Belakangan ini, kasus Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) di Kabupaten Garut menjadi perbincangan lagi karena eksistensinya diyakini terus ada dan berkembang hingga ke bangku sekolah. Bagaimana upaya pemerintah mencegah putra-putri terbaiknya menjadi kaum 'Pelangi'?
Kasus LGBT ini mulai heboh kembali diperbincangkan setelah seorang guru yang mengajar di sebuah sekolah menengah atas sederajat di Garut buka suara. Ibu guru ini mengaku memergoki chat mesum di antara dua pelajar putri yang menjadi anak didiknya.
Guru ini terus menelusuri. Dari hasil penelusurannya diketahui, jika aksi suka sama suka di antara dua remaja putri ini sudah lebih jauh dari yang dibayangkan sebelumnya. Keduanya bahkan mengaku pernah membeli alat bantu seks bersama-sama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pengakuannya pernah beli alat bantu untuk melakukan aktivitas seksual juga. Tentu kami sebagai guru sangat resah," katanya.
Informasi yang didapat guru ini kemudian dibagikannya juga kepada guru-guru dari sekolah lain. Gayung bersambut, para tenaga pendidik yang mendengar cerita guru ini juga menemukan beragam hal serupa di sekolah masing-masing.
Eksistensi 'Kaum Pelangi' di bangku sekolah ini, dibenarkan oleh Kepala Kantor Cabang Dinas (KCD) Wilayah XI Garut Dinas Pendidikan Provinsi Jabar Aang Karyana. Menurut Aang, LGBT di sekolah memang ada.
"Jadi kan di Garut ini ada Perda Anti Maksiat. Seperti halnya narkoba, LGBT juga ada tim terpadu yang menangani. Memang benar mereka pernah memberikan laporan bahwa memang ada (pelajar LGBT)," kata Aang kepada detikJabar, Rabu, 3 September 2024.
Senada dengan Aang, Sekretaris Daerah (Sekda) Garut Nurdin Yana juga membenarkan adanya kalangan LGBT di Kabupaten Garut. Namun, penindakan sulit dilakukan karena 'Kaum Pelangi' kucing-kucingan dengan petugas.
"Dari dulu juga kita sebenarnya sudah bekerja, bergerak di kalangan pelajar. Jadi, kita mendengar ada juga masukan bahwa LGBT ini tempatnya di sana, di sini, kemudian kita kejar dan menghilang. Upaya pencegahan juga kita lakukan dengan teman-teman dari Diskominfo dan Satpol PP," ungkap Nurdin Yana kepada wartawan, Senin, (9/9/2024).
Nurdin Yana menjelaskan, pihaknya beberapa kali menemukan adanya indikasi aktivitas LGBT di grup WhatsApp. Namun, ketika ditelusuri, mereka kemudian menghilang.
"Kalau data kita jujur tidak mengetahui (berapa banyak). Tapi, cukup ada, banyak. Ada grup WA, kita kejar, hilang," katanya.
Kabupaten Garut sendiri diketahui merupakan daerah yang memiliki aturan terkait pelarangan aktivitas LGBT. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Bupati (Perbup) Garut Nomor 47 Tahun 2023, yang dikeluarkan Bupati Garut periode 2013-2023, Rudy Gunawan.
Perbup ini mengatur tentang anti perilaku maksiat. Salah satu poin yang dibahas di dalamnya, adalah aturan yang melarang aktivitas LGBT. Perbup ini merupakan turunan dari Perda Nomor 13 Tahun 2015, tentang Anti Perbuatan Maksiat.
Terkait isu LGBT di lingkungan sekolah ini, ditanggapi serius oleh kalangan ulama. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Garut KH Sirojul Munir tak mentolerir perilaku menyimpang itu.
"Tentu MUI sudah mengatakan jika LGBT adalah haram hukumnya. Ini perilaku yang harus terus kita perangi meskipun tidak akan hilang dari muka bumi," kata Munir.
Munir mengaku sangat menyayangkan, karena saat ini, upaya pencegahan dan penindakan kasus LGBT di Garut dianggapnya melempem. MUI disebut Munir saat ini tak pernah dilibatkan lagi dalam melakukan pencegahan perilaku maksiat, termasuk LGBT.
"Sekarang sudah tidak ada. Padahal sangat disayangkan, karena sekarang sudah ada aturannya (Perbup). Justru masifnya pengawasan ini sebelum adanya Perbup," ungkap Munir.
Munir mengatakan, MUI sendiri mulai tahun ini akan bergerak sendiri mencegah perilaku maksiat di kalangan pelajar. Rencananya, MUI Garut akan mengerahkan ulama ke sekolah-sekolah untuk melakukan pencegahan.
"Tidak hanya untuk LGBT, tapi untuk seks bebas, narkoba, judi online juga jadi fokus kita," pungkas Munir.
(iqk/iqk)