Ada seorang pemuda gagah-berani dari Korea Selatan, yang dianggap sebagai pahlawan oleh warga Garut. Lelaki yang konon di akhir kisah hidupnya berganti nama menjadi Komarudin ini, berperan penting membantu rakyat Garut dalam mempertahankan kemerdekaan.
Dia adalah Yang Chil Seong alias Yang Chil Sung, alias Yanagawa Shichise, yang oleh warga Garut pada masanya, lebih dikenal dengan nama Komarudin.
Dikutip detikJabar dari sebuah artikel berjudul Profile Yang Chil Seong: Pahlawan Kemerdekaan Indonesia Asal Korea Selatan karya Sabila Dwi Yusrina dari Akademi Bahasa Asing Nasional Jakarta (2020), Yang Chil Seong diketahui merupakan lelaki yang lahir di Kota Wanjoo, Jeolla Utara, Korea Selatan pada 29 Mei 1919.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada tahun 1942, di usianya yang menginjak 23 tahun, Yang Chil Seong muda dibawa Jepang ke Indonesia dan ditugaskan untuk menjaga tahanan perang. Yang Chil Seong datang di Tanjung Priok, Jakarta, pada 14 September 1942.
"Ada sekitar 1.400 tentara penjaga tawanan yang ditugaskan di Pulau Jawa," kata Sabila.
Yang Chil Seong kemudian ditugaskan menjaga tahanan di kawasan Kota Bandung. Namun, dikisahkan, Yang Chil Seong selalu berat hati dalam melaksanakan tugasnya, karena sangat iba melihat penderitaan pribumi yang kala itu masih dijajah Jepang.
Menikahi Wanita Pribumi
Di momen penugasannya ini di Bandung, Yang Chil Seong konon bertemu dengan seorang wanita pribumi bernama Lience Wenas, yang kala itu kerap berkunjung ke kamp tahanan untuk menjenguk kakaknya. Mereka menikah, kemudian dikaruniai seorang anak bernama Eddy Jawan.
"Mereka kemudian menikah di tahun 1945," katanya.
Sejak awal kedatangannya, Yang Chil Seong memang istimewa. Rostineu, Dosen Program Studi Bahasa dan Kebudayaan Korea di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia mengatakan, Yang Chil Seong memiliki kemampuan berbahasa di atas rata-rata tentara Jepang.
"Dia punya kemampuan lebih dibanding asisten tentara. Dia bisa merakit ranjau, punya kemampuan berbahasa yang bagus. Termasuk bahasa Jepang dan Indonesia," kata Rostineu dikutip detikJabar dari HaiBunda.
![]() |
Di tahun yang sama, 1945, Jepang kemudian dinyatakan kalah dalam perang. Yang Chil Sung tak bisa kembali pulang ke kampung halamannya. Konon, salah satu alasannya, adalah karena kekurangan kapal yang mengangkut pasukan Jepang kala itu.
Tapi yang jelas, saat itu, Yang Chil Sung kemudian ikut dalam rombongan tentara dan penjaga tawanan Jepang, yang berjumlah sekitar 40 orang. Rombongan ini, dikomandoi oleh seorang perwira Jepang bernama Masahiro Aoki.
Sumber lain menyebut, di suatu momen di tahun 1946, pasukan ini dilaporkan terlibat perang dengan regu pasukan dari Garut, bernama Pasukan Pangeran Papak. Namun, dalam perang itu, mereka dilaporkan tidak terlalu melawan dan akhirnya ditawan oleh Pasukan Pangeran Papak.
Aoki dan anak buahnya, termasuk Yang Chil Sung, kemudian dibawa ke Wanaraja, Garut dan ditahan. Di antara para tawanan ini, ada Aoki dan Katsuo Hasegawa dari Jepang, kemudian Yang Chil Sung serta satu rekannya dari Korea Selatan, Guk Jae Man.
