Senyum mengembang dari wajah Indah. Tangan dan kakinya langsung memasang kuda-kuda untuk melayani pegawai yang hendak makan siang di kantin Balai Kota Cirebon, Jabar. Sudah setengah tahun Indah menjadi pelayan di kantin.
"Nasi lengko sama telur dadar ya. Minumnya es teh manis," kata salah seorang pembeli kepada Indah.
Indah langsung mengonfirmasi pesanan pelanggan pria itu dengan sekali anggukan. Usai meracik nasi lengko, perempuan berkerudung itu lantas mengantarkan pesanannya. Saat jam makan siang, tak bisa dihitung berapa kali Indah bolak-balik dari warung nasinya ke meja kantin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ya sibuknya kalau jam makan siang. Pagi mah jarang," ucap Indah saat berbincang dengan detikJabar, belum lama ini.
Usai jam makan siang selesai, Indah menyempatkan diri untuk beristirahat. Sekadar duduk dan menyesap es teh manis.
Sudah enam bulan Indah bekerja sebagai pelayan di kantin Balai Kota Cirebon. Namun, jam terbangnya sebagai pelayan warung tak perlu diragukan lagi. Ia mulai menjadi pekerja informal sebagai pelayan warung sejak usia 14 tahun. Indah kala itu tak melanjutkan pendidikannya saat duduk di bangku SMP. Warga Desa Pamengkang, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon itu kemudian memilih untuk menjadi pelayan warung nasi.
"Sebelumnya pernah di warteg. Ya merantau juga, kerja di warteg-warteg. Pindah-pindah aja," ucap perempuan berusia 27 tahun itu.
Kemiskinan menjerat keluarga Indah. Orang tuanya harus menghidupi empat anak. Indah kala itu memilih mengalah. "Saya anak kedua dari empat saudara, karena kesulitan akhirnya mengalah. Memilih bekerja saja, biar adik-adik saya yang melanjutkan sekolah," katanya.
"Karena nggak punya ijazah, ya kerjanya jadi pelayan toko, warung nasi, yang begitu-begitu. Risikonya begitu," ucap Indah menambahkan.
Setelah membantu keluarganya bekerja sebagai pelayan, Indah lantas memutuskan untuk menikah dengan Rahmat. Kala itu, Indah berusia 21 tahun. Setelah menikah, ia sempat berhenti bekerja selama enam tahun dan memilih menjadi ibu rumah tangga.
"Tadinya mah di rumah saja, nggak boleh sama suami. Sekarang dibolehkan kerja lagi.Lumayan bantu-bantu suami (secara finansial)," tutur Indah.
"Kalau soal upah mah ya dicukup-cukupin saja. Mau bagaimana lagi, kalau punya ijazah SMA mungkin beda ya," ucap Indah menambahkan
Dulu, impian Indah memiliki ijazah SMA. Ia pernah bermimpi untuk bekerja dengan jaminan kesehatan yang layak, upah yang layak, dan jaminan hari tua. Sebab, menjadi pekerja informal tak ada jaminan apapun selain hanya upah harian atau bulanan.
"saya cuma punya BPJS Kesehatan dari pemerintah saja," kata Indah.
Ia berharap, kepala daerah terpilih bisa membuat pelatihan dan memudahkan akses pendidikan bagi perempuan yang kesulitan ekonomi. "Ya dulu pengin sampai SMA, tapi ya itu karena faktor ekonomi. Terus, pengin ikut kejar paket, tapi kan ijazahnya tidak seperti yang sekolah SMA biasa itu. Ya jadi tidak ada pilihan lain," tutup Indah sembari tersenyum.
