Deru air Sungai Cimandiri yang meluap tak pernah seberingas ini, setidaknya bagi Kiai Badru Tamam, pimpinan Pondok Pesantren Istabroq di Kampung Cisoka Desa Jayanti, Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi.
Rabu pagi, 4 Desember 2024, menjadi hari yang tak akan pernah terlupakan olehnya dan para santri. Banjir besar menghantam pondok pesantren yang berada tidak jauh dari bantaran sungai tersebut.
Sisa-sisa bencana tampak jelas di setiap sudut pesantren, sampah kantong plastik dan botol bekas air minuman dalam kemasan tersangkut di dahan-dahan pohon mangga setinggi 4 meter yang masih kokoh berdiri, seolah menjadi saksi bisu derasnya arus yang masuk ke area pesantren dan menghanyutkan kitab-kitab serta peralatan tidur hingga dapur para santri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Seumur hidup saya tinggal di sini, baru kali ini melihat banjir sebesar ini," ujar Kiai Badru sambil mengingat momen mencekam itu kala ditemui detikJabar, Jumt (13/12/2024).
Segala upaya sebenarnya sudah dilakukan. Ketika hujan turun tanpa henti selama dua hari dua malam, masyarakat dan para santri berjaga. Pada malam Senin hingga Selasa dini hari, air sempat merayap, tetapi surut kembali sebelum sempat menggenangi rumah dan pondok.
"Kami berjaga sampai dini hari. Jam 02.00 WIB malam air surut, jadi kami pikir aman. Pagi-pagi sempat bersih-bersih, bahkan kepala desa sudah datang meninjau. Tapi kami tak menyangka, hanya beberapa jam kemudian, air datang kembali dengan sangat cepat," kisahnya.
Ketika air mulai masuk sekitar pukul 08.00 WIB Rabu (4/12/2024), para santri yang tengah beraktivitas langsung dihentak kepanikan. Beberapa dari mereka berusaha menyelamatkan barang-barang yang terapung. Mereka melakukan evakuasi mandiri dengan naik ke lantai dua pondok.
"Ada santri yang mencoba mengambil lemari hanyut. Saya langsung tegur. Nyawa lebih penting, saya ingatkan begitu" ujar Kiai Badru dengan nada tegas.
Banjir yang mencapai ketinggian 4 meter itu merendam bangunan di area bawah hingga menyisakan kerusakan. Dua bangunan utama pondok bahkan amblas hingga 25 cm, memaksa para pengelola membongkarnya untuk alasan keamanan.
Namun, yang paling memilukan bagi Kiai Badru adalah hilangnya kitab-kitab klasik yang menjadi sumber ilmu bagi para santri. Safinatun Najah, Jurumiyah, Tijan, Kailani, Fathul Qorib, Tafsir Jalalain , semuanya hanyut terbawa arus.
Selain kitab, perlengkapan dasar seperti kasur, bantal, dan selimut juga lenyap. Para santri perempuan yang tinggal di lantai bawah kehilangan hampir semua barang pribadi mereka.
Di tengah bencana besar itu, Kiai Badru tetap bersyukur. Tak ada korban jiwa dalam bencana ini. Ia yakin, Tuhan masih melindungi mereka.
"Kalau banjir besar itu terjadi malam hari, mungkin ceritanya akan berbeda. Tapi alhamdulillah, ini siang. Kami masih sempat menyelamatkan diri," katanya.
Bantuan mulai berdatangan. Kepala Desa memberikan makanan dan sembako. PLTU setempat juga menyalurkan bantuan. Meski belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan, Kiai Badru tetap merasa berterima kasih.
"Bantuan itu bentuk kepedulian. Tapi kami tidak bisa meminta lebih. Masih banyak orang lain yang musibahnya lebih besar dari kami," ungkapnya dengan rendah hati.
Kini, Kiai Badru bersama masyarakat berusaha bangkit. Mereka berinisiatif membuat tanggul darurat untuk mencegah banjir serupa di masa depan. Namun, ia menyadari bahwa pesantrennya memerlukan renovasi besar-besaran agar dapat berdiri kokoh kembali.
"Kami hanya ingin tempat ini bisa kembali seperti dulu, tempat belajar yang nyaman bagi para santri. Kalau bisa, ada tanggul permanen supaya air tidak langsung menghantam pondok," harapnya.
Di sela-sela sisa banjir, Kiai Badru tetap berpegang pada hikmah. Banjir besar ini mungkin ujian, tapi ia yakin, dari ujian ini akan muncul kekuatan baru.
"Pondok ini dibangun dari kebersamaan. Kami yakin, dengan kebersamaan juga, kami bisa bangkit," tutupnya.
Pondok Pesantren Istabroq kini mengulurkan tangan, mengajak siapa pun untuk berbagi, agar cahaya ilmu yang selama ini menerangi pondok tidak padam, meski diterpa badai sebesar apa pun.
(sya/sud)