Di tengah semangat menghidupkan kembali denyut koperasi sebagai poros ekonomi rakyat, isu permodalan kembali jadi perdebatan hangat. Bagi sebagian pengurus, tawaran modal dari bank Himbara terdengar seperti peluang besar. Namun, di balik peluang itu tersimpan ketakutan, yaitu jebakan bunga bank yang justru bisa memberatkan anggota.
Heri, Ketua Koperasi di Bogor, mengungkapkan persoalan itu dengan gamblang. Menurutnya, memang ada ruang permodalan bagi koperasi lewat pinjaman dari bank Himbara. Bahkan sempat muncul pernyataan dari salah satu menteri bahwa pengurus koperasi nantinya akan menerima gaji sekitar Rp6-8 juta.
"Yang beban itu bunga 6 persen. Misalkan mendapat permodalan 3 miliar dari bank Himbara dengan bunga 6 persen, berapa ke anggota bunganya dari setiap pinjam untuk permodalan?," beber Heri saat berbincang dengan detikJabar, Minggu (21/9/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Cecep Muhtarudin, Ketua Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) Hambalang, justru memilih menahan diri terhadap tawaran modal. Baginya, pinjaman belum bisa diterima, apalagi jika syaratnya harus mengagunkan dana desa.
"Untuk di wilayah nunggu regulasi, saya lima kali didatengin BUMN Himbara, kita tolak. Kenapa? Karena yang jadi agunan dana desa, kami belum siap kalau yang diagunkan dari dana desa. Tidak ada nominal berapa yang diagunkan, adapun kalau macet, bank bukan nagih ke kantor desa tapi ke pemerintahan kabupaten. Kita keberatan lah, kita belum bisa," kata Cecep.
Bagi Cecep, bunga yang dipatok sebesar 6 persen per tahun masih terlalu tinggi. Idealnya, pinjaman koperasi desa bisa diberi bunga ringan, sekitar 3-4 persen, agar tidak menjadi beban baru bagi masyarakat.
"Secara bunga ditentukan 6 persen per tahun, bunga untuk pinjaman kopdes kalau bisa 3 atau 4 persen dan untuk agunan pun jangan menggunakan dana desa," harapnya.
Lebih jauh, Cecep juga mengkritisi mekanisme pencairan. Pinjaman bank bukan digelontorkan langsung ke koperasi desa, melainkan ke BUMN lain, sementara koperasi hanya menerima barang, bukan uang tunai. Situasi itu membuatnya semakin yakin untuk mengandalkan kemandirian.
"Uang saya pribadi udah 25 juta, kita kemarin suplay barang ke mitra kirim air dengan konsinyasi, ya bisa. Pengen membuktikan kemandirian," tutur Cecep.
Kini ia mencoba langkah baru dengan dukungan pinjaman dari kepala desa. Dana itu dipakai untuk merancang suplai kebutuhan pokok dalam program Makan Bergizi (MBG) di Depok.
"Ini lagi rancang pengiriman kebutuhan pokok MBG di Depok, jadi ada kerjasama untuk suplay barang kayak beras, susu, ayam. Lagi proses, alhamdulillah PO udah turun untuk daging ayam, nunggu susu kotak jadi PO," jelas Cecep.
Kekhawatirannya tetap sama dengan Heri, koperasi desa bisa terjerat dalam lingkaran bunga. Jika koperasi meminjam dengan bunga 6 persen, maka kepada anggota pun bunga yang dipatok bisa setara. Padahal, koperasi masih punya kebutuhan operasional agar bisa berjalan.
"Masa kita pinjam ke Himbara bunga enam persen, masa kita beri pinjaman ke anggota bunga 6 persen juga. Padahal kita ada operasional untuk menjalankan kopdes," tegasnya.
Hal serupa juga dialami Maemunah, Sekretaris Koperasi Merah Putih Karadenan. Ia mengaku beberapa kali dikejar pihak bank Himbara untuk tawaran peminjaman. Namun, May, sapaan akrabnya, memilih tidak terburu-buru.
Baginya, penguatan organisasi lebih penting ketimbang langsung masuk ke skema permodalan. Ia menilai koperasi harus berdiri di atas fondasi yang kokoh, baru setelah itu melangkah pada tawaran besar dari perbankan.
Namun di lapangan, baik Heri, Cecep, dan May sama-sama berhadapan dengan stamina pengurus yang melemah. Ketiadaan gaji membuat beberapa orang nyaris angkat tangan.
"Mereka gak digaji hampir mau mundur," kata Cecep.
"Untungnya saya petarung, meski tekor yang penting kesohor," Cecep berkelakar.
(dir/dir)