Latah, Gangguan Medis atau Fenomena Budaya di Indonesia?

Latah, Gangguan Medis atau Fenomena Budaya di Indonesia?

Adi Mukti - detikJabar
Rabu, 17 Des 2025 07:30 WIB
Latah, Gangguan Medis atau Fenomena Budaya di Indonesia?
Ilustrasi terkejut (Foto: Dok. Shutterstock)
Bandung -

Latah sering ditemukan di Indonesia. Kondisi ini kerap menarik perhatian publik karena sering menimbulkan situasi komedi yang dianggap lucu. Namun, muncul pertanyaan penting, apakah latah merupakan kelainan medis atau sekadar tindakan akibat pengaruh budaya?

Secara sederhana, latah adalah reaksi spontan yang muncul akibat terkejut.

Menurut National Library of Medicine, latah memiliki beragam manifestasi, seperti pengulangan kata orang lain atau meniru gerakan. Dalam literatur psikiatri dan antropologi, latah sering dikategorikan sebagai culture syndrome atau 'culturally patterned startle syndrome'. Fenomena ini kadang disederhanakan sebagai bagian dari Startle Syndrome.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penting untuk membedakan Startle Syndrome dengan Tourette Syndrome. Tourette Syndrome adalah kondisi di mana seseorang mengulang kata atau gestur tertentu secara spontan, namun tidak dipengaruhi oleh respons eksternal melainkan lebih pada masalah internal individu.

ADVERTISEMENT

Latah menjadi subjek pembahasan yang luas dalam aspek ilmiah, sebagian pakar berpendapat hal ini dipengaruhi oleh budaya, sementara sebagian lainnya menyoroti peran biologis dan neurologis.

Ada bukti bahwa latah melibatkan jalur refleks startle (pons/batang otak, sirkuit amigdala) yang dimediasi sistem saraf otonom, sehingga reaksi fisik seperti jantung berdebar dan berkeringat muncul cepat setelah terkejut. Namun, tidak ada bukti konsisten yang menunjukkan bahwa latah adalah kelainan struktur otak tertentu. Meskipun demikian, terdapat penjelasan spesifik mengenai berbagai jenis manifestasi latah.

Salah satu jenis latah paling umum adalah Echolalia. Melansir Movement Disorder, fenomena ini dipahami secara klinis sebagai bagian dari latah.

Echolalia berarti mengulang ucapan seseorang secara spontan atau otomatis setelah terkejut, bukan sebagai respons yang bernalar. Pada beberapa individu yang mengalami echolalia, setelah menerima stimulus mengejutkan, mereka bisa mengulangi kata, frasa, atau bahkan seluruh kalimat yang diucapkan oleh orang di sekitarnya.

Echopraxia adalah peniruan gerakan orang lain secara otomatis setelah terkejut atau dalam kondisi latah. Manifestasinya bukan hanya kata, melainkan juga gerak tubuh, seperti meniru gestur atau gerakan tangan lawan bicara atau orang di sekitar. Kondisi ini mirip dengan echolalia, namun perbedaannya terletak pada responsnya yang berupa gerak tubuh atau bahasa non-verbal, bukan suara.

Coprolalia adalah fenomena di mana seseorang tanpa sadar mengucapkan kata-kata kasar, tabu, atau seksual setelah menerima stimulus terkejut. Manifestasi vokal berupa kata-kata 'jorok' atau tidak pantas tanpa kendali sadar ini memang merupakan bagian dari latah.

Palilalia berarti mengulang suku kata atau kata yang sama secara berulang setelah terkejut, meskipun lawan bicara tidak meminta pengulangan. Ini berbeda dengan echolalia karena yang diulang bukan ucapan orang lain, melainkan bagian dari ucapan penderita itu sendiri.

Forced obedience adalah jenis latah yang jarang ditemui. Kondisi ini merujuk pada respons latah di mana individu setelah terkejut akan langsung mengikuti perintah singkat dari orang lain tanpa pertimbangan rasional. Ini termasuk fenomena hypersuggestibility, yaitu sugesti yang sangat mudah diterima oleh individu pada saat itu.

Beberapa peneliti psikologis melihat latah sebagai bentuk dissociation atau cara non-verbal untuk mengekspresikan tekanan emosional, terutama jika individu berada dalam kondisi stres atau trauma.

Namun, latah juga memiliki penjelasan dalam aspek sosial/budaya. Peran budaya, ekspektasi sosial, dan ritualisasi memengaruhi bagaimana gejala ini dipahami, dipertunjukkan, dan diperkuat. Banyak studi etnografi menekankan bahwa latah adalah fenomena yang 'dibentuk' oleh norma sosial setempat.

Alasan mengapa latah masih diperdebatkan adalah karena fenomena ini berada di persimpangan antara perilaku yang dapat diobservasi dan interpretasi budaya. Beberapa ahli berargumen bahwa banyak kasus sebenarnya adalah respons yang dipelajari atau role-played dalam konteks budaya, sementara aspek lain menunjukkan pola klinis konsisten yang menunjuk pada basis neurofisiologis. Oleh karena itu, literatur klinis dan etnografis sama-sama penting untuk memahami fenomena ini.

Jadi, secara umum latah tidak sepenuhnya dapat dikategorikan sebagai sindrom atau penyakit murni, namun juga bukan sekadar perilaku biasa. Latah dipengaruhi oleh konteks sosial atau budaya yang secara tidak langsung membentuk perilakunya, dan tidak selalu berhubungan dengan kelainan otak. Untuk saat ini, belum ada kasus fatal yang dilaporkan akibat dari Startle Syndrome atau latah.




(dir/dir)


Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads