Fakta-fakta Seputar Masjid Agung Sumedang

Fakta-fakta Seputar Masjid Agung Sumedang

Nur Azis - detikJabar
Selasa, 05 Apr 2022 03:00 WIB
Masjid Agung Sumedang
Masjid Agung Sumedang. (Foto: Nur Azis/detikJabar)
Sumedang - Masjid Agung Sumedang salah satu masjid yang ramai dikunjungi jemaah saat melaksanakan ibadah salat tarawih. Masjid tersebut merupakan bangunan cagar budaya di Kabupaten Sumedang.

Masjid yang dibangun sejak masa kolonial Belanda ini, ternyata menyimpan fakta menarik untuk diketahui. Masjid ini dekat Alun-alun Sumedang atau tepatnya di Kelurahan Regol Wetan, Kecamatan Sumedang Selatan.

1. Dibangun Saat Bupati Pangeran Sugih-Diperluas Saat Bupati Pangeran Mekah

Masjid Agung Sumedang dibangun Tahun 1850 saat Bupati Sumedang dijabat oleh Pangeran Suria Kusumah Adinata atau dikenal dengan Pangeran Sugih (1836-1882). Masjid tersebut dibangun di atas tanah wakaf dari Raden Dewi Siti Aisyah.

Masjid Agung Sumedang awalnya memiliki luas bangunan 583,66 meter persegi di atas tanah seluas 6.755 meter persegi. Pembangunannya dimulai pada tanggal 4 Rajab 1267 H atau 3 Juni 1850 M dan selesai pada tanggal 8 Ramadhan 1270 H atau 5 Juni 1854 M.

Bangunan tersebut kemudian diperluas saat Bupati Sumedang dijabat oleh Pangeran Aria Suria Atmadja atau dikenal juga dengan sebutan Pangeran Mekah (1883-1919). Bangunan Masjid Agung Sumedang mengalami pelebaran ke depan, samping utara dan samping selatan dengan penghulunya K.H.R. Muhammad Hamim.

2. Sosok Pangeran Sugih

Pangeran Aria Suria Kusumah Adinata (1836-1882) merupakan cucu Pangeran Kornel dari pasangan Raden Adipati Kusumahyuda (1828-1833) dan Nyi Mas Samidjah. Ia terkenal dengan sebutan Pangeran Sugih lantaran menjadi bupati terkaya se-tatar Sunda kala itu.

Selain kaya harta, ia juga dikenal dengan bupati yang pintar serta memiliki banyak istri, yakni 31 istri. Bagi kalangan masyarakat Sumedang, sugih diartikan sebagai sugih harta, sugih istri dan sugih harti (kaya harta, kaya istri dan kaya ilmu).

Berdasarkan catatan babon silsilah Karaton Sumedang Larang, Pangeran Sugih memiliki tiga padmi atau permaisuri serta istri pertama dan 27 selir. Ketiga Padmi itu diantaranya, Dalem Istri Kesatu yaitu Raden Ayu Ratna Ningrat, Dalem Istri Kedua Raden Ayu Rajapamerat dan Dalem Istri Ketiga Raden Ayu Mustikaningrat.

Raden Ayu Ratnaningrat merupakan putri dari Raden Demang Sumadilaga, Jaksa Sumedang. Raden Ayu Rajapamerat merupakan putri dari Raden Aria Wiranatakusuma tiga dari Karang Anyar Bandung, sementara Raden Ayu Mustika Ningrat merupakan putri dari Bupati Galuh, Raden Adipati Aria Kusumadiningrat (1839-1886) atau Kanjeng Prebu dan The Pit Nio, seorang perempuan dari keturunan saudagar Tionghoa.

Khusus untuk Raden Bodedar tidak disebutkan sebagai dalem istri atau yang berarti padmi. Namun ditulis sebagai istri pertama. Itu lantaran saat menikah, Pangeran Sugih belum diangkat menjadi Dalem Sumedang.

Masjid Agung SumedangMasjid Agung Sumedang. (Foto: Nur Azis/detikJabar)

Dari istri-istrinya tersebut, Pangeran Sugih memiliki 94 orang keturunan baik putra ataupun putri. Keturunannya itu tersebar di beberapa daerah di tatar Sunda dengan memegang sejumlah jabatan penting.

Pangeran Sugih atau Raden Somanagara diangkat menjadi Bupati Sumedang pada 20 Januari 1836 dengan gelar Tumenggung Suria Kusumah Adinata. Ia juga dikenal sebagai bapak pembangunan Sumedang.

"Pangeran Sugih adalah bapak pembangunan, salah satu peninggalannya adalah kosmologi tata ruang klasik yang ada di Sumedang sekarang ini," ucap Raden Lily Djamhur Soemawilaga yang merupakan keturunan Karaton Sumedanglarang, kepada detikjabar, beberapa waktu lalu.

