Kenangan Anak-anak Zaman Dulu: Main Bola Beralas Jerami

Lorong Waktu

Kenangan Anak-anak Zaman Dulu: Main Bola Beralas Jerami

Wisma Putra - detikJabar
Senin, 26 Agu 2024 06:00 WIB
Bermain sepakbola di lapangan jerami
Bermain sepakbola di lapangan jerami (Foto: Wisma Putra/detikJabar)
Bandung -

Minggu pagi di Bulan Agustus tahun 2015, menjadi hari yang ditunggu anak-anak yang tinggal di Kampung Sukasari, Desa Mekarpawitan, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung. Di hari libur itu, anak-anak tersebut bebas bermain seharian di persawahan.

Pada kala itu, kondisi persawahan yang ada di perkampungan itu sudah dipanen. Biasanya untuk ditanami lagi, petani harus menunggu musim hujan tiba. Karena sawah tersebut akan ditanam kembali 2-3 bulan kedepan, sawah itu kerap digunakan anak-anak ini untuk bermain sepakbola.

Ada yang menarik, biasanya sepakbola bermain di lapangan berumput, anak-anak tersebut gunakan jerami sebagai alas untuk mereka bermain sepakbola. Hal itu dilakukan agar saat bermain sepakbola tidak sakit ke kaki.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bukan seperti main sepakbola di lapangan berumput, bermain sepakbola dengan alas jerami ini dilakukan tanpa alasan kaki alias 'nyeker' dan bola yang digunakan juga bukan bola karet, melainkan bola plastik.

Selain itu, ukuran lapangannya pun tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil, menyesuaikan kotakan sawah yang sudah ada. Biasanya, dapat digunakan 5-6 orang untuk setiap tim nya.

ADVERTISEMENT

Tak hanya di pagi hari, bermain sepakbola dengan alas jerami ini kerap dilakukan di sore hari. Bahkan di Bulan Agustus, warga kerap menggelar kompetisi kecil-kecilan yang pesertanya berasal dari setiap RT.

Beda dengan pertandingan sepakbola pada umumnya juga, remaja dan orangtua turut berbaur untuk bermain sepakbola bersama.

Pendaftaran peserta dibuka di Hari Minggu pertama, untuk menghindari peserta dominan baik itu peserta yang masih muda dan memiliki kemampuan, panitia yang merupakan Karang Taruna di kampung melakukan pengundian urutan peserta.

Biasanya, setiap pendaftar dikenai biaya pendaftaran Rp 5 ribu dan nantinya uang itu bakal dikumpulkan dan digunakan sebagai hadiah bagi tim yang juara. Tidak ada juara 1, 2 atau 3. Uang hadiah diberikan panitia kepada tim juara 1 saja.

Dalam satu kali kompetisi di Bulan Agustus, ada sekitar 20 tim yang bertanding. Pertandingan kompetisi hanya digelar di Hari Minggu, hari itu dipilih selain anak sekolah libur, para orangtua juga libur di pekerjaannya.

Pertandingan digelar dengan sistem gugur, satu kali pertandingan dilakukan 2x15 menit, tidak ada perpanjangan waktu, jika skor berakhir seri maka langsung adu penalti.

Setiap Minggu, lapangan sepakbola dadakan itu ramai didatangi warga untuk menyaksikan pertandingan. Hal tersebut menjadi hiburan tersendiri bagi warga sekitar. Tak jarang, puluhan warga mengelilingi lapangan untuk menyaksikan pertandingan diposisi paling depan.

Bahkan jika tiba di saat pertandingan semi final hingga ke babak final, warga rela berdesak-desakan untuk menyaksikan pertandingan sepakbola itu.

Tidak kalah dengan menyaksikan pertandingan sepakbola di stadion, menyaksikan sepakbola di pinggir sawah juga suaranya sangat ramai, penonton berserakan sorai, bahkan ada penonton yang membawa drum hingga bedug ke lapangan untuk memberikan semangat kepada tim yang didukungnya.

Bermain sepakbola beralaskaan jerami,sepertinya kurang populer sekarang. Anak muda cenderung memilih bermain sepakbola bola di lapangan berumput atau di tempat futsal.

Selain itu, kegiatan ini sempat terhenti karena pandemi COVID-19. Memaang di tahun 2020 ke atas juga masih ada, tapi jumlahnya tak seramai dulu.

Pengalaman ini dirasakan langsung oleh penulis Wisma Putra, di rentang waktu 2015-2019.

(wip/yum)


Hide Ads