Karena diperlakukan dengan baik oleh pasukan yang dikomandoi Mayor Kosasih itu, Aoki kemudian menghadap ke pimpinan di sana, dan menyatakan ingin menjadi bagian dari mereka. Secara pribadi, Aoki juga kemudian memeluk agama Islam.
Langkah yang dilakukan Aoki ini, kemudian diikuti oleh anak buahnya. Mereka kemudian dibawa ke hadapan seorang tokoh agama di wilayah Wanaraja, bernama Raden Djajadiwangsa dan kemudian diislamkan.
Aoki kemudian diberi nama baru Abubakar. Hasegawa menjadi Usman, Yang Chil Sung jadi Komarudin, serta Guk Jae Man sebagai Soebardjo.
Bergabungnya pasukan Aoki, menambah kekuatan Pasukan Pangeran Papak dalam menghadapi Belanda, yang setelah 17 Agustus 1945 datang lagi ke Indonesia untuk merongrong kemerdekaan.
Guk Jae Man didapuk menjadi pimpinan pasukan intelijen. Sementara Yang Chil Sung yang memimpin pergerakan pasukan gerilya untuk melakukan sabotase dan merakit ranjau.
Membuat Belanda Ketar-ketir
Pasukan ini, dikisahkan sangat membuat Belanda ketar-ketir. Aksi mereka yang paling fenomenal, adalah ketika Pasukan Pangeran Papak yang dipimpin Yang Chil Sung melakukan pengeboman jembatan Sungai Cinunuk, yang menghubungkan Wanaraja dengan Garut.
Aksi pengeboman ini, dilakukan pada sekitaran tahun 1947. Tujuannya, untuk melindungi masyarakat, karena saat itu mereka menerima informasi jika Belanda akan menduduki Wanaraja dalam waktu dekat. Dengan aksi pengeboman itu, akhirnya Belanda batal tiba di Wanaraja.
Aksi Yang Chil Sung cs ini, membuat Belanda berang bukan main. Mereka kemudian diburu, dan kepalanya dihargai mahal oleh Belanda. Perjalanan pasukan ini, kemudian terhenti di tahun 1948.
Di suatu momen kala itu, tentara Belanda berhasil menangkap Yang Chil Sung, Aoki, Hasegawa dan Guk Jae Man hidup-hidup. Mereka ditangkap dengan seorang pribumi Letnan Djoehana di sekitaran Gunung Dora, perbatasan Garut-Tasikmalaya.
![]() |
Mereka ditangkap malam hari, saat sedang berunding merumuskan strategi melawan Belanda, di sebuah rumah di tengah hutan Gunung Dora. Beberapa sumber menyatakan, penyebab terendusnya persembunyian Yang Chil Sung dkk ini, gegara pengkhianatan yang dilakukan seorang istri prajurit yang memberikan informasi keberadaan Yang Chil Sung kepada tentara Belanda.
Mereka kemudian dibawa Belanda. Pada 26 Oktober 1948, atau sehari setelah penangkapan mereka, Guk Jae Man ditembak mati oleh Belanda. Kabarnya, rekan Yang Chil Sung itu hendak melarikan diri. Sementara Aoki, Hasegawa dan Yang Chil Sung serta Letnan Djoehana diseret ke pengadilan.
Dalam persidangan yang digelar tanggal 20 Februari 1949 ini, Yang Chil Seong, Aoki dan Hasegawa dijatuhi hukuman mati. Sedangkan Djoehana yang jago bahasa Belanda, berhasil melobi kemudian dijatuhi hukuman penjara seumur hidup di LP Cipinang.
Vonis hukuman terhadap Yang Chil Sung, Hasegawa, Aoki dan Letnan Djoeana ini, terabadikan dalam laporan koran Belanda, Nederlandsche Dagbladpers yang terbit 21 Februari 1949.
"Darurat Militer Khusus. Di bawah kepemimpinan Letnan Kolonel W. Supheert, menjatuhkan hukuman mati kepada tiga orang Jepang di Garoet. Mereka adalah Aoki alias Abubakar, Hasegawa dan Yanagawa. Selanjutnya, Djoeana WNI juga telah dijatuhi hukuman mati, karena melakukan aksi teroris sesuai tuntutan," katanya, seperti dikutip detikJabar dari laman delpher.nl.