Tanpa Perlindungan Ketenagakerjaan
Indah adalah salah satu dari belasan juta pekerja informal di Jabar. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, proporsi pekerja perempuan di sektor informal lebih besar dibandingkan laki-laki. Angka pekerja perempuan di bidang informal mencapai 62,22 persen. Sedangkan laki-laki sebesar 49,75 persen. Total pekerja informal di Jabar hingga 2023 mencapai 12,96 juta jiwa. Lulusan SMP mendominasi jumlah tenaga kerja informal di Jabar.
Angka pekerja informal di Jabar terus mengalami kenaikan. Menurut data BPS, pada Agustus 2021, jumlah pekerja informal di Jabar mencapai 12,19 juta orang. Kemudian, naik menjadi 12,81 juta orang pada Agustus 2022. Setahun berikutnya naik kembali, yakni 12,19 juta orang pada 2023.
Mengutip dari Jurnal of Geography Education Universitas Siliwangi (Vol 2, 2021), selain bekerja di ranah domestik, ada juga perempuan yang bekerja di sektor informal di bidang industri, salah satunya industri genting Desa Wanajaya, Kecamatan Kasokandel, Majalengka. Perempuan sejatinya dalam kegiatan ekonomi sangat dibutuhkan, sebab tuntutan ekonomi saat ini cukup berat.
Tenaga kerja perempuan di pabrik genting itu sebagian besar lulusan sekolah dasar (SD). Tanpa syarat pendidikan yang tinggi menjadi alasan perempuan Wanajaya bekerja di sektor informal di dunia industri genting. Jurnal tersebut menyebutkan, tenaga kerja perempuan di pabrik itu mendapatkan upah yang lebih sedikit ketimbang laki-laki, karena tugasnya berbeda.
Upah yang sedikit dan minimnya perlindungan ketenagakerjaan bagi pekerja informal menjadi persoalan. Hal itu dibenarkan Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani saat peringatan Hari Kartini 2024 di Jakarta. Andy Yentriyani menyampaikan mayoritas pekerja informal adalah perempuan.
"Sebagai pekerja di sektor informal mereka hampir tidak mendapatkan perlindungan hukum. UU Ketenagakerjaan tidak menjangkau pekerja informal, sementara UU Cipta Kerja justru semakin memudahkan sistem outsourcing yang mengurangi kewajiban perusahaan dalam memastikan pemenuhan hak-hak normative pekerja, termasuk dengan penggunaan istilah mitra," kata Andy seperti dikutip dari laman resmi Komnas Perempuan, Jumat (20/12/2024).
Akibat ketiadaan perlindungan hukum itu, Andy menyebut pekerja perempuan di sektor informal terutama rentan mengalami eksploitasi dengan upah yang rendah dan waktu kerja yang panjang. Komnas Perempuan juga menemukan adanya kasus di mana para perempuan pekerja sektor informal menghadapi kekerasan psikis dalam bentuk ancaman kehilangan pekerjaan jika mengadukan atau memprotes kondisinya, termasuk ketika mengalami kekerasan seksual seperti pelecehan seksual dari majikan, atau pihak pemberi kerja. Para pekerja informal juga kerap tidak mendapatkan fasilitas keselamatan kerja.
Komnas Perempuan mangajak mengajak masyarakat untuk mendukung upaya perlindungan hukum bagi pekerja informal, di antaranya mendukung pengesahan UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT), yang telah tertunda hampir dua dekade, mendorong adanya aturan hukum bagi pekerja rumahan, memastikan aturan di perusahaan, dan membangun bisnis wastra yang lebih berkeadilan bagi pekerja.
Sementara itu, Manajer Monev dan Riset Fahmina Institute Rosidin mengatakan advokasi perlindungan hukum bagi tenaga kerja informal masih terus dilakukan. "UU Perlindungan PRT lagi diadvokasi teman-teman PSO, karena belum ada undang-undangnya. Ini masih menjadi PR," kata Rosidin saat berbincang dengan detikJabar, Jumat (21/12/2024).
