Ketimpangan Sosial dan Diskriminasi Jadi Akar Intoleransi di Jabar

Ketimpangan Sosial dan Diskriminasi Jadi Akar Intoleransi di Jabar

Bima Bagaskara - detikJabar
Senin, 08 Sep 2025 22:30 WIB
Sosialisasi mitigasi dan deteksi dini intoleransi yang digelar Kemenag Jabar di Kota Bandung
Sosialisasi mitigasi dan deteksi dini intoleransi yang digelar Kemenag Jabar di Kota Bandung. Foto: Dok. Kanwil Kemen HAM Jabar
Bandung -

Persoalan intoleransi di Jawa Barat kembali jadi sorotan. Kepala Kantor Wilayah KemenHAM Jabar Hasbullah Fudail menilai ketimpangan sosial dan diskriminasi masih menjadi akar dari rentetan kasus intoleransi yang mencuat di sejumlah daerah.

Pernyataan itu ia sampaikan dalam forum sosialisasi mitigasi dan deteksi dini intoleransi yang digelar Kemenag Jabar di Kota Bandung, Senin (8/9/2025). Sejumlah tokoh lintas agama, perwakilan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), hingga penyuluh agama hadir dalam forum tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam forum itu, Hasbullah menyinggung kasus-kasus aktual soal intoleransi mulai dari penolakan rumah ibadah di Arcamanik, pembubaran retret di Cidahu, penolakan pembangunan masjid di Bogor, hingga penutupan rumah doa di Garut.

"Berbagai persoalan intoleransi di Jawa Barat diawali ketimpangan sosial dan diskriminasi. Selain itu resolusi persoalan intoleransi harus menekankan pendekatan dialogis dan penghormatan terhadap hak konstitusional warga negara," kata Hasbullah dalam keterangannya.

ADVERTISEMENT

Sementara Ketua FKUB Jabar, HM Rafani Achyar menuturkan, komunikasi sosial di akar rumput sangat menentukan untuk menekan terjadinya konflik. Selain itu, dukungan pemerintah hingga level RT dan desa dianggap penting dalam meredam gesekan.

"Kerukunan tidak cukup diartikan sebagai ketiadaan konflik, tetapi juga pengakuan, penghormatan, dan kerja sama nyata lintas iman," ujarnya

Persoalan klasik soal intoleransi juga disuarakan oleh Pembimas Katolik Jabar, Gracia S W yang menyebut lambatnya proses perizinan pembangunan rumah ibadah. Di Cikarang, kata dia, gereja baru memperoleh izin setelah 17 tahun. Padahal jumlah umat Katolik di wilayah tersebut mencapai 13 ribu jiwa.

"Kami memohon agar dibentuk tim mitigasi yang serius, karena kendala perizinan ini nyata kami hadapi di lapangan," ungkapnya.

(bba/sud)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads