesultanan ini.
Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792), raja pertama Yogyakarta mendorong rakyat dan pengikutnya untuk mempelajari panahan sebagai sarana untuk membentuk watak atau karakter kesatria.
Watak kesatria yang dimaksudkan mengacu pada empat nilai penting yang harus dimiliki oleh setiap warga Yogyakarta. Nilai-nilai ini, yang diamanatkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I sebagai pedoman hidup rakyatnya, meliputi sawiji, greget, sengguh, dan ora mingkuh.
Sawiji mengandung arti berkonsentrasi, greget berarti memiliki semangat, sengguh menggambarkan rasa percaya diri, dan ora mingkuh berarti memiliki sikap tanggung jawab.
Seiring dengan tujuan pembentukan watak itulah, jemparingan tampil sangat berbeda dari jenis panahan lainnya yang lebih menekankan kemampuan pemanah dalam membidik sasaran dengan tepat. Pada jemparingan gaya Mataram, pemanah tidak hanya memanah dalam posisi bersila, tetapi juga tidak membidik dengan mata.
Busur diletakkan secara mendatar di depan perut, sehingga arah tembakan panah lebih bergantung pada perasaan dan ketajaman insting pemanah.
Gaya memanah ini selaras dengan filosofi jemparingan gaya Mataram, yakni pamenthanging gandewa pamanthenging cipta. Filosofi ini mengandung makna bahwa pembentangan busur harus seiring dengan konsentrasi penuh pada sasaran yang hendak dicapai.
Dalam kehidupan sehari-hari, pamenthanging gandewa pamanthenging cipta mengajarkan bahwa setiap individu yang memiliki cita-cita harus dapat berkonsentrasi sepenuh hati pada tujuan tersebut agar cita-citanya dapat terwujud.
Alat Jemparingan
Diikutip dari sumber yang sama, Jemparingan berasal dari kata jemparing yang berarti anak panah. Busurnya dikenal dengan nama gandewa, sementara sasarannya bukan berupa lingkaran, melainkan silinder kecil yang disebut wong-wongan atau bandulan. Jemparingan terdiri dari beberapa komponen, yaitu deder, bedor, wulu, dan nyenyep.
Deder adalah batang anak panah yang terbuat dari bambu berbentuk silinder. Bedor adalah mata panah yang terbuat dari besi. Wulu adalah bulu yang terpasang pada pangkal panah, biasanya terbuat dari bulu unggas, yang berfungsi untuk menstabilkan arah tembakan jemparing. Sedangkan nyenyep adalah bagian pangkal dari jemparing yang diletakkan pada tali busur saat digunakan untuk memanah.
![]() |
Gandewa atau busurnya terdiri dari cengkolak, lar, dan kendheng. Cengkolak adalah pegangan busur yang biasanya terbuat dari kayu keras namun ringan. Lar adalah bilah yang terletak di kiri dan kanan cengkolak, umumnya terbuat dari bambu, yang elastisitasnya digunakan untuk melontarkan jemparing. Kendheng adalah tali busur, dengan ujung-ujungnya yang dikaitkan pada kedua ujung lar.
Bandul atau wong-wongan adalah sasaran dalam permainan jemparingan. Bentuknya adalah silinder tegak setinggi sekitar 30 cm dan diameter 3 cm. Bagian atas bandul diberi warna merah, yang disebut molo atau sirah (kepala), sementara bagian bawahnya berwarna putih dan dinamakan awak (badan).
Di antara molo dan awak terdapat garis berwarna kuning setebal 1 cm, yang disebut jangga (leher). Sebuah bola kecil yang tergantung pada tali diletakkan di bawah bandul. Pemanah yang mengenai bola ini akan mendapat pengurangan nilai. Bandul dan bola tersebut digantung dengan ikatan tali yang kencang pada bagian atas dan bawah. Di bagian atas bandul, terdapat lonceng kecil yang akan berbunyi sebagai tanda jika ada jemparing yang mengenai sasaran.
