Wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto menuai penolakan dari kalangan mahasiswa di Sukabumi. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Sukabumi Raya menegaskan menolak usulan tersebut.
Pernyataan itu disampaikan dalam kajian politik dan historis bertajuk 'Soeharto Bukan Pahlawan, Tetapi Pemimpin yang Tak Pernah Diadili' yang digelar di Sekretariat GMNI Sukabumi Raya. Kegiatan ini dipantik oleh Sekretaris Jenderal Rifky Zulhadzilillah dan Wakabid Politik, Hukum, dan HAM Gilang Tri Buana, serta dihadiri kader dari berbagai komisariat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kajian ini bentuk sikap ideologis kami menolak Soeharto dijadikan pahlawan nasional. Secara moral, hukum, dan sejarah, dia tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam UU No. 20 Tahun 2009," kata Sekretaris Jenderal GMNI Sukabumi, Rifky Zulhadzilillah, Sabtu (8/11/2025).
GMNI menilai Soeharto telah menyimpang dari garis nasionalisme Bung Karno dan cita-cita Revolusi Indonesia. Menurut Rifky, nasionalisme Bung Karno berpijak pada semangat pembebasan dan kedaulatan rakyat, sedangkan nasionalisme Soeharto berubah menjadi elitis dan pragmatis.
"Nasionalisme Soekarno adalah nasionalisme pembebasan, sedangkan nasionalisme Soeharto menjadi nasionalisme penjinakan," ujarnya.
Dalam pandangan GMNI, Soeharto tidak melanjutkan perjuangan Bung Karno, melainkan membelokkan arah revolusi menjadi proyek pembangunan tanpa semangat kerakyatan.
Orde Baru Dianggap Mengingkari Trisakti dan Demokrasi
Wakabid Politik, Hukum, dan HAM GMNI Sukabumi, Raya Gilang Tri Buana mengatakan, konsep Trisakti Bung Karno yaitu berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan telah ditinggalkan oleh Soeharto.
"Politik luar negeri yang bebas aktif berubah jadi tunduk pada Barat, ekonomi berdikari diganti kapitalisme kroni, dan budaya bangsa digantikan gaya hidup konsumtif," ujarnya.
Pihaknya juga menilai rezim Orde Baru anti-demokrasi dan anti-rakyat, karena menindas oposisi politik, membungkam media, serta menekan gerakan mahasiswa, buruh, dan petani.
Tolak Pemutihan Sejarah dan Penghianatan terhadap Revolusi
Selain itu, pihaknya menuding Soeharto melakukan politik de-Soekarnoisasi dengan menghapus peran Bung Karno dari sejarah nasional. Mereka menyebut hal ini terlihat dari pelarangan ajaran Marhaenisme dan pengubahan buku pelajaran sejarah pada masa Orde Baru.
"Bung Karno dijadikan tahanan rumah hingga wafat. Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan tanpa mengakui penyingkiran itu sama saja mengkhianati sejarah," kata Rifky.
GMNI Sukabumi Raya juga menolak klaim keberhasilan pembangunan Orde Baru yang disebut hanya bergantung pada utang luar negeri dan memperlebar kesenjangan sosial.
Dia menegaskan bahwa pahlawan sejati bukan sekadar pemimpin pembangunan, tapi juga penjaga moral dan kemanusiaan. Mereka menilai Soeharto gagal memenuhi prinsip itu karena masih meninggalkan luka sejarah berupa pelanggaran HAM, korupsi, dan represi politik.
"Tak ada rekonsiliasi tanpa kebenaran. Penghargaan tanpa pertanggungjawaban hanya melukai korban dan keadilan sejarah," ucap Rifky.
Dalam pernyataannya, GMNI Sukabumi Raya menyebut lima alasan penolakan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional di antaranya menyimpang dari nasionalisme Bung Karno, mengingkari semangat Trisakti, melakukan de-Soekarnoisasi, menjadi simbol anti-demokrasi dan penindasan rakyat dan belum ada penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.
"Pahlawan bukan yang dipuja oleh kekuasaan, tapi yang membebaskan rakyat dari penindasan. Soeharto bukan simbol kepahlawanan, melainkan cermin kegagalan bangsa dalam menegakkan keadilan sejarah," tutupnya.
(orb/orb)










































