Respons Buruh soal Perusahaan Padat Karya Angkat Kaki dari Sukabumi

Respons Buruh soal Perusahaan Padat Karya Angkat Kaki dari Sukabumi

Syahdan Alamsyah - detikJabar
Sabtu, 25 Feb 2023 02:00 WIB
Buruh di Sukabumi.
Buruh di Sukabumi (Foto: Istimewa).
Sukabumi -

Sejumlah organisasi buruh angkat bicara terkait banyak perusahaan padat karya di Kabupaten Sukabumi memindahkan usahanya ke Garut hingga Jawa Tengah.

Mochammad Popon, Ketua SP TSK SPSI Kabupaten Sukabumi membenarkan ada beberapa perusahaan yang memang pindah. Namun menurutnya hal itu sudah dilakukan jauh-jauh hari bahkan sebelum 5 tahun yang lalu, sehingga tidak ada korelasi dengan kondisi ekonomi saat ini.

"Selebihnya bukan pindah, tapi lebih ke pengembangan usaha. Dimana perusahaan-perusahaan itu memang membangun pabrik baru di beberapa tempat seperti di Jawa Tengah, Garut dan lainnya. Jadi isunya bukan pindah tapi lebih kepada memperbesar holding grup mereka dan itu juga bukan dari Sukabumi karena induk perusahaan yang mengembangkan atau membangun pabrik baru di daerah lain itu kantor pusatnya bukan di Sukabumi tapi di Jakarta atau Jabotabek," kata Popon kepada detikJabar, Jumat (24/2/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Popon bahkan mengatakan kondisi itu merupakan hal yang wajar, karena posisi pabrik baru di Jawa Tengah dengan Sukabumi sama-sama sebagai cabang perusahaan mereka. Terkait ada beberapa perusahaan yang cabang perusahaannya kebetulan ada di Sukabumi dan juga membangun pabrik baru di Jawa Tengah dan beberapa daerah lain, menurut Popon masih wajar dan normal.

"Dan faktanya perusahaan-perusahaan tersebut hari ini juga masih eksis dan tidak mengurangi volume produksi dan volume tenaga kerjanya di Sukabumi. Terlepas ada perbedaan upah atau disparitas upah antara Jawa Tengah dan Sukabumi, menurut saya investasi Sukabumi akan lebih menarik buat investor, karena produktifitas jauh lebih baik di Sukabumi di banding di Jawa Tengah," jelas Popom.

ADVERTISEMENT

"Soal tingginya upah yang selalu di eksploitasi oleh pihak pengusaha, menurut saya keliru. Buktinya perusahaan di Sukabumi yang kebetulan ada SP TSK SPSI nya tidak keberatan untuk menaikkan upah dan sejak tahun kemarin disaat perusahaan lain tidak naik upah perusahaan yang ada SP TSK SPSI nya di Sukabumi naik upahnya untuk pekerja dengan masa kerja 1 tahun," sambung Popon.

Sayangnya dijelaskan Popon, perusahaan di Sukabumi masih banyak perusahaan di Sukabumi ini yang tingkat kepatuhannya rendah. "Lembur tidak dibayar, sistem kerjanya kontrak terus menerus dan ketika habis kontrak tidak bayar kompensasi, upahnya enggak jelas dan sebagainya. Justru perusahaan seperti ini yang tidak akan punya daya tahan dan pasti akan bermasalah," tegas Popon.

Hal senada diungkap Dadeng Nazarudin, Ketua DPC GSBSI Kabupaten Sukabumi. Menurutnya memang ada berbagai faktor yang mempengaruhi melesunya industri manufaktur di Sukabumi. Salah satunya adalah Kabupaten Sukabumi merubah jati diri dari daerah agraris ke daerah industri yang di mulai tahun 1990 an.

"Itu tidak di topang oleh infrastruktur yang memadai, tidak di buat dahulu kawasan-kawasan industri sehingga pembangunan pabrik masuk di kawasan hijau (pertanian) kawasan pariwisata, kawasan padat penduduk, saat itu nilai jual investasi ke Sukabumi hanya upah murah maka kisaran sampai dengan tahun 2010/2011," ungkap Dadeng.

Menurutnya upah Sukabumi tercatat sebagai upah terendah se Indonesia dan nilai jual lainnya banyaknya angkatan kerja dengan rata-rata pendidikan SD/SMP yang tentu berpengaruh pada nilai upah yang mau di bayar murah.

"Investasi yang hadir di sukabumi saat itu rata-rata ekpansi atau perluasan usaha dari wilayah lain, seperti Tangerang, Bekasi, DKI Jakarta, Depok dan Bogor yang rata-rata orderannya limpahan dari perusahaan induknya atau mitra kerja samanya atau perusaan tersebut biasa di sebut sebagai perusahaan CMT intilah di pabrik garment atau kalau di pabrik air mineral istilahnya adalah maklon," tutur Dadeng.

"Mengingat pembangunan pabrik-pabrik tersebut banyak di wilayah-wilayah yang padat penduduk dan tidak berbentuk kawasan industri maka terjadi problem sosial lainnya yang salah satunya menyebabkan adanya biaya lain yang harus di keluarkan pihak perusahaan selain biaya produksi saat itu kamu suka mendengar biaya tersebut mereka istilahkan dengan biaya siluman dan ongkos pak ogah," sambungnya.

Dadeng berpendapat, sampai saat ini pihak pengusaha selalu menganggap bahwa nilai upah adalah beban bagi mereka padahal bagi buruh upah adalah ongkos sewa bagi pengusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup para buruhnya.

"Upah Sukabumi sampai saat ini tercatat masih jauh di bawah Kabupaten Bogor dan masih di bawah Cimahi atau bandung, Kabupaten Sukabumi, Kota Sukabumi dan Cianjur itu upahnya di kisaran Rp 3 jt an. Dan kami pikir nilai tersebut masih kurang apabila para pekerja/buruh sudah berumah tangga apalagi kalau sudah punya anak," ucapnya.

Dadeng bahkan mempertanyakan ketika memang upah satu-satunya faktor yang menyebabkan pabrik atau perusahaan pindah pindah kenapa pabrik yang ada di wilayah industri lain yang upahnya jauh lebih besar dari Sukabumi itu tidak ikut pindah.

"Saat ini memang banyak pabrik yang "pindah" Atau "relokasi" Ke wilayah lain seperti Jawa Tengah dan Garut, itu kalau kami sebut adalah ekpansi atau perluasan usaha karena mereka membangun pabrik di daerah-daerah tersebut itu dari 5-7 tahun yang lalu dengan modal hasil dari usaha invetasi di Sukabumi," ujarnya.

"Kami melihat penurunan nilai invetasi sektor manufaktur di Sukabumi atau banyak pabrik yang tutup di Sukabumi itu di sebabkan oleh beberapa hal yang kami sebutkan tadi yang sampai saat ini belum berubah atau di perbaiki malah semakin semeraut, selain itu juga tentu ada faktor lain seperti faktor internal (problem internal perusahaan) faktor persaingan usaha baik antar wilayah di Indonesia maupun persaingan invetasi antar negara, karena dari dulu kita (Indonesia) selalu bersaing dengan negara-negara asean lainnya seperti Malaysia dan Vietnam," pungkasnya menambahkan.

(sya/mso)


Hide Ads