Sinar matahari di wilayah timur Kabupaten Bandung cukup terik, belasan petani kopi yang didominasi kaum perempuan di Kecamatan Ibun terlihat sedang sibuk menjemur buah kopi.
Proses penjemuran ini dilakukan di tempat penjemuran milik Kelompok Tani Wanoja. Kopi itu dijemur di atas tatakan kayu hingga mengering. Pengeringan harus dilakukan merata agar kopi bisa kering sempurna dan bersamaan.
Kopi yang dijemur tersebut disiapkan Kelompok Tani Wanoja untuk diekspor ke Jepang seberat 5 ton pada Oktober nanti.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Insya Allah bulan Oktober, tapi 5 ton ini tidak sekali kirim, jadi mereka mintanya bertahap dan insya Allah kopi natural itu yang kita kirim ke Jepang," kata Ketua Kelompok Tani Wanoja Eti Sumiati (50) kepada detikJabar belum lama ini.
![]() |
Eti mengungkapkan, kopi Ibun yang selama ini ditanam bersama anggota kelompoknya kini bisa diekspor. Butuh perjuangan panjang untuk bisa ekspor, berkat Bank Indonesia (BI), kopi Ibun pun bisa dinikmati warga yang tinggal di Negeri Sakura itu.
"Dalam kegiatan KKI (Karya Kreatif Indonesia) yang dilaksanakan BI Pusat kita dipercaya oleh Jepang. Awaalnya Jepang percaya kita karena kita masuk ranking di COE yang Coffee of Excelent, alhamdulillah Wanoja mendapatkan kepercayaan jadi masuk ranking kedua dan satu lagi kelima dengan hasil cupping yang satu 89,04 dan satu lagi 88,0 sekian dan dapat harga tertinggi Jawa Barat yaitu Rp 2.070.000 per satu kilogram," ungkap Eti.
Green Economy Melalui Kopi
Kelompok Tani Wanoja berkontribusi dalam pelestarian kawasan hutan Kamojang. Berkiprah sejak Juli 2012 Kelompok Tani Wanoja yang beranggotakan 79 orang, memilki luas lahan 96 hektare, dan sekitar 600 pohon kopi ditanam dengan komoditas kopi jenis Arabika.
"Alhamdulillah Kelompok Tani Wanoja terus berkiprah untuk melestarikan lahan kritis di Kamojang. Sejak tahun 2016 kita dipercaya sama Disbun Jabar mendapat bantuan bibit kopi setiap tahun 100 ribu pohon sampai dengan 2019 dan selama 3 tahun itu Wanoja sudah menerima 600 ribu pohon kopi," tuturnya.
Pohon kopi yang ditanam petani memberikan dampak yang cukup besar dalam pengendalian lingkungan. Berkat kopi, erosi tanah bisa dikendalikan dan banjir sudah hampir tidak ada. Sebab untuk Sungai Cisangkan sendiri yang ada di daerah Kamojang pada 1987 pernah terjadi banjir bandang.
Eti mengisahkan, ia pernah terbawa arus banjir bandang yang melanda rumahnya, terdorong aliran air dari depan rumah ke belakang rumah. Beruntung Eti masih selamat karena pada waktu kejadian banjir bandang itu disadari banyak warga sehingga bisa segera menyelamatkan diri.
"Dari situ, saya sendiri punya keinginan bahwa gunung-gunung harus kita perbaiki ekosistemnya dan alhamdulillah 2012 kita bentuk kelompok, 2013 menanam, qadarullah kita pernah terbawa banjir dan kita menanam dan perbaiki hutan juga dan sekarang banjirnya kalau dibilang sudah tidak ada, masih ada, tapi banjirnya kecil," jelas Eti.
![]() |
Menurut Eti beberapa tahun ke belakang, pasca banjir warga kerap senang karena dapat memanfaatkan pasir di aliran sungai yang terbawa arus dari hulu sungai untuk dijual. Di sisi lain, pasir tersebut adalah bentuk erosi yang ditimbulkan dari kerusakan hutan.
"Alhamdulillah sekarang kita ingat-ingat, lho kenapa nggak ada pasir lagi, ternyata kita sendiri para petani kita yang perbaiki ekosistem yang ada di sana dan akhirnya banjirnya tidak pernah membawa pasir, secara otomatis ekosistem di sana sudah terselamatkan," tambahnya.
Di sisi lain kopi dapat membangkitkan perekonomian para petani dan investasi petani. Di saat bersamaan, para petani ini juga menyelamatkan alam dengan menanam kopi. Eti beranggapan green economy dan investasi hijau dilakukan.
"Mungkin sekarang sudah 70 persen dari 100 persen (kerusakan hutan) sudah terselamatkan dengan petani menanam kopi. Kalau dulu mereka orientasinya menanam sayur agar cepat menjadikan uang, kalau kopi lama banget. Setelah kita jalani dan mendengar apa yang kita sampaikan, diadvokasi, diberi motivasi bahwa keuntungan kopi satu untuk menahan erosi, mengurangi banjir dan secara ekonomis kopi itu bisa meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga," jelasnya.
Menurut Eti, setelah mengetahui keuntungan bertani kopi secara sosial dan ekonomi, terutama permintaan kopi yang cukup tinggi dan harganya menjanjikan, sedikit demi sedikit petani yang sebelumnya bertani hortikultura mulai meninggalkannya dan kelompok Kopi Wanoja pun terus bertambah.
"Wanoja tahun ini sudah bisa mengolah 150 ton. Panen kali ini harga cherry sangat membumbung tinggi, kalau tahun kemarin paling tinggi Rp 10-11 ribu, sekarang sudah mencapai Rp 14 ribu di panen akhir, itu tidak ada perubahan dan petani sendiri lagi happy-happy-nya, berbunga-bunga dengan harga Rp 14 ribu seorang dapat 10 ton udah dapat apa, ada yang bikin benteng, ada yang bikin rumah baru dan mereka sekarang semakin semangat," ucapnya.
Kepada detikJabar, Eti mengaku bangga berkat buah kerja kerasnyalah, kopi Ibun bisa dikirim ke Jepang dan Eti juga bisa menyelamatkan alam Kamojang yang diketahui adalah tanah kelahirannya.
"Kita bangga banget, soalnya saya sendiri terlahir bukan dari keturunan petani, bukan terlahir dari keturunan pebisnis secara langsung kita niat dan rencana Allah juga mengizinkan, kalau Allah berkehendak kun fayakun," pungkasnya.
BI Berkontribusi Sukseskan G20
Kepala Perwakilan BI Jabar Herawanto mengatakan, Bank Indonesia ikut berkontibusi dalam G20. Dalam forum internasional itu BI berkomitmen terus lakukan green economy dan digitalisasi.
"Tidak hanya sebagai konsumen, tetapi kita harus menjadi pemain aktif dalam ekonominya," tuturnya.
Menurutnya, ekonomi hijau secara definisi sangatlah luas, intinya menurut Herawanto ketika berbicara ekonomi hijau adalah ekonomi yang berkelanjutan.
"Ekonomi yang kemudian ketika sekarang melakukan model bisnis tersebut berhenti karena lingkungan rusak dan sebagainya, konsumen enggak ada, jadi ini keberlanjutan," tuturnya.
Herawanto menyebut, ketika berbicara Jawa Barat, wujud nyatanya seperti perbaikan Citarum, bagaimana memastikan semua bisnis tidak merusak lingkungan dan mempertahankan lingkungan.
"Kalau berbicara holtikultira Jawa Barat lumbungnya, celakanya apa masih ada yang menanam di lereng tanpa terasaering, itu namanya bukan green economy. Kita ajarkan lakukan terasering atau budidaya pertanian yang lebih akrab dengan kondisi lereng seperti kopi, jadi produktif dari sisi lingkungan hidup terjaga," ujarnya.
![]() |
Geliat Kopi Kabupaten Bandung
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bandung Tisna Umbara mengatakan, Kabupaten Bandung saat ini didaulat sebagai pilot project penanaman kopi di Indonesia.
Menurut Tisna, dalam beberapa waktu terakhir baik sebelum pandemi, kala pandemi hingga pasca pandemi, pertanian kopi di Kabupaten Bandung terus bergeliat.
"Lima tahun terakhir, bahkan sebelum COVID-19 sangat bergairah dan ternyata kopi Kabupaten Bandung disukai berbagai pihak, baik didalam negeri maupun luar negeri," kat Tisna kepada detikJabar.
Tisna menyebut, saat COVID-19 melanda dan terjadi pembatasan, sempat terjadi penurunan, bahkan harga cherry sempat mencapai Rp 4 ribu perkilogram.
"Begitu normal, 2022 ini harga cherry rata-rata Rp 12 ribu yang paling rendah, orang banyak cari cheery baik untuk kepentingan lokal atau ekspor," ujarnya.
Menurut Tisna, kopi di Kabupaten Bandung ditanam diatas ketinggian 1.000 mdpl tersebar dari mulai Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang, Cileunyi, Nagreg, Pacet, Kertasari, Pangalengan, kemudian arkasari, Cimaung, Pasirjambu, Ciwidey termasuk Soreang.
![]() |
Tisna mengakui kopi ini memiliki fungsi konservasi bagi keseimbangan alam di Kabupaten Bandung. Kopi juga bisa mengatasi erosi dan meminimalisir terjadinya banjir.
"Jelas, karena kopi itu ditanam minimal di ketinggian 1.000 mdpl, pegunungan kita ditanami kopi akan bagus, kopi itu butuh naungan tidak monokultur kopi butuh tanaman keras, karena butuh tanaman keras, tanaman ini juga ditanam tidak ditebang, supaya sinar matahari yang masuk ke kebun sekitar 60-80 persen. Itu juga konservasi berbasis kesejahteraan dan bisnis," tuturnya.