Di sudut-sudut Kota Bandung, tak jarang kita menemui pedagang keliling yang menyusuri gang-gang sempit dengan gerobak kecilnya. Salah satu dari mereka adalah Rudi (38) seorang penjual cilok telur (cilor).
Pria asal Kabupaten Garut ini sudah lama berkelana di Kota Bandung demi menghidupi keluarga di rumah. Sebagai perantau, tekad pantang menyerah jadi modal Rudi untuk terus melangkah.
Rudi pertama kali menginjakkan kaki di Bandung pada 2017 silam. Awalnya, Rudi berjualan kopi keliling. Jalanan dan padatnya kendaraan jadi teman rudi sehari-hari.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jualan dari 2017, awalnya jualan kopi keliling," ucap Rudi saat berbincang dengan detikJabar di Gang Jalan Babakan Ciamis, Jumat (18/10/2024).
Setiap hari, dari pagi hingga petang, ia mendorong gerobak cilornya menyusuri jalanan, berharap dagangannya laku terjual demi mengirim uang ke keluarganya yang bergantung padanya.
"Awalnya berat, jauh dari keluarga dan kota ini juga tidak mudah. Tapi saya harus bertahan, karena hanya ini yang bisa saya lakukan untuk mereka (keluarga) di Garut," tuturnya.
Rudi sempat mencoba peruntungan lain dengan bekerja di salah satu perusahaan catering makanan di Jakarta. Namun pandemi COVID-19 memupus harapannya. Rudi pun sempat pulang kampung ke Garut sebelum kembali ke Kota Bandung.
"Sempat ke Jakarta, di tempat catering. Tapi udahan, balik ke Garut terus akhirnya ke sini (Bandung) lagi," ungkap Rudi.
Meski hanya berjualan cilor, Rudi tetap bersyukur dengan rezeki yang ia peroleh. Gerobak dan usaha cilor sendiri bukanlah milik Rudi, melainkan milik orang lain. Dia hanya bekerja selayaknya karyawan biasa.
"Ini punya orang, saya cuma kerja aja jualan," ucapnya.
Setiap hari, Rudi berjualan di beberapa tempat sekaligus. SDN Banjarsari di Jalan Merdeka jadi tempat mangkal utamanya. Setelah siang hari, dia mulai beranjak ke lokasi lain yang searah dengan kontrakannya di wilayah Babakan Ciamis.
Dalam sehari, Rudi bisa mendapat penghasilan Rp 300-400 ribu. Namun penghasilan itu harus dikurangi modal membuat cilor dan setoran kepada pemilik usaha. Dia hanya mengantongi Rp 75-100 ribu yang dia sisihkan sebagian besar untuk dikirim ke istri dan anak-anaknya di Garut.
"Paling Rp 75-100 ribu, saya kumpulin buat keluarga. Kadang sebulan sekali saya pulang, kadang kalau enggak pulang ya dikirim uangnya," jelasnya.
Di balik kerasnya kehidupan, Rudi merasa beruntung bisa berjualan di kota yang cukup ramai dengan pendatang. Namun, ia tidak memungkiri sempat mengalami masa-masa saat pendapatannya menurun drastis.
Kini, Rudi hanya punya satu keinginan yakni pulang ke kampung halaman dan membuka usaha kecil-kecilan. "Ingin punya warung sendiri di kampung, biar bisa dekat sama keluarga," harapnya.
(bba/sud)