Di tengah hiruk-pikuk kereta yang datang dan pergi di Stasiun Bandung, ada sosok seorang pria paruh baya yang tetap setia menjalani profesinya sebagai porter. Namanya Supardi, pria berusia 68 tahun asal Baleendah, Kabupaten Bandung.
Supardi telah bekerja sebagai porter di Stasiun Bandung selama lebih dari tiga dekade. Setiap hari, ia membantu para penumpang membawa barang bawaan mereka, memberi rasa aman dan nyaman dengan berharap mendapat sedikit rezeki dari jerih payahnya itu.
Supardi mengawali kariernya di Stasiun Bandung dengan tugas yang jauh dari pekerjaan porter. Awalnya, ia hanya membantu di kantor stasiun, bekerja sebagai tukang bersih-bersih, mengelap dan mengepel.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya dulu bantu-bantu di kantor, ngelap, ngepel, sampai akhirnya ditawari jadi porter karena ijazah saya cuma SD," cerita Supardi tentang awal mula dirinya berkarier di dunia kereta api kepada detikJabar, belum lama ini.
Dari sana, Supardi mulai mengangkat barang-barang penumpang yang datang dan pergi, menjalani rutinitas yang tak mudah. "Kerjanya ya angkat-angkat barang penumpang, gantian dua hari sekali. Seminggu saya kerja tiga kali," ujarnya sambil tersenyum.
Seperti halnya pekerjaan lainnya, ada suka dan duka yang dihadapi Supardi dalam menjalani profesinya. Di balik senyumnya yang ramah, ia pernah mengalami banyak kesulitan. Salah satu momen yang tak bisa dilupakan adalah ketika ia mengangkat barang penumpang, namun tidak diberi bayaran.
"Sukanya ya kalau kadang angkat barang bisa dikasih lebih, tapi dukanya kalau angkat barang sampai ke dalam, eh, nggak dikasih. Ada yang bilang, 'makasih, mau minta nggak enak,' ya sudah biarin," kata Supardi dengan nada pasrah.
Tidak hanya itu, Supardi juga pernah merasakan yang lebih menyakitkan saat dirinya dituduh sebagai copet. "Di gerbong pernah dituduh copet, dibawa ke pos keamanan. Padahal saya nggak pernah seperti itu, cuma karena kebetulan saya bawa tas," kenangnya.
Meskipun tak selalu mendapatkan upah yang pasti setiap hari, Supardi mengaku bisa mencukupi kebutuhan untuk keluarganya di rumah. Bekerja hanya dua hari sekali karena harus bergantian dengan porter lain, Supardi mendapat penghasilan rata-rata Rp100-150 ribu per hari.
"Paling sehari dapat Rp100-150 ribu, kalau arus mudik bisa sampai Rp300 ribu," jelasnya.
Supardi juga menjadi salah satu saksi perubahan besar yang terjadi di Stasiun Bandung. Dia ingat betul, belasan tahun lalu pekerjaan porter memerlukan kecepatan karena harus berebut dengan porter lainnya.
Namun kini, semua porter yang ada telah mendapat jadwal masing-masing untuk mencari rezeki. "Sekarang lebih tertib, antri sistemnya. Jadi gantian, yang sudah ke belakang, yang belum gantian. Dulu mah rebutan, siapa yang duluan aja. Kalau sekarang lebih rapi," ujarnya.
Meskipun penghasilannya tak selalu besar, Supardi merasa cukup bahagia dengan hidupnya. Ia memiliki tiga anak, dua di antaranya sudah menikah, dan satu lagi masih bersekolah di pesantren.
Di usianya yang sudah mencapai 68 tahun, Supardi mulai berpikir tentang masa depan. Ia mengaku memiliki rencana untuk pensiun suatu hari nanti, tetapi ia masih merasa cukup kuat untuk bekerja.
Selain bekerja sebagai porter, di rumah Supardi juga mencoba usaha sampingan dengan beternak ayam. Supardi berharap bisa pensiun setelah anak terakhirnya menikah dan bisa mandiri, agar ia bisa menikmati masa tua yang lebih tenang.
"Kalau sudah nggak kuat, ya berhenti. Tapi belum tahu kapan, sekarang masih kuat. Saya di rumah coba ternak kecil-kecil ayam, dikit-dikit lah. Kemarin sempat ada yang mau modalin buat usaha," tandasnya.
(bba/orb)