Perusahaan rintisan atau startup mengalami pertumbuhan pesat dalam kurun waktu satu dekade terakhir. Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat, sejak 2010-2019 usaha rintisan di Indonesia mencapai 2.193 unit.
Jumlah itu membuat Indonesia menjadi negara dengan jumlah bisnis rintisan terbanyak di dunia setelah Amerika Serikat, India, Inggris, dan Kanada. Beberapa perusahaan rintisan bahkan mampu menyandang predikat unicorn seperti Traveloka, Kopi Kenangan, dan Bukalapak.
Namun setelah tumbuh pesat, kini perusahaan rintisan dihadapkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Ironisnya, gelombang PHK massal ini terjadi pada saat pandemi mulai mereda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal ini dipicu berakhirnya periode promosi yang dikenal dengan istilah bakar uang. Sebab perusahaan rintisan harus segera mengembalikan modal yang sudah digelontorkan investor.
Fenomena yang disebut sebagai gelembung pecah (bubble burst) inipun membuat ekonomi digital yang awalnya melaju dengan pesat kini merosot drastis. Bahkan beberapa perusahaan rintisan telah melakukan pemangkasan ratusan karyawan massal.
Menanggapi hal itu, pakar sistem rantai pasokan Sekolah Bisnis Manajemen (SBM) Institut Teknologi Bandung (ITB) Togar Simatupang mengatakan, saat ini muncul babak baru bagi bisnis rintisan, yakni menghadapi persaingan yang lebih ketat dalam menarik investor dan pelanggan.
"Episode baru ini memerlukan kemampuan untuk menjamin pendapatan riil dengan kemampuan daya lenting (resiliensi) dan daya inovasi. Investor menuntut pengembalian terhadap model yang ditanamkan dan perusahaan yang mampu menjaga pendapatan yang konsisten lah yang dapat bertahan," kata Togar dalam keterangannya, Rabu (15/6/2022).
Menurut Togar, perusahan yang tertinggal perlu mengenal kekuatan dan keunikannya karena monetisasi menjadi sesuai yang dituntut investor. Meskipun ketersediaan modal tetap ada, namun tidak semudah pada tahap awal pengembangan bisnis rintisan digital.
"Selain itu, perusahaan yang tidak bisa mendapat menghasilkan riil tidak akan mendapatkan bantuan modal seperti sebelumnya dan akhirnya akan terus memberhentikan karyawannya dan bisa jadi akan bangkrut," ungkapnya.
Kala itu, kata Wawan, ekspektasi investor terhadap perusahaan dot.com sangat tinggi. Sehingga nilai pasar perusahaan dot.com meningkat tajam saat itu. Namun setelah beberapa waktu, investor bersikap lebih rasional, sehingga beberapa perusahaan dot.com tumbang.
"Hal yang mirip terjadi saat ini. Pada awalnya ekspektasi investor terhadap perusahaan startup sangat tinggi, sehingga membuat valuasi startup sangat tinggi," jelas Wawan.
"Saat ini, secara umum industri startup akan terus tumbuh, tetapi laju pertumbuhannya tidak akan setinggi sebelumnya," imbuhnya.
Menurutnya investor akan lebih hati-hati melihat model bisnis yang dimiliki perusahaan rintisan. Perusahaan yang akan bertahan harus memiliki model bisnis yang tepat dan mampu menghasilkan solusi yang sesuai kebutuhan pasar.
"Selain itu yang bertahan adalah yang mampu mengadaptasi model bisnis sesuai dengan dinamika pasar. Startup yang memiliki model bisnis yang tepat ini diharapkan akan mampu memonetisasi solusi yang ditawarkan kepada pasar," tutup Wawan.
Simak Video "Cikancung Bandung Banjir, Bikin Banyak Motor Mogok"
[Gambas:Video 20detik]
(bba/ors)