Petani di Karawang selatan terpaksa harus gigit jari, imbas musim panen dilanda musim hujan dengan intensitas lebat tanpa henti, sejak Minggu (26/2/2023) lalu.
Hal itu menimpa Abdul Rohim (42) petani asal Desa Cintalanggeng, Kecamatan Tegalwaru, Kabupaten Karawang. Ia terpaksa gigit jari sebab padi hasil panennya dihargai murah.
"Saya nyawah itu 2,5 hektare, kalau di sini kan sawahnya tadah hujan. Kita cuma nyawah 2 kali setahun untuk hasil yang cukup maksimal. Itu rata-rata mencapai 21 ton sekali panen kalau lagi bagus," kata Rohim, saat diwawancara detikJabar di kediamannya, Jumat (3/3/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menuturkan, jika hasilnya kurang maksimal padi hasil panen di lahan seluas 2,5 hekatare miliknya hanya menembus 18-19 ton. Namun panen kali ini, Rohim menyebut hasilnya cukup maksimal dan bagus.
"Sekarang ini Alhamdulillah panennya bagus, tangkai padi isinya rapat, kalau di total sekarang ini mencapai 30 ton gabah basah, yang biasanya cuma 20-21 ton," kata dia.
Kendati demikian, petani di Karawang selatan tetap harus gigit jari imbas cuaca buruk, proses panen saat diguyur hujan mempengaruhi harga jual gabah hasil panen.
"Sekarang padi cuma dihargai Rp380 ribu sampai Rp400 untuk harga gabah basah, itu pun gak mau ada beli. Sebab sekarang hampir semua padi hasil panen di sini (Karawang selatan) basah," ungkapnya.
![]() |
Harga Rp380 sampai Rp400 ribu merupakan harga dari tengkulak, sebab warga tak memiliki akses untuk menjual gabahnya ke badan urusan logistik (Bulog).
"Kalau kita biasa jual ke tengkulak, tapi kenapa sekarang jni malah anjlok, karena gabahnya basah susah kering. Tengkulak gak mau beli juga karena mayoritas penggilingan padi di sini tidak memiliki oven sendiri," ucap rohim.
Hal serupa juga dialami Usep (43), ia harus pasrah melihat padinya mengampar di teras rumah. Karena hasil panennya kali ini tak laku dijual.
"Sama, padi saya juga masih di teras mau dikarungin juga gak mungkin padi basah nanti malah jadi tumbuh akar," ujar Usep.
Padi sebanyak 45 ton hasil panennya kali ini juga tak laku dijual, sebab gabah hasil panennya masih basah menyulitkan Titin mencari pembeli dengan harga yang pas.
Usep yang juga pemilik penggilingan padi di Desa Cintalanggeng mengungkap, harga dasar gabah kering sebelum panen di akhir tahun 2022 lalu mencapai Rp 570 ribu hingga Rp 600 ribu, namun saat ini harga anjlok hampir 50 persen disebabkan kondisi padi yang basah dan sulit kering imbas cuaca buruk.
"Dulu sampai Rp600 ribu gabah kering, sekarang harganya turun bukan cuma karena gabahnya basah, tapi cuaca buruk ini yang menyulitkan para pemilik penggilingan padi atau tengkulak seperti saya sulit menampung padi dari petani," ujarnya.
Kendati demikian dituturkan Usep, harga beras rata-rata di penggilingan padi di wilayab Karawang, tetap mahal. Sebab sulitnya gabah kering yang siap digiling.
"Kalau beras masih mahal, harga normal itu Rp10.000-10.500 per kilogram, kenapa mahal. Karena sulit mendapatkan gabah kering yang siap digiling," ungkapnya.
Dikatakan Usep, biasanya para petani hanya menyisakan 10 persen hasil panennya untuk dimakan atau bekal hidup dari panen ke panen, sedangkan sisanya akan dijual untuk digunakan modal bersawah.
"Biasanya yang disisakan cuma 10 persen saja, misal panen dapat 10 ton, yang 1 ton siapkan untuk bekal hidup makan sehari-hari. Sedangkan sisanya akan dijual kembali buat modal bersawah," ujar dia.
Atas anjloknya harga gabah akibat cuaca buruk, Usep bersama para petani lain berharap pemerintah bisa memberikan solusi untuk menyelamatkan nasib petani.
"Harapannya sih, kita para petani dapat solusi, misalnya diberikan open gabah perkelompok, atau pemerintah sendiri yang menampung gabah hasil panen kami dengan harga yang sesuai," pungkasnya.
(yum/yum)