Rencana pemerintah melarang pengecer menjual gas LPG 3 kilogram, membuat Wawan geleng-geleng kepala.
Dia adalah warga pemilik warung di Jalan Gunung Sabeulah, Kota Tasikmalaya yang juga menjadi pengecer gas LPG bersubsidi.
"Teu pira, ngala bati 2 rebu perak meni dicaram, (Nggak seberapa, cari untung Rp 2 ribu, sampai dilarang)," kata Wawan, Senin (3/2/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ekspresi Wawan tampak kesal, sambil duduk di atas sepeda motor yang mengangkut beberapa tabung gas melon kosong.
Saat itu sekitar jam 11 siang, dia sedang kelimpungan mencari pangkalan untuk membeli gas. Beberapa pangkalan gas kosong, termasuk di sebuah pangkalan Jalan Cieunteung yang selama ini menjadi langganannya, sedang kosong. Pantauan detikJabar, selang satu jam setelah Wawan pergi, pasokan gas di pangkalan itu baru tiba.
"Saya jadi pengecer supaya warung lengkap dan bisa memenuhi kebutuhan masyarakat," kata Wawan.
Dia mengaku, selama ini menjual gas melon ke konsumen dengan harga Rp 18 ribu. Sementara harga beli dari pangkalan Rp 16 ribu.
"Saya kan datang sendiri ke pangkalan, dapat harga Rp 16 ribu, saya jual di warung Rp 18 ribu, hanya untung Rp 2 ribu," kata Wawan.
Terkait rencana pemerintah yang akan melarang pengecer atau warung menjual gas 3 kg, Wawan mengaku keheranan.
"Kita kan bantu konsumen, bantu masyarakat, mereka beli gas jadi lebih dekat, lebih mudah, nggak usah ke pangkalan. Ya lebih mahal Rp 2 ribu, itung-itung ganti ongkos saja," kata Wawan.
Menurut dia zaman sekarang masyarakat lebih mencari kemudahan, bahkan jika gas diantarkan ke rumah dan dibantu pasang regulator, konsumen kerap memberi Rp 20 ribu.
"Zaman sudah serba mudah, sekarang dibuat susah, beli gas harus ke pangkalan. Wajar kalau masyarakat jadi heboh," kata Wawan.
Opsi untuk mengajukan diri menjadi pangkalan pun bagi Wawan tak memungkinkan. Selain butuh modal besar dan punya tempat penyimpanan yang aman, omzet jualan gas Wawan pun masih relatif minim.
"Wah modal dari mana? tempatnya dimana? kan nggak mungkin di rumah jadi pangkalan. Lagi pula sekarang saya dalam seminggu paling bisa menjual 10 sampai 20 tabung saja," kata Wawan.
Lain lagi cerita Ibnu, pengecer gas melon di wilayah Kecamatan Tawang. Ibnu mengaku, menjual gas LPG seharga Rp 22 ribu kepada konsumen.
"Saya mah jual Rp 22 ribu, karena dari pangkalannya Rp 19 ribu. Iya harusnya pangkalan jual Rp 16 ribu, tapi kalau saya kan dikirim ke rumah, jadi selisih Rp 3 ribu untuk ongkos kirimnya. Kalau diambil ke pangkalan memang Rp 16 ribu," kata Ibnu.
Menjual gas subsidi hingga Rp 22 ribu, menurut Ibnu selama ini tak ada warga yang keberatan. Dalam seminggu dia bisa menjual 10 tabung gas.
"Ya kalau memang dilarang, nggak apa-apa. Kehilangan untung Rp 30 ribu seminggu, nggak masalah. Jualan gas hanya pelengkap saja, biar warung komplit," kata Ibnu.
Bani Saebani, pengelola pangkalan gas LPG 3 kg di Jalan Cieunteung mengatakan sejauh ini pasokan gas masih lancar. Kalau pun terjadi keterlambatan pengiriman dari agen, menurut dia sudah menjadi hal yang lumrah. Dia sendiri baru mendapat pasokan menjelang tengah hari, dan langsung diserbu warga.
"Mungkin karena pangkalan lain kosong, jadi membludak ke sini. Hanya keterlambatan saja, jadi banyak pengecer keliling pangkalan yang masih ada stok," kata Bani.
Terkait adanya larangan pengecer menjual gas LPG bersubsidi, Bani mengaku baru sebatas mengetahui dari pemberitaan media massa. "Belum, kalau resminya kami belum menerima pemberitahuan," kata Bani.
(mso/mso)








































.webp)













 
             
             
  
  
  
  
  
  
 