Rosidin lantas mengungkapkan tentang membludaknya dan terus meningkatnya pekerja perempuan di sektor informal. Menurutnya, stereotip tentang ruang kerja perempuan hanya ranah domestik masih belum hilang. Sehingga, para pemberi kerja membuka lowongan bagi perempuan untuk mengurus ranah domestik.
"Lebih jauh lagi, kalau mau kita kritis, patriarki di masyarakat kita menjadi budaya. Jadi, tradisi patriarki (pencari kerja) masih menjadi bagian dari cara pandangnya," kata Rosidin.
Tak Dilirik Calon Kepala Daerah
Sayangnya, persoalan perempuan di sektor informal itu tak menjadi isu utama atau yang disuarakan saat Pilgub Jabar 2024. Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jabar, Dedi Mulyadi dan Erwan Setiawan yang meraih suara terbanyak saat Pilgub Jabar 2024 pun tak menyuarakan tentang pekerja perempuan di bidang informal. Visi dan misinya pun tak menyentuh soal isu perempuan.
Hasil penelusuran detikJabar, tak ada jejak digital Dedi Mulyadi dan Erwan Setiawan menyuarakan soal isu ketenagakerjaan perempuan di bidang informal selama masa kampanye. Saat debat kandidat, Erwan sempat adu gagasan tentang kebijakan pro perempuan dengan Ronal Surapradja pada debat perdana Pilkada Provinsi Jawa Barat 2024 digelar KPU di Graha Sanusi Hardjadinata Unpad, Kota Bandung. Debat berlangsung pada Senin (11/11/2024) malam, seperti yang diberitakan detikjabar dengan judul "Keinginan Cawagub Erwan & Ronal Wujudkan Kemajuan Perempuan di Jabar".
Namun, adu gagasan Erwan dan Ronal itu tak juga menyinggung soal nasib tenaga kerja perempuan di bidang informal. Erwan hanya meminta tanggapan Ronal soal ketimpangan gender dan rendahnya perlindungan perempuan.
"Di Jabar ada Perda nomor 2 tahun 2023 tentang perlindungan perempuan dan anak. Saat ini masih banyak ketimpangan gender yang masih tinggi dan rendahnya perlindungan perempuan. Trafficking juga masih tinggi, maka bagaimana cara Anda melindungi kaum perempuan?" tanya Erwan pada Cawagub Ronal.
Ronal lantas menjawab pertanyaan Erwan. Ronal menjelaskan soal perlindungan kekerasan seksual.
"Saya dan bapak akan langsung mengawal aplikasi ini. Kami sangat memuliakan perempuan untuk maju, tumbuh, dan berkembang. Perempuan muda yang sudah punya anak? Tidak masalah, ada daycare gratis. Kami akan berikan kuota minimal 35% di instansi Pemprov Jabar, lebih besar dari kuota perempuan di DPR," jawab Ronal.
Rosidin mengamini tak adanya cagub yang menyuarakan tentang keadilan dan kesejahteraan buruh perempuan di bidang informal, termasuk Dedi Mulyadi dan Erwan Setiawan. Ia mengatakan Fahmina Institue sempat mengkaji tentang visi dan misi paslon Gubenur Jabar Dedi Mulyadi dan Erwan, namun tak satupun calon yang menyuarakan isu perempuan dalam visi dan misinya.
"Tidak ada yang menyorot. Jangankan soal buruh pekerja domestik, ketimpangan akses kontrol pembangunan terhadap perempuan saja tidak ada. Visi dan misi (soal perempuan) tidak ada, jejak digital (saat kampanye membahas isu permpuan) tidak ada," kata Rosidin.
"Nanti kita advokasi untuk memengaruhi kebijakan gubernur, mendorong supaya berpihak pada tenaga kerja perempuan. Peluang tetap ada. Tetapi harus lewat pendekatan yang kita punya, seperti data dan fakta yang bisa dilihat sebagai bukti bahwa harus ada perubahan," ucap Rosidin menambahkan.
(sud/bbn)