Kasus perundungan (bullying) kembali menjadi sorotan setelah bocah SD di Kabupaten Subang meninggal dunia diduga setelah di-bully teman-temannya. Kasus tersebut mendapat perhatian serius dari Komisi X DPR RI.
Anggota Komisi X DPR RI, Habib Syarief Muhammad mengatakan perundungan memang menjadi masalah serius yang sedang dihadapi oleh pemerintah di dunia termasuk Indonesia. "Pada 2018, Programme for International Student Assessment (PISA) mencatat, Indonesia menjadi negara peringkat lima di dunia dengan kasus perundungan terbanyak," kata Syarief, Jumat (29/11/2024).
"Kemudian di wilayah Asia Tenggara, Indonesia menduduki peringkat ketiga dengan kasus perundungan terbanyak setalah Filipina dan Brunei," lanjutnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Syarief juga menyinggung penerapan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP) yang dianggap cukup efektif mencegah perundungan di kalangan pelajar.
Namun dia menilai, penanganan perundungan di sekolah belum terselesaikan dengan baik. Hal itu terlihat dari data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sejak tahun 2019 di mana kasus perundungan masih cenderung tinggi.
Dari data KPAI itu, kasus perundungan di tingkat SD 39 persen, 22 persen terjadi di tingkat SMP dan 39 persen terjadi di tingkat SMA di mana kasus paling tinggi berasal dari guru atau kepala sekolah ke peserta didik sebanyak 44 persen.
Kemudian, dari peserta didik ke peserta didik lain 30 persen, peserta didik ke guru 13 persen, dan orang tua siswa ke guru atau peserta didik 13 persen.
"Saya khawatir data ini masih relevan atau mendekati. Jadi dibutuhkan pihak yang independen untuk penanganan perundungan di sekolah. Karena guru bahkan kepala sekolah dapat menjadi pelakunya, bahkan tertinggi," tegasnya.
"Peserta didik harus punya tempat mengadu selain kepada pihak sekolah," imbuh Syarief.
Lebih jauh, dia juga menekankan pentingnya memberi perlindungan bagi pelapor kasus perundungan. Sebab ada potensi pelapor justru akan menjadi korban perundungan berikutnya.
"Jadi harus ada kepastian bagi pelapor dari korban maupun saksi tidak diketahui (anonim). Jadi mereka memiliki rasa aman dan tenang. Kita harus bisa memastikan mekanisme pelaporan ini seperti negara lainnya," tutur Syarief.
Selain itu, penanganan kasus perundungan juga seharusnya tidak hanya fokus pada korban, namun juga kepada saksi. Sebab menurut Syarief, keberadaan saksi inilah yang dapat menolong korban sehingga diperlukan trigger agar saksi mau bertindak.
"Mereka harus berani untuk bersikap, teriak, minta tolong atau langsung membantu. Bukan menjadi ajang tontonan, mereka diam tidak membantu. Ini yang menyebabkan perundungan sulit ditekan," tutup Syarief.
(bba/sud)