Kabar perceraian saat ini santer terdengar, mulai dari artis hingga tokoh publik yang selama ini dikenal memiliki rumah tangga yang harmonis selama puluhan tahun.
Muncul pertanyaan, kenapa pasangan yang puluhan tahun hidup bersama memilih berpisah di usia senja ? Ternyata fenomena itu dikenal dengan istilah 'grey divorce'.
Grey divorce merujuk pada perceraian yang terjadi pada pasangan berusia 50 tahun ke atas, umumnya setelah menjalani pernikahan panjang selama 20 hingga 40 tahun. Ibarat bom waktu, konflik yang lama terpendam akhirnya meledak di fase kehidupan yang seharusnya lebih tenang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fenomena ini bukan hal baru secara global. Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Jepang, dan sejumlah negara Eropa, grey divorce menunjukkan tren peningkatan signifikan. Sekitar 34 persen perceraian terjadi pada pasangan yang telah menikah lebih dari 30 tahun, dan 12 persen pada pernikahan di atas 40 tahun.
Di Amerika Serikat, angka grey divorce meningkat dua kali lipat antara 1990 hingga 2010. Jepang mengenalnya dengan istilah jukunen rikon, sementara di Korea Selatan disebut hwanghon ihon, keduanya merujuk pada perceraian setelah 20 tahun pernikahan atau lebih.
Tren Grey Divorce di Indonesia
Di Indonesia, perceraian memang lebih umum terjadi pada usia muda. Namun data menunjukkan perceraian usia lanjut mulai meningkat.
Berdasarkan data Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama, sepanjang periode 2020 hingga 2024, angka cerai tertinggi justru berasal dari laki-laki usia 52 tahun ke atas, dengan total mencapai sekitar 202.333 orang. Pada perempuan, meski bukan kelompok tertinggi, angka perceraian usia 50 tahun ke atas juga tergolong signifikan.
Direktur Pelayanan Kesehatan Kelompok Rentan Kementerian Kesehatan RI, dr Imran Pambudi, MPHM, turut menyoroti tren ini. Menurutnya, keputusan grey divorce kerap berkaitan dengan konflik lama yang menumpuk setelah dipendam bertahun-tahun.
"Grey divorce itu seperti bom waktu. Masalahnya sudah ada sejak lama, tetapi baru 'meledak' ketika seseorang memasuki fase refleksi hidup, anak-anak sudah mandiri, atau ketika pasangan menghadapi perubahan besar seperti pensiun atau penurunan kesehatan," beber dr Imran saat dihubungi detikcom Selasa (16/12/2025).
Ia menjelaskan pada fase usia lanjut, pasangan cenderung melakukan evaluasi mendalam terhadap kualitas hidup dan relasi. Pertanyaan seperti 'Apakah saya ingin menjalani sisa hidup seperti ini?' kerap muncul dan menjadi pemicu keputusan besar.
Mengutip berbagai studi, dr Imran menekankan grey divorce sering terjadi setelah anak-anak dewasa dan keluar dari rumah (empty nest), dengan usia pernikahan panjang antara 20 hingga 40 tahun. Menariknya, fenomena ini juga kerap diprakarsai oleh perempuan, temuan yang konsisten di berbagai negara, termasuk riset yang dilakukan di Indonesia.
Alasan yang melatarbelakangi pun beragam, mulai dari pasangan yang tumbuh ke arah berbeda (growing apart), kebutuhan emosional yang tak lagi terpenuhi, konflik lama yang tak pernah benar-benar selesai, hingga perubahan nilai hidup, spiritualitas, dan kondisi kesehatan yang justru memperkuat konflik yang sudah ada.
Tak Semua Krisis Harus Berakhir dengan Cerai
Menurut dr Imran, tidak semua pernikahan usia panjang yang mengalami krisis harus berujung perceraian. Dukungan dari lingkungan sekitar masih memegang peran penting.
"Keluarga dan orang terdekat perlu hadir secara empatik, bukan menghakimi. Pendekatan konseling, baik individual maupun pasangan, tetap relevan bahkan di usia lanjut. Tujuannya bukan hanya mempertahankan pernikahan, tetapi membantu pasangan memahami diri dan relasinya secara lebih sehat," jelasnya.
Ia juga menekankan pentingnya pendekatan life review atau pemaknaan ulang perjalanan hidup, baik sebagai individu maupun sebagai pasangan. Selain itu, dukungan sosial yang konsisten dan terbuka dapat membantu menyembuhkan luka relasi yang telah menahun.
"Baik bertahan maupun berpisah, pasangan perlu dibantu untuk memahami realitas kehidupan ke depan, termasuk kesiapan mental, sosial, dan finansial. Grey divorce bukan hanya soal hubungan suami istri, tetapi juga berdampak pada kesehatan mental, relasi keluarga besar, dan kualitas hidup di usia lanjut," kata dr Imran.
Artikel ini telah tayang di detikHealth
(naf/yum)










































