Ada tujuh penari, mengenakan pakaian berwarna hijau, membawa buku dan kuas, dilukis dalam sebuah kanvas yang sudah diwarnai merah putih. Lukisan itu dinamai Lukisan Tari Bedoyo Pitu-pitu atau Bedhaya Pitu-pitu, dipesembahkan untuk memperingati HUT ke-77 Kemerdekaan Indonesia.
Pameran lukisan tari rasa ini dipamerkan di Studio Jeihan, Jalan Padasuka, Kota Bandung dari 23 Agustus hingga 4 September 2022 mendatang.
Lukisan itu merupakan karya pelukis asal Bandung yakni Azasi Adi. Azasi mengatakan, pameran yang ia buat adalah pameran tari rasa yakni tari bedoyo, yang dikenal dari Jawa Tengah Keraton Yogyakarta dan Surakarta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada 46 lukisan penari bedoyo terpajang di studio ini, 25 di antaranya dilukis menggunakan arang dan 21 lainnya menggunakan cat. Proses melukisnya dilakukan sekitar tiga bulan dari pertengahan Mei hingga awal Agustus. Lukisannya sendiri akan dijual setelah pameran usai.
"Tari bedoyo pitu-pitu, bedoyo pitu-pitu yaitu 77, untuk merayakan Kemerdekaan RI ke-77. Ada juga pesan di usia ke-77 itu kita harus terus belajar dan berkarya, makannya itu penarinya bawa buku dan bawa kuas," kata Azasi kepada detikJabar, belum lama ini.
![]() |
"Buku artinya kita harus terus belajar, sementara kuas kita harus terus bekarya. Warna didominasi merah dan putih karena menyambut kemerdekaan. Hijaunya itu hijau royo-royo, kita itu negara agraris, negara subur," tambah Azasi.
Selain lukisan tari bedoyo pitu-pitu, ada juga lukisan tari bedoyo lainnya, yakni tari bedoyo tafakur yang menggambarkan tafakur dengan susana tengah malam. Ada juga tari bedoyo tabur emas simbol benih atau tanaman yang berubah menjadi emas atau memberikan kesejahteraan.
"Lukisan tari bedoyo ini dibuat berdasarkan pengalaman, studi pribadi, melihat foto-foto dan ada buku catatan kecil, setelah cocok baru dipindahkan ke kanvas. Dilakukan supaya ada nilai gugah, kesadaran makro cosmos dan mikro cosmos," ujarnya.
Menurut Azasi, tarian ini masih digunakan, terutama bedoyo ketawang atau pengangkatan raja di Solo atau Yogyakarta. Tarian ini memiliki kesakralan tersendiri. Bahkan penarinya harus suci, bersih, berpuasa dan latihannya di hari tertentu yakni selasa.
![]() |
Trauma di Masa Kecil
Azasi adalah anak almarhum pelukis Jeihan yang tutup usia pada 2019. Azasi sudah belajar melukis sejak umur empat tahun.
Kepada detikJabar, Azasi menyebut ia pernah mengalami trauma dalam melukis. Hal itu membuatnya sempat vakum melukis.
"Ini lebih ke catatan pribadi, angka 46 (jumlah lukisan yang dibuat) ini menandai perjalanan melukis pribadi saya dan saya temukan surga yang hilang yakni bakat melukis," ujarnya.
"Bakat melukis ini saya lakukan sejak umur 4-5 tahun di atas lantai dengan kapur, 6-8 tahun terus melukis, di umur 8 tahun saya dapat trauma nggak hujan nggak panas, tiba-tiba almarhum ayah saya menyuruh melukis, dimarah-marahin. Sejak itulah saya stuck melukis, hilang, dan kosong," jelasnya.
Lalu 10 tahun kemudian, tepatnya pada umur 18 tahun Azasi kembali melukis, namun belum menemukan kepuasan dalam melukis.
![]() |
"Sebenarnya di tahun 86 saya melukis lagi, cuman acak corak, nggak ada kenikmatan. Sering ikutan pameran, tapi tak pernah puas. Pas bulan Mei kemarin dan mengenang almarhum Pak Jeihan yang meninggal tahun 2019 lalu, ada dorongan yang tidak biasanya, ini mah tiba-tiba ada dorongan ambil arang ke kanvas, nggak ada keraguan. Ada kepuasan tersendiri, alhamdulillah," terang Azasi.
(wip/orb)