Kematian Tragis Anna gegara Budaya Kerja Toksik

Kabar Internasional

Kematian Tragis Anna gegara Budaya Kerja Toksik

Khadijah Nur Azizah - detikJabar
Minggu, 29 Sep 2024 22:30 WIB
Ilustrasi selesai kerja
Ilustrasi kerja. Foto: Getty Images/iStockphoto/cyano66
Bandung -

Muncul perdebatan setelah seorang karyawan di India berusia 26 tahun tewas. Karyawan itu bekerja di firma akuntansi terkemuka. Perdebatan yang mencuat menyinggung soal budaya tempat kerja dan kesejahteraan karyawan di lingkungan perusahaan.

Mengutip dari detikHealth, Anna Sebastian Perayil, seorang akuntan berlisensi di Ernst & Young (EY), meninggal pada bulan Juli, empat bulan setelah bergabung dengan firma tersebut. Orang tuanya menyinggung "tekanan kerja yang luar biasa" di pekerjaan barunya berdampak buruk pada kesehatannya dan menyebabkan kematiannya.

EY telah membantah tuduhan tersebut, dengan mengatakan bahwa Perayil diberi pekerjaan seperti karyawan lainnya dan tidak percaya bahwa tekanan kerja dapat merenggut nyawanya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kematiannya telah bergema dalam, memicu diskusi tentang 'budaya kerja keras' yang dipromosikan oleh banyak perusahaan dan perusahaan, sebuah etos kerja yang memprioritaskan produktivitas, seringkali dengan mengorbankan kesejahteraan karyawan.

BBC mencatat kematian Perayil bukanlah insiden pertama yang membuat budaya kerja India menjadi sorotan. Pada bulan Oktober tahun lalu, salah seorang pendiri Infosys, Narayana Murthy, menghadapi kritik karena menyarankan agar anak muda India bekerja 70 jam seminggu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara tersebut.

ADVERTISEMENT

Pada tahun 2022, Shantanu Deshpande, pendiri Bombay Shaving Company, meminta anak muda untuk berhenti "mengeluh" tentang jam kerja dan menyarankan agar karyawan baru di pekerjaan apa pun harus siap bekerja 18 jam sehari selama empat hingga lima tahun pertama karier mereka.

Namun, para ahli kesehatan mental dan aktivis hak-hak buruh mengatakan bahwa tuntutan tersebut tidak adil dan membuat karyawan berada di bawah tekanan yang sangat besar. Dalam suratnya, ibu Perayil menuduh bahwa putrinya mengalami "kecemasan dan sulit tidur" segera setelah bergabung dengan EY.

Kematian Anna Sebastian Perayil menjadi pengingat yang menyakitkan tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara tuntutan kerja dan kesehatan mental di tempat kerja. Kasus ini diharapkan dapat memicu perubahan positif dalam budaya kerja di perusahaan-perusahaan di seluruh dunia.

Artikel ini telah tayang detikHealth.

(kna/sud)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads