Industri kerajinan boleh jadi sudah identik dengan Kota Tasikmalaya. Di kota dengan 10 kecamatan ini, berbagai industri kerajinan tumbuh subur. Sebut saja kerajinan payung geulis, kelom geulis, mendong dan sebagainya. Ragam kerajinan itu menjadi identitas atau ikon daerah.
Namun demikian, selain industri kerajinan yang ikonik itu, di Kota Tasikmalaya juga tumbuh sektor kerajinan lain yaitu kerajinan furniture atau mebel. Keberadaan para perajin mebel ini sudah ada sejak puluhan tahun silam. Bahkan para perajin mebel ini terpusat di satu titik, yaitu daerah Sindanggalih, Kelurahan Kahuripan, Kecamatan Tawang, Kota Tasikmalaya.
Di kawasan ini hampir semua warganya memiliki kemampuan membuat furniture. Workshop perkayuan mudah dijumpai di perkampungan ini, dan didirikan di depan rumah-rumah warga. Tak heran jika kawasan ini kerap disebut Kampung Mebel.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suara 'dok-dak' kayu yang sedang dibentuk atau suara deru mesin potong, terdengar di setiap sudut perkampungan. Jika sedang ramai pesanan, kesibukan itu terjadi hingga malam hari.
"Ada sekitar 6 RW di kawasan ini yang mayoritas warganya menjadi tukang kayu. Setiap rumah rata-rata bisa jadi tukang kayu, soalnya keahliannya turun temurun," kata Kundang (72) salah seorang warga yang juga perajin kayu, Minggu (26/5/2024).
Kundang mengaku sejak muda dirinya sudah menekuni profesi tukang kayu. Dia mengaku sudah melewati pasang surut usaha yang dilakoninya. Kundang mengaku pernah merasakan masa-masa kejayaan bisnis mebel.
Meski demikian dia juga mengatakan saat ini para perajin mebel di wilayahnya sedang menghadapi banyak tantangan sebagai dampak dari perubahan zaman. Anak-anak muda di kampungnya banyak yang mulai enggan meneruskan usaha orang tuanya menjadi tukang kayu.
"Kalau sejarah tukang mebel di daerah sini sudah muncul sejak zaman Belanda. Soalnya kakek saya juga tukang mebel, saya lahir tahun 50-an. Turun temurun, anak saya juga sekarang jadi tukang mebel," kata Kundang.
Menurut Kundang, sebelum tahun 2000 pola bisnis yang mereka lakukan adalah dengan membuat secara mandiri berbagai produk mebeler. Baik itu lemari, kursi, meja, ranjang dan lainnya. Mereka mengeluarkan modal untuk membeli bahan dan mengolahnya sendiri. Kemudian produknya dijual langsung ke toko-toko mebel yang ada di daerah kota.
"Membuat sendiri dan dijual sendiri ke toko, dibayar secara tunai. Dibawanya juga digotong atau ditanggung sendiri, jalan kaki ke kota, kalau besar pakai gerobak," kata Kundang.
Selain itu mereka juga bisa menjajakan sendiri produknya ke perkampungan warga.
Seiring perjalanan waktu, pola bisnis semacam itu tak lagi lancar. Toko-toko mebel kini tak mau lagi membeli tunai produk mereka. Toko-toko hanya menyediakan tempat untuk titip jual.
"Toko-toko mebel juga sekarang kan banyak yang tutup. Jadi boro-boro membeli barang dari kami, sekarang kita hanya bisa titip jual. Ya repot, karena modal tak berputar cepat," kata Kundang.
Kundang sendiri mengaku belakangan ini dirinya sudah mengurangi porsi kerja. Dia merasa sudah tua dan gangguan sakit pinggang cukup menganggu aktivitasnya.
"Sudah tua dan pinggang sering sakit, nah sakit pinggang juga banyak dirasakan oleh warga di sini. Karena jadi tukang kayu itu banyak membungkuk, kurang minum karena keasyikan bekerja. Jadi pas tuanya banyak yang pinggangnya bermasalah. Makanya ke anak saya, saya selalu wanti-wanti harus banyak minum," kata Kundang.
Amir (40) salah seorang perajin mebel lainnya mengaku putaran roda usahanya saat ini sedang seret. Menurut dia perajin mebel di Kelurahan Kahuripan sekarang lebih cenderung melayani pesanan konsumen. Jika ada orderan bekerja, tak ada order menganggur atau cari pekerjaan sambilan.
"Saya juga terkadang ikut jadi buruh bangunan, kalau hanya mengandalkan dari produksi mebel repot," kata Amir.
Menurut dia banyak tantangan yang dihadapi, mulai dari harga bahan kayu yang semakin langka dan mahal, kehadiran produk impor berbahan plastik atau besi, hingga persaingan yang sangat ketat.
"Kalau kreativitas mah Insya Allah mau bikin apa pun bisa, tapi kalau pesanan tak ada ya tetap saja repot," kata Amir.
Dia mengaku sudah memiliki toko online, namun persaingan ketat karena perajin lain pun melakukan hal serupa. "Ada saya juga toko online di Medsos, tapi pusing saling banting harga. Paling sekarang saya hanya merawat langganan yang sudah ada saja," kata Amir.
Salah satu pesanan andalan yang Amir nantikan setiap tahun adalah pesanan dari proyek pengadaan bangku dan meja sekolah. Menurut perkiraan dia, pesanan itu akan datang tak lami lagi seiring tahun ajaran baru.
"Ini juga lagi menunggu pesanan dari proyek sekolah-sekolah. Biasanya datang di bulan-bulan ini, mudah-mudahan saja segera datang," kata Amir.
Berbeda dengan Amir, Darus (38) salah seorang perajin mebel lainnya mengaku dirinya bisa membangun pasar onlinenya sendiri. Dia mengaku pesanan yang didapatnya dari pasar online cukup lumayan.
"Memang pesanan online itu harganya kurang bagus, tapi kita sesuaikan dengan bahan saja. Kita jelaskan ada harga ada kualitas," kata Darus.
Dia mengatakan di pasar online, konsumennya rata-rata rewel terkait kualitas sentuhan terakhir dari produk mebel. "Jualan di online mah harus rapi finishing, kalau ada cacat saja sedikit wah rewel. Mereka biasanya memesan meja atau lemari, selain itu pesanan meja dan kursi untuk cafe," kata Darus.
Meski dirundung banyak permasalahan, namun ketiga perajin mebel itu mengaku sangat mencintai pekerjaannya. Mereka bertekad akan terus bertahan menekuni profesi itu.
"Tekuni saja, kan hanya ini keahlian kita. Yakin saja pasti ada rejekinya," kata Darus. "Ya bertahan saja, apalagi ini usaha turun temurun dari orang tua saya. Jangan sampai gulung tikar," timpal Amir.
(dir/dir)