Malam pergantian tahun 1926 ke 1927 adalah momen yang bersejarah bagi masyarakat Kota Bandung, bahkan juga dunia perfilman Indonesia. Pada 31 Desember 1926, dua bioskop kenamaan di Bandung, yakni Elita dan Oriental, menayangkan sesuatu yang belum pernah disaksikan publik Hindia Belanda sebelumnya, yakni sebuah film bisu berjudul Loetoeng Kasaroeng.
Bila dibandingkan dengan film masa kini, film karya N.V Java Film Company tersebut tentu tampak sangat sederhana. Dibuat tanpa suara, hitam putih, dan dengan pencahayaan yang jauh dari sempurna.
Tapi di balik layar, sejarah baru tengah lahir. Untuk pertama kalinya, sebuah film di Hindia Belanda menampilkan orang-orang pribumi sebagai pemeran utama, serta mengangkat jalan cerita yang diadaptasi dari legenda masyarakat lokal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelum Loetoeng Kasaroeng, bioskop di Hindia Belanda kebanyakan hanya menayangkan film-film impor. Dilansir dari jurnal bertitel Loetoeng Kasaroeng : Wiranatakusumah V Peletak Dasar Film Trans-nasional (2016), sejak awal 1900-an, film-film yang beredar di Batavia, Surabaya, atau Semarang biasanya berupa dokumenter buatan orang Eropa.
Isinya mayoritas hanya membahas tentang kehidupan di Belanda, parade militer, atau pemandangan kota di Eropa, tanpa ada jalan cerita khusus. Penontonnya pun kebanyakan orang Belanda, dengan tiket yang cukup mahal.
Di tahun 1903, gedung bioskop pertama bernama The Royal Bioscope dibangun di Batavia. Dari situ, bioskop mulai tumbuh di kota-kota besar. Ketika minat masyarakat Hindia Belanda terhadap film sudah mulai terbentuk, pengusaha film Hinda Belanda mulai berminat untuk memproduksi film cerita yang ditujukan bagi penonton kelas menengah dan kelas bawah.
"Maka pada tahun 1926, dibuatlah film Loetoeng Kasaroeng, sebuah cerita yang diangkat dari legenda rakyat Jawa Barat, yaitu cerita Lutung Kasarung," ungkap penulis jurnal tersebut, RB Armantono.
Dukungan Penuh Bupati Bandung
Film Loetoeng Kasaroeng disutradarai dan diproduseri oleh L. Heuveldorp, sedangkan sinematografernya adalah G. Krugers. Heuveldorp merupakan sutradara sekaligus produser berdarah Belanda yang pernah bekerja di Amerika, dan kemudian mendirikan NV Java Film Company di Bandung. Krugers, rekan sekaligus sinematografer, membantu urusan kamera dan laboratorium film.
Dukungan terbesar dalam keseluruhan produksi film ini datang dari R.A.A. Wiranatakusumah V, Bupati Bandung (Bandoeng) kala itu. Selain memberikan izin dan dana produksi, Wiranatakusumah V juga memilih sendiri para pemerannya, yang sebagian besar berasal kalangan keluarga serta kerabatnya. Di antara pemain yang tercatat adalah Martonah dan Oemar, dua orang pribumi ningrat yang turut berperan dalam film ini.
"Produksi film ini juga melibatkan orang-orang Indo-Belanda sebagai penghubung komunikasi antara orang-orang asing dan orang Indonesia. Ada juga Raden Kartabrata yang diserahkan untuk memimpin para pemain, khususnya dari golongan priyayi," tulis RB Armantono.
Dukungan Wiranatakusumah menjadikan Loetoeng Kasaroeng bukan sekadar proyek hiburan, tapi juga simbol kebanggaan lokal. Untuk pertama kalinya, orang-orang pribumi tidak hanya duduk sebagai penonton, tapi tampil di layar sebagai tokoh utama dalam kisah mereka sendiri.
Proses syuting film ini dimulai pada bulan Agustus 1926, dengan latar gua di kawasan Bukit Karang, sekitar dua kilometer dari Padalarang, Kabupaten Bandung Barat. Raden Kartabrata berperan sebagai pengarah akting para aktor pribumi dalam Loetoeng Kasaroeng, yang salah satunya merupakan anak Wiranatakusumah V.
Sulit Diterima di Luar Daerah
Dilansir dari buku Merayakan Film Nasional (2017) yang diterbitkan Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, kisah Loetoeng Kasaroeng diambil dari legenda populer masyarakat Sunda, Lutung Kasarung.
Ceritanya berpusat pada dua saudari, yakni Purbararang dan Purbasari. Sang kakak, Purbararang, digambarkan memiliki perasaan iri karena adiknya lebih cantik dan bijak. Ia pun menghina Purbasari karena memiliki kekasih seekor lutung hitam bernama Guru Minda.
Selain menghina, Purbararang juga membanggakan kekasihnya sendiri, Indrajaya, seorang manusia tampan. Namun di akhir cerita, terungkap bahwa Guru Minda bukan lutung biasa, melainkan pangeran tampan titisan Dewi Sunan Ambu. Ceritanya mengandung pesan moral janganlah menilai seseorang dari penampilan luarnya semata.
Pemutaran perdana Loetoeng Kasaroeng digelar di Bandung mulai 31 Desember 1926 sampai 6 Januari 1927, hanya berlangsung selama satu minggu. Iklan filmnya muncul di surat kabar De Preanger Bode dan De Locomotief, ditulis dalam bahasa Belanda dan Melayu.
Untuk menarik penonton, pertunjukan film ini diiringi musik gamelan Sunda secara langsung. Namun, Loetoeng Kasaroeng disebut kurang dapat diterima oleh penonton di daerah lain selain tanah Sunda. Keterangan dalam buku tersebut menyebutkan bahwa salah satu penyebabnya adalah karena latar ceritanya bersifat sangat kedaerahan, sehingga penonton di daerah lain merasa kurang antusias.
Hal tersebut pun berimbas pada pendapatan film yang disebut merugi. Setelah seminggu tayang di dua bioskop ternama di Bandung, Loetoeng Kasaroeng harus turun layar dan digantikan oleh film-film Hollywood.
Untuk menutupi kerugian produksi Loetong Kasaroeng, Heuveldorp di tahun berikutnya mengupayakan kredit obligasi untuk membiayai pembuatan film Eulis Atjih (1927) atau Poetri Jang Tjantik Manis dari Bandoeng. Film tersebut laku di pasaran, bahkan hingga tembus ke pasar Singapura. Pendapatan yang diperoleh dari film tersebut digunakan untuk menutup kerugian produksi Loetoeng Kasaroeng.
Meski demikian, jejak kemunculan Loetoeng Kasaroeng sebagai film perdana yang diproduksi di Hindia Belanda dan dibintangi pribumi menjadi salah satu dasar bagi berkembangnya perfilman lokal di dekade berikutnya.
Sayangnya, tak ada satu pun salinan fisik Loetoeng Kasaroeng yang tersisa hari ini. Satu-satunya bukti keberadaannya hanya tersimpan lewat kliping surat kabar tahun 1926, seperti De Preanger Post dan Panorama.











































