Masalah pemasaran selalu menjadi isu sentral dalam bisnis apapun. Hal ini juga berlaku bagi bisnis kerajinan payung geulis khas Tasikmalaya.
Selama ini, ada beberapa kendala yang dihadapi perajin payung geulis dalam upaya meningkatkan kapasitas usaha melalui optimalisasi pemasaran, termasuk kendala menembus pasar global.
"Peluang ekspor sebenarnya terbuka, tapi ada beberapa kendala yang kami hadapi," kata Sandi, salah seorang perajin di Sentra Payung Geulis Panyingkiran Kota Tasikmalaya kepada detikJabar belum lama ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia mengatakan, di masa sebelum pandemi sempat ada empat eksportir yang mulai menjajaki kerja sama dengan perajin payung geulis Tasikmalaya. Rencananya, payung geulis Tasikmalaya akan dipasarkan ke Singapura dan Eropa.
"Nah dari empat eksportir itu ada satu yang hampir jadi, tapi masalahnya terletak di SVLK. Kami enggak punya itu, padahal katanya surat itu penting untuk legalitas ekspor karena kerajinan kita berbahan kayu," jelas Sandi.
SVLK adalah Sistem Verifikasi Legalitas Kayu. Ini menjadi syarat wajib untuk menjamin produk kayu yang diperjualbelikan berstatus legal, baik itu berupa bahan baku maupun produk jadi.
Sandi mengatakan, persoalan ada pada kayu yang digunakan sebagai tumpuan atau bonggol rangka payung geulis.
"Kalau rangkanya terbuat dari bambu itu enggak masalah. Tangkai atau tongkat juga enggak masalah karena terbuat dari kayu biasa. Yang masalah itu bahan kayu yang di bagian atas, yang jadi tumpuan rangka," ungkapnya.
Menurut Sandi, kayu tersebut merupakan kayu jenis Kijang Kurang. Jenis kayu hutan ini agak sulit didapat.
Alasan mengapa harus menggunakan jenis kayu itu karena alur serat kayu Kijang Kurang horizontal, tidak vertikal seperti kayu kebanyakan.
"Ini kan serat batang kayunya ke samping, tidak ke atas. Jadi walaupun dicoak (disodet) untuk tumpuan belasan rangka kayu pun dia kuat. Tidak gampang pecah," tutur Sandi.
![]() |
Dia sendiri pernah berusaha mengganti kayu itu dengan kayu lain, tapi selalu gagal alias mudah pecah. Oleh karena itu, Sandi menyarankan jika pemerintah berniat membantu perajin payung geulis, sebaiknya dibuatkan kebun khusus untuk ditanami pohon Kijang Kurang ini. Sehingga legalitas atau SVLK bisa diterbitkan.
"Harapan kami, pemerintah buat lahan untuk ditanami pohon kayu Kijang Kurang, ya sekitar 2 hektar mah, khusus untuk perajin, sekalian membantu ketersedian bahan baku bagi kami," ucap Sandi.
Selain itu, perajin payung geulis di Tasikmalaya berharap pemerintah membantu pemasaran dengan langkah lebih konkrit atau fokus pada kebutuhan perajin.
Menurutnya, salah satu yang bisa dilakukan adalah memasukkan kerajinan payung geulis dalam kurikulum pelajaran muatan lokal (mulok) di sekolah.
"Kalau bisa payung geulis masuk mulok di sekolah-sekolah. Apalagi payung geulis sudah ditetapkan oleh Kemendikbud sebagai warisan budaya Jawa Barat. Saya pikir bisa dan mudah bagi pemerintah untuk melakukannya," pintanya.
Dengan dijadikan pelajaran muatan lokal, ia yakin akan banyak sekolah-sekolah yang belajar membuat, mempelajari sejarah, dan pada akhirnya membeli payung geulis. Apalagi jumlah siswa mencapai ribuan. Itu artinya akan ada ribuan order payung geulis setiap tahun.
"Masalah harga jual untuk anak sekolah bisa disesuaikan dan diserahkan pada mekanisme pasar saja, yang penting payung geulis bisa tumbuh dan berkembang," kata Sandi.
Dampak positif lain yang bisa didapatkan seandainya kebijakan itu dilakukan pemerintah adalah terjadinya regenerasi perajin payung geulis.
"Regenerasi itu penting agar tak punah. Makanya harus diperkenalkan sejak dini, sejak usia sekolah mereka harus paham tradisi atau budaya ini," jelas Sandi.
Mengenai optimasi penjualan online, Sandi mengatakan pihaknya baru sebatas memaksimalkan akun media sosial. Sementara untuk bersaing di marketplace, menurut dia selalu kalah rating.
"Sulit untuk menjadi yang teratas di pencarian, justru kalah sama reseller," sesal Sandi.
(ors/ors)