Beragam pihak sempat dibuat geger dengan kabar megathrust Nankai yang disebut jadi zona sumber gempa Jepang, disebut mirip dengan dua megathrust yang ada di Indonesia. Fakta itu seolah jadi peringatan bagi Indonesia yang punya Megathrust Selat Sunda (M8,7) dan Megathrust Mentawai-Siberut (M8,9).
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Daryono pun menerangkan bahwa pernyataan tersebut sebetulnya bukan berarti peringatan bahwa kejadian ini bakal terjadi dalam waktu dekat.
Daryono sempat mengatakan gempa besar di Indonesia tinggal menunggu waktu saja, dikarenakan dua zona tersebut sudah lama tak mengalami gempa. Ia berharap, agar instansi terkait dan pemerintah setempat lebih awas dengan mitigasi bencananya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebab sejarah mencatat, gempa besar terakhir di Tunjaman Nankai terjadi pada 1946 dengan usia seismic gap 78 tahun. Sedangkan gempa besar terakhir di Selat Sunda terjadi pada 1757 dengan usia seismic gap 267 tahun, dan gempa besar terakhir di Mentawai-Siberut terjadi pada 1797 dengan usia seismic gap 227 tahun.
"Artinya kedua seismic gap kita periodisitasnya jauh lebih lama jika dibandingkan dengan seismic gap Nankai, sehingga mestinya kita jauh lebih serius menyiapkan upaya-upaya mitigasinya," tutur Daryono.
"Terkait rilis gempa di Selat Sunda dan Mentawai-Siberut 'tinggal menunggu waktu' disebabkan karena segmen-segmen sumber gempa di sekitarnya sudah rilis gempa besar semua, sementara Selat Sunda dan Mentawai-Siberut hingga saat ini belum terjadi," lanjutnya.
Ia menegaskan bahwa penelitian potensi gempa di zona Megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut sebenarnya sudah lama. Bahkan sejak sebelum terjadi Gempa dan Tsunami Aceh 2004.
"Munculnya kembali pembahasan potensi gempa di zona megathrust saat ini, bukanlah bentuk peringatan dini atau warning yang seolah-olah dalam waktu dekat akan segera terjadi gempa besar. Tidak demikian," ucap Daryono.
Sekedar diketahui, megathrust adalah sekadar istilah dalam merujuk sumber/zona gempa. Saat gempa, lempeng samudra yang menunjam ke bawah lempeng benua akan menciptakan sebuah medan tegangan. Bagian lempeng benua yang ada di atas lempeng samudra akan terdorong naik, zona tersebutlah yang disebut megathrust.
BMKG mengingatkan kembali keberadaan Zona Megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut sebagai sebuah potensi yang diduga oleh para ahli sebagai zona kekosongan gempa besar (seismic gap) selama ratusan tahun.
"Seismic gap ini memang harus kita waspadai karena dapat melepaskan energi gempa signifikan yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Tapi munculnya pembahasan potensi gempa di zona Megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut, sebenarnya tidak ada kaitannya secara langsung dengan peristiwa gempa kuat M7,1 yang berpusat di Tunjaman Nankai dan mengguncang Prefektur Miyazaki Jepang," ujar Daryono.
Gempa M7,1 yang memicu tsunami kecil di Pulau Kyushu, Jepang pada Kamis (8/8/2024) lalu bersumber dari Megathrust Nankai. Tak bisa dipungkiri bahwa hal itu mengingatkan kita di Indonesia, akan potensi gempa di zona seismic gap Selat Sunda dan Mentawai-Siberut.
Daryono pun mewanti-wanti bahwa hingga saat ini, belum ada ilmu pengetahuan dan teknologi yang dengan tepat dan akurat mampu memprediksi terjadinya gempa. Tentunya, tak bisa diketahui kapan gempa akan terjadi, sekalipun tahu potensinya.
Hal senada juga diungkapkan Kordinator Mitigasi Bencana Gempa Bumi dan Tsunami PVMBG, Supartoyo. Dalam kesempatan berbeda, ia menyinggung potensi pengaruh gempa di zona megathrust Indonesia terhadap aktivitas Sesar Lembang. Meski sumber gempa keduanya berbeda, namun aktivitas di zona megathrust dapat memicu pergerakan di Sesar Lembang.
"Sebenarnya itu sumber gempa yang terpisah. Cuma istilah pengontrol dari energi Lembang ini tetap dari zona penunjaman subduksi tadi (zona megathrust), tapi secara tidak langsung," tutur Supartoyo.
"Jadi karena ditekan terus menerus mungkin Sesar Lembang kalau sewaktu-waktu tidak mampu menahan kekuatan energi dari subduksi tadi dia akan lepas," lanjutnya.
Supartoyo mengungkapkan, yang perlu dilakukan untuk memitigasi potensi bencana akibat keberadaan Sesar Lembang adalah mempersiapkan tiga hal utama yakni peta kawasan, penataan ruang dan regulasi.
Menurutnya, sejauh ini tidak ada prosedur penataan ruang yang dilakukan pemerintah sebagai langkah mitigasi menghadapi bencana, termasuk juga soal regulasi.
"Tapi apapun, tetap upaya mitigasi harus ditingkatkan. Dengan adanya peta sebaran sesar aktif, kemudian peta kawasan rencana gempa bumi, dengan peta ini dilakukan upaya mitigasi dan penataan ruang, juga kita mendorong regulasi. Itu obat mujarabnya hanya tiga itu untuk pengurangan resiko," jelasnya.
(aau/dir)