Perkampungan dengan enam nama gang bertema pandemi COVID-19 di RW 02 Kelurahan Argasari, Kecamatan Cihideung Kota Tasikmalaya, terselip fakta dan keresahan yang dialami warganya. Ternyata permukiman dengan luas 27.660 meter persegi dengan jumlah penduduk 733 Kepala Keluarga (KK) ini berdiri di atas tanah wakaf.
Artinya, tak satu pun warga memiliki sertifikat hak milik atas tanah dan bangunan yang diduduki sejak puluhan tahun silam. Selama ini mereka menyewa kepada nazhir atau pihak/yayasan pengelola tanah wakaf.
Yang kini menyelipkan keresahan adalah adanya isu pengelola wakaf hendak mengambil alih tanah seluas 2 hektare itu. Hal lain yang jadi pemicu keresahan adalah harga sewa yang terus naik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa warga di kampung ini mengonfirmasi hal itu. Meski sebagian warga memilih bersikap tertutup atas masalah kepemilikan lahan tersebut.
Akan tetapi, dari informasi yang dihimpun, wilayah RW 02 ini dulunya merupakan tanah milik Dalem Sumedang, beberapa warga menyebut milik Pangeran Kornel Sumedang. Lahan ini kemudian diwakafkan kepada sebuah lembaga atau yayasan pendidikan yang saat ini berkedudukan di wilayah Lengkong, Kecamatan Tawang, Tasikmalaya.
Saat diwakafkan di zaman kolonial Belanda itu, lahan ini berupa sawah. Tapi seiring perkembangan zaman dan dampak letusan Gunung Galunggung, sawah ini jadi tak terjangkau irigasi. Akibatnya pemanfaatan jadi kurang maksimal.
Akhirnya pemanfaatan lahan diubah jadi disewakan kepada masyarakat. Sawah diurug menjadi tanah darat, dikavling-kavling lalu disewakan.
![]() |
Perlahan banyak warga yang menyewa di lahan ini, lalu menjadikannya permukiman. Perlahan tapi pasti, berubahlah areal sawah menjadi kawasan permukiman padat penduduk. Posisinya yang berada dekat dari pusat kota, turut memicu pesatnya transformasi daerah ini menjadi permukiman urban.
"Iya memang tanah wakaf dari Dalem Sumedang, dulunya sawah, sekitar tahun 70-an masih sawah. Nggak ada yang punya sertifikat, semuanya nyewa ke nazhir," kata Ketua RW 02 Argasari, Dayat Suhendar, belum lama ini.
Dayat juga mengakui dirinya termasuk penyewa, sekitar tahun 70-an dia mulai menyewa. Mendirikan rumah dan menjalani kehidupannya. Apa yang dilakukan Dayat dilakukan juga oleh ratusan warga lain. Mereka yang semula keluarga kecil berubah jadi keluarga besar, punya anak cucu. Hingga kini terbentuklah satu RW dengan 10 wilayah RT.
"Biaya sewanya memang murah, terus dikelas-kelas. Ada 4 kelas, yang pinggir jalan raya kelas 1, kalau kelas 4 di dalam gang," ujar Dayat.
Dayat membenarkan saat ini ada keresahan menyusul pemilik atau pengelola wakaf menaikkan tarif sewa. Bahkan ada wacana untuk ruilslag alias tukar guling, jadi warga membayar kepada nazhir untuk kepemilikan lahan itu, kemudian nazhir membeli lagi lahan pengganti.
Tapi opsi ruilslag ini jadi pro kontra, karena sebagian berpendapat tanah wakaf tak boleh ditukar. Belum lagi tak semua penghuni mampu untuk membayar atas kepemilikan lahan yang mereka tempati.
![]() |
"Memang ada isu mau tukar-guling, sempat ada pertemuan di kelurahan. Tapi kan tidak mudah, karena tak semua setuju, tak semua mampu," ungkap Dayat.
Menyikapi situasi itu Dayat mengaku pihaknya lebih mengutamakan ketenteraman warga. "Yang penting kondusif, repeh rapih, ya boleh saja harga sewa naik, tapi jangan terlalu memberatkan," ujar Dayat.
Menurut dia, apa yang terjadi saat ini masih dalam koridor amanat dari pemberi wakaf, yakni memanfaatkan lahan untuk kepentingan pesantren.
"Warga kan masih membayar sewa, masih memberi manfaat bagi penerima wakaf, sesuai amanat pemberi wakaf. Masyarakat 'moal rek ngaboga-boga' (tidak akan mengklaim kepemilikan). Kami menyadari tanah ini bukan milik kami," tandas Dayat.
Jalan Santai adalah salah satu rubrik khas di detikJabar yang menghadirkan sisi menarik dan sisi lain dari suatu tempat. Untuk menghadirkan tulisan ini, detikJabar melakukan penelusuran dengan jalan santai dan menghadirkan laporan dengan gaya yang ringan.
Klik di sini untuk melihat artikel seputar Jalan Santai