Sebelum menjadi pusat pemerintahan dan ekonomi nasional, sejarah Jakarta telah dimulai berabad-abad yang lalu. Bibit dari Jakarta bermula dari pelabuhan kecil sekitar 500 tahun lalu.
Riwayat Jakarta dapat dilihat melalui beberapa prasasti di sekitar pelabuhan dan sepanjang Sungai Ciliwung. Sejarah terkait jakarta juga tercatat oleh para pengembara Eropa pada abad ke-16, dikatakan dalam portal resmi Provinsi DKI Jakarta.
Namun, jauh sebelum dikenal sebagai jakarta, wilayah ini mengalami beberapa kali pergantian nama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Asal Usul Nama Jakarta
Sunda Kelapa
Berdasarkan berbagai catatan sejarah, kawasan ini dulu pernah dikenal sebagai Sunda Kelapa. Bukti arkeologis mengenai nama Sunda Kelapa juga masih dapat ditemukan melalui padrao atau batu peringatan yang menjelaskan perjanjian antara Portugis dan Kerajaan Sunda.
Perjanjian antara Portugis dan Kerajaan Sunda dibuat pada 21 Agustus 1522. Dijelaskan dalam laman Museum Nasional, isi perjanjian itu antara lain Portugis diizinkan mendirikan kantor dagang berupa benteng di wilayah Kalapa dan di tempat tersebut didirikan batu peringatan (padrao) dalam bahasa Portugis.
Jayakarta
Pada 22 Juni 1527 terjadi pertempuran, dengan pasukan Kerajaan Demak yang didukung oleh Kerajaan Cirebon di bawah kepemimpinan pangeran Fatahillah berhasil merebut pelabuhan Sunda Kelapa dari Portugis.
Kemenangan tersebut bukan hanya menandai kekalahan kekuatan asing, melainkan juga titik balik sejarah Jakarta.
Sebagai simbol kemenangan, Pangeran Fatahillah lalu mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta yang artinya "kemenangan sempurna". Maka sejak saat itulah 22 Juni dikenal dan diperingati sebagai hari lahir kota Jakarta.
Jacatra
Orang Portugis kemudian menamai wilayah ini sebagai Jacatra. Sewaktu Jayakarta dipimpin Tubagus Angke, orang-orang Belanda mulai mendatangi wilayah ini.
Mereka turut menyebut kawasan ini sebagai Jacatra.
Batavia
Belanda melalui Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) menjalin kerja sama dagang dengan penguasa Jayakarta yakni Pangeran WIjayakrama yang juga adalah anak dari Tubagus Angke. Maka, VOC pun diizinkan membuka kantor di Jayakarta.
Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen pun akhirnya merebut Jayakarta pada 30 Mei 1619.
Berdasarkan tulisan "Nama-nama Tempat di Jakarta dan Kaitannya dengan Masa Kolonial" oleh Lilie Suratminto dari Universitas Indonesia, setelah dikuasai Belanda, JP Coen menghendaki nama kota ini diganti menjadi Hoorn seperti nama tempat kelahirannya.
Usulan itu ditolak oleh De Heeren Zeventien (Dewan 17) VOC. Dewan 17 meminta untuk diubah menjadi Batavia seperti nama nenek moyang bangsa Belanda, yakni Bataaf.
Djakarta
Saat pendudukan Jepang pada 1942-1945, nama Batavia diganti dengan nama Djakarta, akronim dari Djajakarta. Ejaan nama kota tersebut berlaku dari 1942 sampai 1972.
Jakarta
Sejak 1972 hingga sekarang ejaan Djakarta diubah jadi Jakarta sesuai ejaan Mashuri. Pada 1972 Mashuri menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI.
(nah/nwk)