Ketiganya kemudian dieksekusi mati. Ada yang menyebut eksekusi mati dilakukan pada 10 Agustus 1949. Ada juga yang menyebut eksekusi dilakukan 21 Mei 1949. Namun, berdasarkan laporan koran Belanda, trio ini dihukum mati pada 22 Mei 1949 di sebuah lapangan yang kini sudah berubah menjadi Sarana Olahraga (SOR) Merdeka, di kawasan Tarogong Kidul, Garut.
"Dini hari tanggal 22 Mei, hukuman mati dilaksanakan di Garut terhadap Aoki Jepang alias Abubakar, Hasegawa alias Uetman, dan Yanagawa alias Komaroedin. Yang pada saat itu, telah dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Militer Khusus," tulis de Vrije Pers, terbit 25 Mei 1949.
Teriakan 'Merdeka'
Ada beberapa kisah menarik yang mengiringi kepergian ketiganya. Konon kabarnya, Yang Chil Sung meminta agar mereka dimakamkan secara Islam di Garut. Kemudian, mereka juga meminta baju warna putih dan sarung merah saat dieksekusi Belanda.
Selain itu, Sabila Dwi Yusrina dalam laporannya tadi menyebut, jika sebelum dieksekusi mati, Yang Chil Sung sempat ditawari untuk hidup oleh Belanda, dengan catatan dikembalikan ke negara asalnya, Korea Selatan.
Tapi, dikisahkan, jika Yang Chil Sung kala itu berteriak 'Merdeka!' sebanyak dua kali, hingga akhirnya dieksekusi mati oleh Belanda. Jasad ketiganya, kemudian dimakamkan di TPU Pasir Pogor, Kecamatan Garut Kota.
Dalam rangka mengenang jasa ketiganya, Pemerintah kemudian memindahkan makam mereka ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Tenjolaya, Tarogong Kidul. Ada tiga versi waktu pemindahan makam yang beredar di masyarakat. Yakni tahun 1957, 1975 dan 1982.
Semula, sebenarnya tidak ada yang mengetahui jika Yang Chil Sung adalah seorang pemuda Korea Selatan. Sebab, dia dibawa Jepang dengan nama Janagawa atau Yanagawa Shichise.
Sejarawan asal Jepang, Ushumi Aiko merupakan orang yang bejasa dalam terungkapnya identitas Yang Chil Sung. Di tahun 1995, Pemerintah RI kemudian mengubah batu nisan makam Yang Chil Sung, yang tadinya bertulis Yanagawa Shichise dan Komarudin, menjadi Yang Chil Sung dan Komarudin.
Penggantian nama di batu nisan makam Yang Chil Sung ini, dihadiri adik kandung Yang Chil Sung dari Korea Selatan, Yang Nam Soo. Di momen ini juga, dikisahkan Yang Nam Soo untuk pertama kalinya bertemu dengan anak Yang Chil Sung, Eddy Jawan.
Kepahlawanan Yang Chil Sung di Garut ini, menjadi legenda dan dikenang terus oleh masyarakat hingga kini. Pemerintah Kabupaten Garut di bawah pimpinan Rudy Gunawan pada tahun 2023 lalu, mengabadikan namanya menjadi nama jalan di kawasan Wanaraja.
Selain itu, kabarnya pemerintah juga saat ini tengah menggarap film yang mengisahkan tentang perjuangan Yang Chil Sung dkk di Garut. Kabarnya, aktor Korea Selatan Kim Bum dan Maudy Ayunda didaulat menjadi pemeran.
"Iya benar, kisah Yang Chil Sung akan diangkat ke layar lebar. Insya Allah syutingnya tahun ini," kata Dicky, penggarap film tersebut kepada detikJabar, 2 September 2023.
(yum/yum)