Konflik yang menyelubungi area Gedung Serba Guna (GSG) di Jalan Ski Air Nomor 19, Kelurahan Sukamiskin, Kecamatan Arcamanik, Kota Bandung belakangan kembali memanas. Pada Rabu, 5 Maret 2025, aksi demonstrasi sejumlah warga yang mengatasnamakan Forum Komunikasi Warga Arcamanik Berbhineka menjadi sorotan di media sosial.
Kala itu, warga membentangkan spanduk yang bertuliskan "Kami warga Arcamanik Endah menolak keras pelanggaran izin perubahan fungsi GSG Jl. Ski Air 19 menjadi rumah ibadah". Spanduk berwarna kuning terang tersebut dipasang tak jauh dari jalan masuk menuju GSG Arcamanik.
Di pagi hari yang sama, GSG tersebut tengah digunakan untk beribadah Rabu Abu oleh umat Katolik stasi St Yohannes Rasul, Paroki Santa Odilia Bandung. Warga yang melakukan aksi menilai, penggunaan GSG sebagai tempat ibadah telah menyalahi fungsi gedung.
Di siang harinya, Pemerintah Kota Bandung melalui Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) hadir ke lokasi, melakukan mediasi antara massa aksi dan pihak gereja. Namun, tak ada kesepakatan inkrah yang dihasilkan kedua belah pihak.
Alhasil, aksi serupa pun kembali terulang. Pada Sabtu, 19 April 2025, aksi demonstrasi warga kembali terjadi saat warga Katolik masih melangsungkan rangkaian misa Hari Raya Paskah di GSG tersebut. Aksi saling dorong antara massa aksi dengan pihak kepolisian pun tak terhindarkan.
Untuk memahami lebih lanjut akar konflik yang hingga kini masih berlangsung tersebut, detikJabar mewawancarai perwakilan warga yang melakukan aksi, perwakilan Persatuan Gereja Amal Katolik (PGAK) Santa Odilia dan Wali Kota Bandung Muhammad Farhan.
Berawal dari Frekuensi Ibadah yang Meningkat
detikJabar menyambangi GSG Arcamanik tersebut pada Minggu (20/4/2025) siang. Kala itu, sudah tak ada aktivitas apapun di dalam GSG yang menempati bangunan seluas 524 meter persegi tersebut. Sejumlah polisi terpantau tengah berjaga di sekitaran GSG. Adapun misa rutin mingguan telah selesai dilaksanakan pada sekitar pukul 10 pagi.
Tepat di sebelah GSG, terdapat belasan orang tampak tengah berkumpul dan berbincang di teras sebuah rumah. Usut punya usut, mereka merupakan bagian dari Forum Komunikasi Warga Arcamanik Berbhineka. Di antaranya terdapat beberapa orang warga setempat, kuasa hukum warga, dan sejumlah perwakilan organisasi masyarakat (ormas) Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia (DDII) Jawa Barat.
Salah satu warga, Endrizal Nazar memaparkan, bahwa konflik awalnya terjadi sejak frekuensi ibadah warga Katolik di GSG tersebut meningkat. Dari sebelumnya hanya satu bulan sekali atau di hari-hari besar keagamaan, menjadi rutin satu minggu sekali.
Peningkatan frekuensi ibadah tersebut, ia mengatakan, dimulai pada saat COVID-19 melanda. Biasanya, GSG kerap digunakan masyarakat setempat untuk berkegiatan. Seperti bermain bulutangkis, taekwondo, Tempat Perhitungan Suara (TPS), hingga pesta pernikahan.
Di waktu COVID-19, aktivitas warga yang mengundang kerumunan otomatis tak lagi diselenggarakan di GSG. Sejak saat itu, ia mengatakan, frekuensi ibadah di GSG meningkat.
"Kita menyadari mereka memiliki kebutuhan ibadah. Maka dipersilakan ibadah sebulan sekali awalnya. Setelah Covid-19, jadi lebih intens. Yang awalnya sebulan sekali serta di hari besar keagamaan saja, sekarang menjadi lebih rutin," ungkap Endrizal.
Ia menyebut, bahwa sejak pertengahan 2023, sejumlah warga merasa kesulitan untuk mengakses GSG sebagai tempat berkegiatan. Warga pun mulai melayangkan protes, karena GSG tersebut dianggap sebagai fasilitas umum (fasum) yang disediakan pihak developer kepada warga.
Oleh karenanya, dengan status sebagai GSG, warga menilai gedung tersebut dapat gunakan oleh seluruh pihak. Dengan frekuensi ibadah umat Katolik yang meningkat, Endrizal mengatakan, fungsi bangunan seolah berubah menjadi rumah ibadah.
"Sebelum ada demo ini kan, sudah 35 tahun ada ibadah umat Katolik di GSG ini. Tidak ada keributan. Statusnya GSG, ya kegiatan keagamaan bisa (diselenggarakan) di GSG, tapi seharusnya tidak rutin. Kalau rutin, jadinya rumah ibadah. Mau enggak mau kami harus ambil sikap," paparnya.
Salah satu warga yang tidak menyebutkan namanya mengatakan bahwa ia telah tinggal tak jauh dari GSG Arcamanik sejak 1987. Ia mengaku GSG menjadi salah satu fasillitas yang ditawarkan developer kala itu.
Ia menilai perubahan fungsi GSG menjadi rumah ibadah akan menyalahi site plan awal yang ditawarkan developer Golf Garden Estate Arcamanik Endah kepada pembeli.
"Itu (GSG) kan termasuk fasilitas yang menarik ya. Kalau tahu-tahu di sini akan ada gereja besar, saya juga enggak akan mau beli rumah di sini," ungkapnya.
Simak Video "Video: Dayeuhkolot Bandung Banjir Lagi, Warga Ngaku Sudah Capek"
(mso/mso)