Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat Jawa Barat akan berada di puncak musim hujan pada November 2024-April 2025. Tapi, akhir-akhir ini suhu panas masih menyergap wilayah Jabar.
Kepala BMKG Stasiun 1 Bandung Teguh Rahayu mengatakan, fenomena suhu panas terik tersebut terjadi karena dipicu oleh beberapa kondisi dinamika atmosfer. Ia menjelaskan, kondisi cuaca di sebagian besar wilayah Indonesia terutama di Jawa hingga Nusa Tenggara didominasi oleh kondisi cuaca yang cerah dan sangat minimnya tingkat pertumbuhan awan terutama pada siang hari.
"Kondisi ini tentunya menyebabkan penyinaran matahari pada siang hari ke permukaan bumi tidak mengalami hambatan signifikan oleh awan di atmosfer. Sehingga suhu pada siang hari di luar ruangan terasa sangat terik," ucap Ayyu, begitu sapaannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagian besar wilayah Indonesia terutama di selatan ekuator, kata Ayyu, masih mengalami musim kemarau. Sementara sebagian lainnya akan mulai memasuki periode peralihan musim pada periode Oktober-November 2024.
Hal ini yang membuat kondisi cuaca cerah masih cukup mendominasi pada siang hari. Sementara akhir Oktober ini, posisi semu matahari menunjukkan pergerakan ke arah selatan ekuator, yang berarti sebagian wilayah Indonesia di selatan ekuator termasuk wilayah Jawa mendapatkan pengaruh dampak penyinaran matahari yang relatif lebih intens.
"Wilayah Jawa lebih intens dari wilayah lainnya. Pemanasan sinar matahari cukup optimal terjadi pada pagi menjelang siang dan pada siang hari. Tapi juga fenomena astronomis ini tidak berdiri sendiri dalam mengakibatkan peningkatan suhu udara secara drastis atau ekstrem di permukaan bumi," ucap Ayyu.
Faktor-faktor lain seperti kecepatan angin, tutupan awan, dan tingkat kelembapan udara memiliki dampak yang lebih besar juga terhadap kondisi suhu terik. Seperti yang terjadi saat ini di beberapa wilayah Indonesia termasuk Jabar.
Ayyu juga menegaskan bahwa meski suhunya panas, Jawa Barat tengah menghadapi siaga bencana hidrometeorologi. Bencana ini, kata Ayyu, berbeda dengan gempa bumi.
"Kalau hidrometeorologi, BMKG selalu memberikan informasi update dari H-7, H-3. Sebelum kejadian pun kita sudah mengeluarkan peringatan dini di wilayah terdampak," ucap Ayyu.
Adapun bencana hidrometeorologi yang menyergap Jabar yakni banjir, banjir bandang, hingga longsor saat seluruh Jabar masuk musim hujan. Hanya saja, saat ini tingkat curah hujan masih rendah.
"Sebagian besar juga masih di posisi peralihan kemarau ke hujan. Puncaknya November sampai April," ucap Ayyu.
Sementara jika bicara bencana gempa ataupun gempa dari Sesar Lembang yang banyak dikhawatirkan, ia mengaku gempa bumi belum bisa diprediksi kapan terjadinya, dimana, dan berapa besarnya.
Namun ia memastikan bahwa seluruh peralatan BMKG memadai dan selalu dilakukan monitoring terutama di wilayah Bandung Raya. Sensor untuk mencatat getaran ketika terjadi gempa, ada di 33 lokasi di seluruh Jawa Barat.
"Begitu juga dengan diseminasi WRS receiver system berada di seluruh BPBD Jabar. Jadi yang bisa kita lakukan adalah monitoring tren aktivitas seismik. Agar masyarakat waspada, aware dan paham pada bencana yang ada di sekelilingnya," kata Ayyu.
"Peralatan semua dalam kondisi on, baik sensor, diseminasinya berupa WRS dan peralatan lain. Kami ada SOP peralatan tidak boleh off lebih dari 24 jam," sambungnya.
(aau/mso)