Suasana sepi langsung menyergap begitu menjejakkan kaki di area bekas bangunan Madrasah milik Yayasan Pendidikan Islam Miftahul Barokah. Di sudut sebuah ruangan penuh debu, papan bertuliskan "Yayasan Pendidikan Islam Miftahul Barokah - Ponpes Putra-Putri Al-Barokah" bersandar miring.
Bangunan yang kini terbengkalai ini, dulunya menjadi pusat belajar dan bermain siswa, kini hanya menyimpan retakan dinding, lantai yang pecah, dan aroma lembap yang menusuk.
Tiga ruang kelas berdiri bisu, menyimpan kenangan akan suara gelak tawa dan diskusi hangat selayaknya kegiatan belajar mengajar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meja dan kursi yang tersisa tampak berdebu, beberapa bahkan terguling, seolah menyerah pada bencana yang melanda. Di salah satu sudut, terdapat papan tulis dengan sisa coretan pelajaran terakhir-mungkin matematika, atau hafalan ayat Al-Qur'an-yang kini memudar, tapi tetap terasa hidup bagi mereka yang pernah mengukirnya.
"Anak-anak sudah belajar di tenda selama satu mingguan terakhir, karena memang bangunan sekolah sudah tidak bisa digunakan lagi sejak terjadinya bencana alam pergerakan tanah," kata Lela Helmiah, guru RA Miftahul Barokah yang juga keluarga besar yayasan saat ditemu detikJabar di tenda darurat, Jumat (10/1/2025).
![]() |
Pergeseran tanah yang terjadi sejak awal Desember 2024 membuat lantai kelas retak dan dindingnya mulai terpisah. Sebagian atap bahkan bergeser, meninggalkan celah yang membiarkan sinar matahari masuk dan membentuk pola di lantai yang dulunya penuh langkah kecil siswa.
"Ada RA, MDTA, MTS dan Pondok Pesantren. Bangunannya memang berada tidak jauh dari permukiman warga yang juga sudah sepi. Mayoritas warga juga menghuni pengungsian," imbuh Lela.
Meski kondisinya porak-poranda, bangunan ini menyimpan memori yang tak bisa dihapus. Di tempat ini, para siswa belajar membaca, menulis, dan bermimpi. Di setiap retakan dinding, seolah ada kisah tentang tawa, tangis, dan harapan yang dulu memenuhi ruang-ruang ini.
"Sekarang semuanya (aktivitas belajar) di tenda darurat atau sudah dari tanggal 6 Januari ya, karena waktu amblas kita istirahat dulu, anak-anak disuruh istirahat, karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, bahkan sekarang juga kalau memang misalnya kita mau sekolah di tempat yang biasa kita gunakan, itu tidak diperbolehkan karena takut," lanjut Lela.
"Perasaannya (di dalam tenda) ya begitulah, ada gerahnya, ada capeknya, karena harus pulang pergi, kita tinggalnya di Sampora. Sebelumnya bangunan itu kan memang milik yayasan pondok pesantren di situ kita mengajar anak-anak pesantren, sekarang mondok disana, sekolah di sini, jadi pagi pagi harus ke sini siap-siap, mungkin lebih capek, karena dari pagi sampai sore saya di sini, soalnya ada MDTA, ada beberapa kelas di satukan dalam satu tenda," ungkap Lela menambahkan.
![]() |
Diberitakan, puluhan siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs) Miftahul Barokah di Kampung Gempol, Desa Cikadu, Kecamatan Palabuhanratu, harus menjalani proses belajar mengajar di tenda darurat. Hal ini terjadi setelah bangunan sekolah mereka rusak akibat pergeseran tanah yang melanda wilayah tersebut.
Informasi yang dihimpun detikJabar menyebutkan, para siswa sudah belajar di tenda sejak Senin (6/1/2025). Tenda berukuran 5 x 8 meter milik BNPB itu dijadikan ruang belajar sementara agar kegiatan belajar mengajar tetap berlangsung meskipun dalam kondisi terbatas.
"Seharinya ada 30 sampai 40 siswa tergantung kondisinya, karena banyak siswa yang tinggal di pengungsian atau ke rumah saudara yang jauh dari sini. Mengajar di tenda sudah biasa, tapi ya panas, jadi pakai baju pendek," kata Yusnandi, guru Bahasa Sunda di MTs Miftahul Barokah saat ditemui detikJabar, Jumat (10/1/2025).
(sya/yum)