Catatan DPRD soal Tingginya Persentase Rutilahu di Jabar

Catatan DPRD soal Tingginya Persentase Rutilahu di Jabar

Anindyadevi Aurellia - detikJabar
Minggu, 11 Agu 2024 19:00 WIB
Rutilahu di Garut
Ilustrasi rutilahu di Jabar (Foto: Hakim Ghani)
Bandung -

Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat mencatat angka rumah layak huni di Tanah Sunda pada tahun 2023 yakni hanya sebesar 54,17%. Melihat data tersebut, Anggota Komisi IV DPRD Jabar, Daddy Rohanady mendorong agar Pemprov Jabar dan BPS duduk bersama membahas soal detail data yang ada.

Daddy mengaku masih banyak temuan di lapangan warga yang mengeluhkan kondisi rumahnya. Meski begitu, seharusnya Pemprov sudah mencapai target beberes rumah tidak layak huni (rutilahu), yang diperkirakan sebesar 45,83%.

"Saat jelang akhir jabatan Gubernur Ridwan Kamil, Menteri yang di pusat menyatakan bahwa sisa sekali lagi sisa pekerjaan untuk provinsi, jadi rutilahu dalam daerah kawasan provinsi tinggal 760. Di tahun 2024 kami anggarkan 2.600 rumah, yang dinyatakan Pak Kadis Perkin sudah dikerjakan 2.500. Artinya kebenaran mestinya sudah tuntas di 2024 dari kewenangan provinsi," kata Daddy saat dihubungi detikJabar, Minggu (11/8/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Bahwa kemudian masih banyak rutilahu, nah ini yang harus dikonfirmasi ke kawan-kawan BPS. Apakah 40 persen itu berada di kawasan otoritas provinsi? Atau itu merupakan kewenangan kabupaten? Atau pusat? jadi Pak Indra Maha, kepala dinasnya, ya kita bermain pada ranah kewenangan, Pak. Pada akhirnya begitu. Cuma memang ini butuh duduk bersama untuk melakukan klarifikasi," lanjutnya.

Sebab menurut Daddy, belakangan ada kualifikasi atau penggolongan soal wilayah rutilahu. Bahwa dalam 0-10 hektare luasannya, kawasan kumuh jadi tanggungan kota/kabupaten. Sementara 10-15 hektare menjadi kewenangan provinsi, lalu di atas 15 hektare merupakan kewenangan pusat. Hal itu sudah ditentukan oleh pemerintah pusat.

ADVERTISEMENT

Pun jika besaran rutilahu berada di wilayah kabupaten kota atau pusat, Daddy mendorong Disperkim agar turut memberi solusi apa yang harus dilakukan. Perlu dibicarakan berkaitan dengan skema dan waktu kalkulasi penanganannya.

Sementara itu temuan di lapangan, Daddy masih kerap menerima keluhan warga soal kondisi rumahnya. Hal itu dikarenakan biaya yang diberikan untuk rutilahu tentunya tak bisa memperbaiki secara keseluruhan rumah. Sehingga rutilahu, kemungkinan besar akan selalu ada secara bergantian.

Sekedar diketahui, rumah layak huni dan terjangkau adalah rumah yang memenuhi persyaratan keselamatan bangunan, kecukupan minimum luas bangunan, serta kesehatan penghuninya, yang mampu dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.

Dikutip dari laman Disperkim Jabar, nilai bantuan per unit rumah yang diberikan yakni Rp 20 juta. Hitungannya dengan belanja bahan Rp17,5 juta, BOP Rp2 juta, upah kerja minimal Rp2juta, dan administrasi BKM/LKM maksimal Rp500 ribu.

"Dan sekarang kalau dari segi jumlah sebetulnya sudah lewat dari 100 ribu rutilahu diperbaiki. Tapi yang pasti begini. Kami ini Dewan, setiap kali melakukan kegiatan, tetap menerima proposal perbaikan rutilahu. Pada kenyataannya, secara empiris di lapangan, kami Dewan masih menemukan banyak sekali masyarakat yang butuh bantuan perbaikan. Bahwa kemudian nilainya 20 juta karena yang diberikan adalah stimulus. Bukan perbaikan secara utuh seperti halnya misalnya bedah rumah," ucap Daddy.

"Tapi program Rutilahu dari provinsi, perbaikan ini adalah pemberian stimulus kepada masyarakat. Jadi yang pasti program ini sebenarnya bagi masyarakat sangat dibutuhkan," lanjutnya.

Daddy yang juga menjadi anggota badan anggaran, mengatakan bahwa tahun 2025 ada alokasi anggaran untuk perbaikan Rutilahu itu hanya 1.250 rumah. Menurutnya, hal tersebut hal ironis mengingat usulan perbaikan rumah di perkotaan seperti Bandung dan Cimahi masih begitu banyak.

Terlebih di wilayah yang daerah lainnya di Jabar, pasti lebih membutuhkan lagi. Ia pun berharap agar pemerintah bisa lebih peduli soal rutilahu ini, syukur-syukur bisa memberikan bantuan lebih banyak.

"Apalagi di dapil saya kabupaten Cirebon, Indramayu itu lihat data boleh disandingkan, tapi lihat kenyataan empiris di lapangan masih begitu banyak masyarakat yang membutuhkan bantuan perbaikan," ucapnya.

"Jadi tetap saya kira, PR bahwa itu diselesaikan dengan APBD tingkat 1, tingkat 2, atau lewat APBN. Saya kira tetap butuh dilakukan untuk membuktikan bahwa negara hadir untuk mengurusi rakyat," pesannya.




(aau/dir)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads