Pemerintah resmi menetapkan kenaikan upah minimum (UM) berdasarkan Permenaker Nomor 18 Tahun 2022. Besaran upah yang bakal naik maksimal 10 persen ini akan berlaku pada 2023 di seluruh provinsi di Indonesia.
Merespons hal itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat secara tegas menolak kenaikan upah yang mengacu Permenaker 18/2022. Apindo berpandangan, pemerintah telah melanggar keputusannya sendiri yang bertolak belakang dengan PP 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
"Karena hal ini mencerminkan tidak adanya kepastian hukum, dan dengan demikian tidak ada juga kepastian usaha," kata Ketua DPD Apindo Jawa Barat Ning Wahyu Astutik dalam keterangan yang diterima detikJabar, Sabtu (19/11/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ning menegaskan terbitnya Permenaker 18/2022 juga telah melanggar. Ia aneh bagaimana bisa Permenaker mengalahkan peraturan pemerintah yang kedudukannya lebih tinggi dibanding regulasi yang baru diterbitkan tersebut.
"Besok-besok bisa dong Keputusan Gubernur dilawan Keputusan Bupati? Keputusan Bupati dilawan Keputusan Camat, terus Keputusan Camat dipatahkan keputusan Pak Lurah. Bahaya sekali kan, bagaimana hukum tata negara ini," ucapnya.
Dalam keterangannya, Ning juga menyebut prinsip UMK merupakan upaya safety net pekerja di tingkat buruh dan upaya untuk mengurangi disparitas upah yang besar antara kabupaten/kota. Sementara, jika mengacu ke Permenaker 18/2022, ada daerah yang telah menyentuh ambang batas tertinggi UMK bisa naik lagi besarannya seperti Kabupaten Bogor, Purwakarta, Karawang, dan Bekasi.
"Justru dengan formula baru ini, akan ada kenaikan yang jauh lebih besar dari wilayah/daerah dengan UMK rendah, seperti Kabupaten Ciamis, Kota Banjar, Kuningan, Pangandaran dan seterusnya. Setelah tercabik COVID-19, mengalami penurunan order orientasi export, membanjirnya barang-barang impor, maka hampir bisa dipastikan pengurangan pekerja secara massive akan terus terjadi," ujarnya.
"Formula ini saya sebut aneh bin ajaib karena justru membuat UMK yang tingginya di atas ambang batas, mendapatkan kenaikan yang juga jauh lebih tinggi dibanding daerah lain. Hal ini merupakan pukulan telak pada industri padat karya di daerah, yang justru sudah hampir tiap tahun berjuang mendapatkan upah khusus padat karya untuk survive," imbuhnya.
Atas kondisi itu, Ning pun khawatir bakal ada kecemburuan di daerah di Jabar yang punya upah rendah. Sebab, tujuan untuk mempersempit disparitas upah saat ini malah dianggap Apindo bakal menimbulkan buruh untuk menuntut tingginya upah bagi mereka.
"Apa nanti akan dibiarkan terjadi kejar-kejaran upah, yang rendah ngejar yang tinggi dengan mengganti lagi formula? Terus terang, pengusaha khawatir sekali dan merasa tidak pasti," tuturnya.
Apindo pun mengaku khawatir di tengah upaya penguatan ekonomi selepas pandemi COVID-19, pemerintah malah mengeluarkan kebijakan pengupahan yang makin memberatkan pengusaha. Apindo pun mendesak Permenaker itu dicabut dan penetapan upah kembali ke regulasi lama yaitu PP 36/2021.
"Dengan semua hal yang telah dijelaskan di atas, maka Apindo tetap menginginkan diberlakukannya PP36 tahun 2021 tentang pengupahan," pungkasnya.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) telah resmi menetapkan kenaikan upah minimum (UM) tahun 2023 maksimal 10%. Penetapan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023.
Dalam beleid itu dijelaskan, penyesuaian nilai upah minimum 2023 dihitung menggunakan formula penghitungan Upah Minimum dengan mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.
Formula penghitungan upah minimum yang dimaksud itu ialah: UM(t+1) = UM(t) + (Penyesuaian Nilai UM x UM(t)).
(ral/mso)