Cerita Getir di Balik Tenda Sekolah Darurat di Kampung Gempol

Cerita Getir di Balik Tenda Sekolah Darurat di Kampung Gempol

Syahdan Alamsyah - detikJabar
Sabtu, 11 Jan 2025 13:30 WIB
Siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs) Miftahul Barokah Sukabumi belajar di tenda.
Siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs) Miftahul Barokah Sukabumi belajar di tenda. (Foto: Syahdan Alamsyah/detikJabar)
Sukabumi -

Hanya dalam dua hari, permukiman warga di Kampung Gempol, Desa Cikadu, Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi porak poranda. Bencana alam pergerakan tanah membuat warga beranjak pergi dari perkampungan mereka dan mencari tempat yang aman.

Selasa dan Rabu, 3 dan 4 Desember 2024, hujan deras mengguyur permukiman, memicu pergerakan tanah yang merusak puluhan rumah dan memaksa ratusan jiwa mengungsi ke posko bencana di Kampung Cijeruk, sekitar satu kilometer dari lokasi bencana. Tidak hanya orang dewasa, kesulitan ini juga terekam dalam ingatan anak-anak di Kampung Gempol.

Puluhan pelajar Madrasah Tsanawiyah (MTs) Miftahul Barokah memulai hari pertama sekolah mereka pada Senin (6/1/2025), namun bukan di ruang kelas yang biasa mereka kenal. Hari itu, mereka duduk di dalam tenda darurat, jauh dari kenyamanan yang seharusnya mereka rasakan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hari pertama sekolah kali ini, terasa sangat berbeda. Bukan karena liburan yang panjang, tapi karena bencana alam yang merenggut banyak hal dari hidup mereka. Bencana pergerakan tanah menghancurkan sebagian besar rumah dan bangunan di Kampung Gempol, termasuk sekolah mereka. Akibatnya, aktivitas pendidikan dihentikan sementara, dan para pelajar pun harus menghadapi kenyataan pahit bahwa rumah mereka tidak lagi bisa dihuni.

"Ada yang bercerita tentang rumah mereka yang hancur, tidak bisa ditempati lagi. Selama liburan bukan rekreasi atau hal-hal yang menyenangkan mereka menceritakan karena bencana semua yang indah itu berasa tidak mungkin walaupun mereka menginginkannya," kata Yusnandi, guru Bahasa Sunda MTs Miftahul Barokah kepada detikJabar, Jumat (10/1/2025).

ADVERTISEMENT

Yusnandi sengaja meminta murid-muridnya untuk menceritakan hal yang mereka alami selama liburan. Diketahui sejak bencana alam terjadi MTs Miftahul Barokah meliburkan siswanya. Mereka melakukan pembelajaran melalui daring.

Ketika Yusnandi meminta para pelajar untuk berbagi cerita mengenai liburan mereka, tak ada satu pun kisah yang terdengar seperti liburan pada umumnya. Semua cerita yang keluar dari pemikiran dan pandangan mereka penuh dengan kesedihan, kepedihan, dan rasa kehilangan.

Siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs) Miftahul Barokah Sukabumi belajar di tenda.Siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs) Miftahul Barokah Sukabumi belajar di tenda. (Foto: Syahdan Alamsyah/detikJabar)

"Cerita tentang perjuangan mereka untuk bertahan di tengah cobaan. Ada yang menceritakan bagaimana rumah mereka baru saja selesai dibangun, tetapi akhirnya hancur lagi karena tanah bergerak dan air yang merendam. Anak-anak ini, yang seharusnya menikmati masa kecil mereka, justru dipaksa untuk merasakan dampak dari pergerakan alam yang tak terduga," kisah Yusnandi.

Yusnandi mengingat salah satu cerita muridnya yang menceritakan betapa ia harus meninggalkan kampung halaman bersama keluarganya dan mengungsi jauh dari rumahnya.

"Kami harus ke Sampora, jauh dari rumah. Rumah kami enggak bisa ditempati lagi. Ada juga cerita bagaimana siswa kami tetap tinggal dan membantu orang tua mereka. Cuma diam bantu orang tua, nyuci piring, ngepel, sama nyapu halaman," kisahnya.

"Alhamdulillah, anak-anak didik kami semuanya bijaksana menghadapi kenyataan meskipun mungkin terasa getir. Bahkan, beberapa anak menceritakan bagaimana sekolah mereka, MTs Miftahul Barokah, yang mereka anggap rumah kedua, kini dalam keadaan rusak. Keramik-keramik di kelasnya retak, dan pesantren yang menjadi tempat mereka belajar dan mengaji juga hancur," sambungnya.

Pantauan detikJabar kondisi saat ini puluhan siswa harus belajar di tenda dan menghadapi kenyataan yang jauh dari harapan, meskipun begitu semangat untuk melanjutkan pendidikan tetap menyala. Di tengah cobaan, anak-anak ini berusaha bangkit. Mereka kembali ke sekolah, meskipun hanya dengan tenda sebagai tempat berlindung dari hujan dan panas. Keinginan untuk belajar dan meraih masa depan tidak surut, meskipun mereka harus melewati perjalanan yang sangat berat.

Di balik tenda, di balik cerita-cerita kesedihan dan kehilangan, ada harapan yang tak pernah padam. Harapan untuk pulih, untuk kembali ke sekolah yang utuh, dan untuk meraih impian yang lebih besar-meskipun semua itu harus dimulai dari bawah tenda yang menjadi saksi bisu perjuangan mereka meraih ilmu.

(sya/orb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads