Geliat Produsen Celana Dalam Tasikmalaya, Pasarnya Tembus ke Afrika

Geliat Produsen Celana Dalam Tasikmalaya, Pasarnya Tembus ke Afrika

Faizal Amiruddin - detikJabar
Kamis, 13 Jun 2024 19:30 WIB
Produsen celana dalam di Tasikmalaya
Produsen celana dalam di Tasikmalaya (Foto: Faizal Amiruddin/detikJabar)
Tasikmalaya - Membahas kreativitas warga Tasikmalaya dalam mencari sumber penghidupan seakan tak ada habisnya. Beragam jenis industri kreatif ditekuni masyarakat Kota Tasikmalaya.

Sektor usaha informal ini merupakan kumpulan simpul-simpul kecil yang pada perspektif lain justru menjadi kekuatan besar penopang perekonomian masyarakat Kota Tasikmalaya.

Selain UMKM atau industri kreatif yang sudah terkenal seperti, bordir, payung geulis, anyaman bambu, mendong dan lain sebagainya, di Tasikmalaya pun terdapat banyak sektor UMKM yang tak muncul ke permukaan atau tak banyak dikenal publik.

Salah satunya adalah keberadaan industri konfeksi produk celana dalam (CD) yang berpusat di wilayah Kelurahan Sukamanah Kecamatan Cipedes Kota Tasikmalaya. Ribuan warga di wilayah ini terutama di Kampung Babakan Kalangsari, Pelang, Leuwianyar dan sekitarnya, terlibat dalam rangkaian produksi celana dalam ini.

Uniknya usaha kecil menengah ini ternyata salah satu bentuk pemanfaatan limbah konfeksi atau industri garmen yang lebih besar. Para perajin ini memproduksi celana dalam dari kain gombal atau kain perca, yang merupakan sisa-sisa produksi kaos dan lain sebagainya.

Dari Tasikmalaya, produk mereka ternyata bisa tembus ke pasar dunia. Celana dalam produk warga Sukamanah ini mampu merajai pasar di negara-negara Afrika.

"Sudah lama daerah Kelurahan Sukamanah ini kerja jadi perajin celana dalam, saya saja sudah sekitar 15 tahun. Ini pun meneruskan jejak orang tua, jadi kalau berbicara sejak kapan, ya sudah puluhan tahun lalu," kata Roni Kurniawan (38) salah seorang perajin celana dalam di Kampung Babakan Sari Kelurahan Sukamanah, Kamis (13/6/2024).

Produsen celana dalam di TasikmalayaProdusen celana dalam di Tasikmalaya Foto: Faizal Amiruddin/detikJabar

Menurut dia di wilayah itu ada lebih dari 100 perajin celana dalam, masing-masing memiliki setidaknya 20 pegawai. Sehingga jelas sekurang-kurangnya ada 2.000 warga yang terlibat dalam bisnis itu. Jumlah itu tentu belum termasuk warga yang fokus di pemasaran, baik itu menjual secara konvensional atau penjualan online.

Para pegawai konfeksi ini mayoritas memberdayakan masyarakat setempat. Sehingga proses produksinya pun dilakukan di rumah masing-masing, sehingga pegawai yang ada di konfeksi terlihat sedikit.

Para pelaku usaha di wilayah ini mengusung konsep pemberdayaan. Warga di sana memiliki banyak pilihan untuk ikut menambah penghasilan, mulai dari menjadi penjahit, bagian memotong, memasang karet hingga menjadi pengendali kualitas produk. Tak heran jika masuk ke parkampungan wilayah ini, suara deru mesin jahit terdengar saling bersahutan dari setiap rumah.

"Yang bagian menjahit, kami pinjamkan mesinnya. Mereka yang mayoritas kaum ibu mengerjakan di rumah sebagai sambilan. Ya pemberdayaan, bagi-bagi rejeki. Menjahit satu kodi celana dalam anak, mereka dapat Rp 2.500. Menjahit saja ya, kalau motong ada lagi yang mengerjakan dan upahnya beda lagi," kata Roni.

Roni sendiri punya 4 pegawai yang standby di konfeksi dan 20 pegawai yang bekerja di rumahnya masing-masing. Kapasitas produksinya berada di kisaran 80 sampai 100 kodi per hari. Urusan penjualan, Roni mengaku selama ini tak ada masalah. Karena ada bandar-bandar besar yang siap menampung produk mereka untuk dilempar ke berbagai segmen pasar.

"Ada 3 bandar yang ekspor ke Nigeria dan negara-negara Afrika, kemudian ada juga penampung yang menguasai pasar online. Terus ada juga yang penjualan konvensional ke pasar-pasar di wilayah Indonesia. Jadi penjualan sebenarnya tak ada masalah, walau pun yang namanya usaha pasti ada naik turunnya," kata Roni.

Terkait bahan baku, Roni mengatakan selama ini sisa-sisa potongan atau kain gombal itu dia dapat dari Bandung, Bekasi dan wilayah lainnya. "Kalau saya dapat bahan dari Cigondewah Bandung, ada juga dari Bekasi, ada yang dari Jakarta," kata Roni.

Meski tergolong limbah, namun harga kain sisa itu tetap saja mengalami fluktuatif sehingga memberi dampak bagi kelangsungan perajin celana dalam ini. "Kisaran harga bahan itu Rp 8500 per kilogram, bisa jadi 1 kodi atau lebih tergantung kondisi," kata Roni. Setelah diolah dan diproduksi, harga jual celana dalam anak di tingkat perajin ini berada di kisaran harga Rp 35 ribu per kodi.

"Terkadang orang berasumsi karena ini bahannya limbah mengira keuntungan kita besar. Padahal tidak seperti itu, keuntungan kita sebenarnya tipis, paciwit-ciwit," kata Roni.

Produsen celana dalam di TasikmalayaProdusen celana dalam di Tasikmalaya Foto: Faizal Amiruddin/detikJabar

Dia menjelaskan tahapan produksinya cukup panjang, dimulai dari memotong. Di tahap ini perlu skill yang khusus karena bahan produksi merupakan potongan-potongan yang kadang tak simetris.

"Setelah itu dijahit, kemudian diberi sablon, pemasangan karet, finishing, terakhir QC (quality control)," kata Roni. Panjangnya proses itu membuat beban operasional pun cukup berat sehingga walau pun bahannya limbah tapi tetap memakan modal produksi yang relatif besar.

Lebih lanjut Roni memaparkan selama ini dirinya belum pernah mendapatkan bantuan atau sekedar perhatian dari pemerintah. Meski dia sendiri mengaku tidak terlalu berharap.

"Kalau saya belum pernah dapat bantuan atau program apa gitu dari pemerintah, nggak tahu kalau yang lain. Ya harapannya ada bantuan permodalan atau dibantu pemasaran," kata Roni. Dia juga mengaku butuh pelatihan tentang bagaimana mengelola manajemen terutama berkaitan dengan mengelola pegawai.

"Jadi kalau pegawai saya itu kan ibaratnya kerja sampingan, ibu-ibu di rumah. Nah kalau mau menggenjot produksi susah, tak bisa saya nge-push mereka. Selama ini cara saya ya nambah pegawai, tapi kan kalau nambah pegawai harus nambah juga mesin jahit, itu kadang-kadang yang bikin pusing," kata Roni.

Iwan salah seorang tokoh masyarakat setempat mengatakan industri skala rumahan ini memiliki potensi besar. Namun selama ini mereka seolah luput dari perhatian pemerintah. "Ya minimal ditetapkan jadi sentra produksi, urusan dengan bank-nya difasilitasi. Malah kalau bisa dibantu juga pemasarannya," kata Iwan.

Dia membenarkan di Kelurahan Sukamanah ada ribuan warga yang terlibat dalam bisnis ini. "Pelaku usahanya banyak terpusat di 4 RW, ini sebenarnya kekuatan ekonomi rakyat yang sangat besar. Mereka memang harus di-upgrade skill usahanya," kata Iwan.


(dir/dir)


Hide Ads