Lily menyebutkan peninggalan bangunan saat Pangeran Sugih menjabat bupati di antaranya Masjid Agung Sumedang yang ada sekarang ini dan Gedung Negara. Gedung Negara, kata Lily, dulunya bernama Gedung Bengkok yang berfungsi sebagai tempat pemerintahan sekaligus tempat tinggal kediaman Pangeran Sugih.

"Sebelumnya Masjid Agung bukan di lokasi yang sekarang, masjid agung sebelumnya di SD Sukaraja, SD Sukaraja dulunya tempat Masjid Agung dulu, untuk kemudian oleh Pangeran Sugih Masjid Agung dipindahkan ke lokasi yang sekarang ini," tutur Liliy.

3. Sudah Tiga Kali Renovasi

Pada saat pengelolaannya diserahkan kepada Departemen Agama Kabupaten Sumedang, Masjid Agung Sumedang mengalami tiga kali renovasi. Renovasi pertama dilakukan tahun 1952 pada masa kepala Dinas Urusan Agamanya dijabat oleh MS. Muhammad Soemarya.

Pada masa ini pula, kekokohan Masjid Agung Sumedang diuji saat bencana gempa terjadi. Gempa pada waktu itu memorakporandakan tribun Pacuan Kuda di Sindangraja serta merobohkan benteng Gedung Negara yang tidak jauh dari lokasi masjid.

Namun bangunan masjid tetap kokoh hanya sebagian kecil yang mengalami kerusakan. Pada masa ini pula dilakukan renovasi dengan menambahkan ornamen-ornamen khas Turki di bagian sebelah timur.

Renovasi kedua tahun 1982 atau pada saat Kepala Kantor Departemen Agama dijabat oleh Buchori Mu'tasim. Pemugarannya selesai pada 9 Juni 1988 yang diresmikan oleh Gubernur Jawa Barat kala itu, yakni Yogie Suardi Memet dan Bupati Sumedang Sutarja.

Dalam renovasi kedua ini, atap diganti dengan beton. Sementara tiang-tiang penyangga besi dilapisi kayu triplek. Saat renovasi ketiga pada 27 September 2002 diprakarsai oleh Bupati Misbach. Peresmiannya oleh Gubernur Jawa Barat Donny Setiawan dan Bupati Sumedang Don Murdono pada 22 April 2004.

Dalam pemugaran ketiga banyak perubahan dan penambahan seperti pembangunan menara azan setinggi 35,5 meter. Kemudian banyak dilakukan renovasi pada bagian-bagian masjid seperti renovasi tempat wudhu, penampungan air, toilet, dan tempat bedug. Pada pemugaran ketiga juga dilaksanakan pembangunan ruang DKM dan Kesekretariatan yang diresmikan pada Mei 2007 oleh Bupati Sumedang Don Murdono.

4. Bangunannya Dipengaruhi oleh Arsitektur Belanda dan Arsitektur Tiongkok

Dikutip dari Annisha Ayuningdiah dalam Pengaruh Belanda dalam Arsitektur Masjid Agung di Priangan 1800-1942 (IPLBI, 2017), menyebutkan pengaruh arsitektur Tiongkok itu berasal dari para pengembara Tionghoa yang datang ke Sumedang. Mereka saat pembangunan masjid, turut serta membantu.

Bentuk atap yang bersusun tiga merupakan pengaruh dari bentuk pagoda. Ornamen-ornamen ukiran yang menghiasi bangunan masjid juga bercorak Tiongkok.

Sementara untuk arsitektur yang terpengaruh oleh Belanda tampak pada bentukan kolom-kolomnya yang merupakan kolom Yunani. Kemudian, ukuran jendela yang besar dengan ujung setengah lingkaran yang juga merupakan khas zaman Belanda.

Masjid Agung SumedangMasjid Agung Sumedang. (Foto: Nur Azis/detikJabar)

Nina Herlina Lubis, dkk dalam Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat (2011: 249) menjelaskan, tradisi yang berkembang, pengaruh arsitektur Cina masuk setelah para pendatang Cina kalah dalam adu bela diri dengan para tokoh Sumedang. Dari kekalahan itu, para pendatang Cina pun bersedia untuk membantu Pangeran Sugih dalam pembangunan Masjid Agung Sumedang.

Dari situlah arsitektur Cina mempengaruhi arsitektur Masjid Agung Sumedang yang terlihat dari bagian atas kusen pintu, jendela, dan mimbar yang dipenuhi oleh ukiran bermotif khas Cina. Secara keseluruhan, orisinalitasnya hingga kini masih terjaga sehingga menjadi salah satu cagar budaya di Kabupaten Sumedang. (bbn/mso)



Hide Ads