Gaya Jemparingan Masa Kini
Seiring berjalannya waktu, jemparingan gaya Mataram Ngayogyakarta berkembang. Saat ini, terdapat berbagai teknik memanah dan variasi sasaran yang digunakan. Meski demikian, inti dari jemparingan tetap berpegang pada filosofi awalnya sebagai sarana untuk melatih konsentrasi, serta tidak meninggalkan tradisi memanah sambil duduk bersila.
Beberapa kelompok jemparingan kini mengubah teknik membidik. Jika dulu gendewa dalam posisi horizontal di depan perut, kini gendewa sering kali ditempatkan secara vertikal dengan sedikit kemiringan, sehingga pemanah dapat lebih leluasa membidik menggunakan mata.
Perubahan ini juga melahirkan bentuk gendewa yang baru, yaitu dengan lekukan pada bagian cengkolak tempat menaruh jemparing, yang sebelumnya tidak diperlukan dalam posisi horizontal.
Selain itu, terdapat beberapa varian bandulan. Beberapa di antaranya hanya terdiri dari molo dan awak, sementara yang lain menambahkan bagian bokong, yaitu bagian hitam sepanjang 1 cm di pangkal bandulan.
Digemari Masyarakat dari Berbagai Usia
Dengan keunikan dan kekhasannya, jemparingan gaya Mataram telah memperoleh perhatian luas dan digemari oleh masyarakat dari berbagai kalangan dan usia. Di Cirebon, Jawa Barat, komunitas yang menjadi tempat berkumpulnya para penggemar olahraga panahan tradisional ini adalah Paseduluran Jemparingan Cirebon (PJC).
Didik Kamsudin, salah seorang pengurus PJC, menjelaskan bahwa komunitas ini didirikan pada tahun 2016. Ia menyebutkan bahwa terbentuknya PJC berawal dari sekumpulan orang yang memiliki hobi yang sama, yaitu menekuni olahraga jemparingan.
"Awalnya sebelum terbentuk komunitas, itu masih kumpulan. Lama kelamaan makin banyak (penggemar jemparingan) akhirnya kita bentuk komunitas Paseduluran Jemparingan Cirebon," ucap Didin saat berbincang dengan detikJabar di Kota Cirebon, baru-baru ini.
Menurut Didin, saat ini Paseduluran Jemparingan Cirebon telah memiliki sebanyak 60 orang anggota. Olahraga tradisional ini ternyata tidak hanya diminati oleh orang dewasa, melainkan juga anak-anak muda.
"Yang uniknya di kita ini, dari anak-anak muda sampai kakeknya itu ada. Kadang kalau pas hari Sabtu-Minggu itu jadi acara keluarga, pada bawa anak, cucu dan memanah bareng," kata Didin.
Komunitas Paseduluran Jemparingan Cirebon rutin mengadakan kegiatan memanah di kawasan Bima, Kota Cirebon. Baik untuk sekadar latihan maupun mengadakan perlombaan atau yang dalam dunia olahraga jemparingan ini lebih dikenal dengan sebutan gladhen.
Menariknya, setiap kali mengadakan gladhen, para pemain jemparingan itu diwajibkan menggunakan busana tradisional khas daerah masing-masing. Jika pemain jemparingan ini berasal dari Jawa, busana yang dikenakan pastinya mencerminkan kekayaan budaya Jawa, seperti kain batik, baju lurik, dan berbagai aksesori tradisional, termasuk iket atau penutup kepala.
"Kalau untuk gladhen, syarat utamanya harus berbusana daerah masing-masing. Kalau untuk latihan itu terserah komunitas. Tapi kalau di kami, saat latihan minimal memakai iket kepala," ucap Didin.
Bagi Didin, jemparingan gaya mataraman ini bukan hanya sebatas olahraga, melainkan juga sebuah cara untuk menjaga tradisi dan melestarikan warisan budaya.
"Jadi, satu sisi olahraganya dapet dan rasanya juga dapet. Kemudian kita juga mengusung tradisi berbusana dari masing-masing daerah," ujar Didin.
"Terus untuk usia-usia di atas 40 tahun, (jemparingan) ini tidak terlalu memerlukan stamina fisik yang harus seperti olahragawan. Yang penting secara fisik kita merasa sehat dan pikiran harus tenang. Karena kalau pikiran kurang tenang, malah enggak karuan," kata Didin.
(yum/yum)