Sebelum dikenal sebagai Palabuhanratu, teluk di pesisir selatan Sukabumi ini sudah lebih dulu punya nama lain yang terdengar asing di telinga, Wijnkoopsbaai. Nama itu muncul dalam catatan pelaut dan pedagang Eropa berabad-abad lalu jauh sebelum masyarakat setempat mengenalnya sebagai Palabuhanratu.
Irman Firmansyah, penulis buku Sukabumi The Untold Stories, mengatakan penamaan itu menyimpan kisah panjang yang tak tunggal.
"Mengenai asal usul nama Wijnkoopsbaai ini orang Eropa sendiri berbeda pendapat," ungkap Irman, Rabu (5/11/2025).
Sebagian peneliti, lanjutnya, merujuk pada catatan profesor PJ Veth. Dalam arsip itu disebutkan nama Wijnkoopsbaai diambil dari seorang pedagang bernama Jan Jacobz, yang menjalankan bisnis anggur di Palabuhanratu pada masa VOC, tepatnya tahun 1626.
"Jika benar, mungkin dialah orang Eropa yang pertama kali mendatangi Palabuhanratu," ujarnya.
Namun tafsir lain membawa kita pada cerita yang lebih lokal.
Menurut Irman, seorang peneliti bernama Voderman punya pandangan berbeda. Ia menyebut nama itu berasal dari kebiasaan masyarakat sekitar pantai yang menanam dan memanen tuak atau anggur kelapa.
"Sehingga orang Portugis menyebutnya wijncoops mountain, dan jadilah namanya Wijnkoopsbaai," kata Irman mengutip catatan Buys tahun 1891.
Nama itu juga muncul dalam salah satu dokumen tertua, yakni deskripsi perjalanan Rijklof van Goens tahun 1656. Dalam catatan itu, wilayah Palabuhanratu disebut sebagai pintu masuk ke Wijncoopsbergen.
"Awalnya adalah penamaan gunung de Wijncoopsbergen dekat Ujung Genteng yang dilakukan oleh Dirk De Vries setelah meninggalkan Ujung Genteng," tutur Irman.
Nama tersebut, katanya, diduga diberikan untuk menghormati Jan Jacobsz Wijncoop, pejabat tertinggi di kapal.
Namun sejarah jarang berjalan lurus. Voderman dalam catatan lain menyebut nama awalnya Winkoopersbaai, berasal dari kata wijn sebutan Belanda untuk tuak dan arak yang dibuat dari kelapa (Cocos).
Dalam peta perjalanan tahun 1755, muncul pula istilah pointe dr vineron, yang berarti penyadap anggur dalam bahasa kuno Eropa.
"Bahkan tahun 1815 dalam peta Mortier Coven masih disebut Hoek Vineron," ujarnya.
Perdebatan ini tak berhenti di situ. Sejarawan De Haan membantah teori Voderman. Ia berpendapat, nama Wijnkoopsbaai lebih terkait dengan wilayah pegunungan Jampang, yang hanya bisa diakses lewat Pelabuhanratu.
"Nama tersebut sebenarnya dikaitkan dengan Wijncoopsbergen, yaitu wilayah pegunungan Jampang yang hanya bisa diakses dari Pelabuhanratu," jelas Irman.
Karena muara Cimandiri menjadi batas alami Jampang, Belanda menempatkan penjagaan di sekitar wilayah itu.
"Sehingga disebut Wijnkoopsbaai, artinya teluknya Wijncoopsbergen, dalam konteks teluknya Jampang," lanjutnya.
Bagaimanapun, Palabuhanratu adalah kisah yang lebih dari sekadar nama. Teluknya melengkung seperti tapal kuda raksasa, memeluk samudra dengan ombak yang tak pernah sama setiap harinya.
Dari bukit-bukit hijau di sekelilingnya, laut terlihat biru pekat di pagi hari dan berkilau keemasan saat matahari turun. Pantai Cimaja, Citepus, hingga Karang Hawu seakan berbaris menjaga kisah lama yang masih berbisik di balik desiran angin.
Dulu, para pelaut Eropa menandai teluk ini di peta dengan nama asing yang rumit diucapkan. Kini, nama itu telah larut bersama waktu. Yang tersisa adalah Palabuhanratu sebuah nama yang lebih akrab diucapkan lidah Nusantara, tapi tetap menyimpan jejak panjang pertemuan antara dunia lokal dan lintasan sejarah global.
(sya/sud)