Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mendeteksi adanya kontaminasi bahan aktif obat atau APIs di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu, Jawa Barat. Terkini, dilaporkan air Sungai Citarum mengandung obat paracetamol hingga amoxilin.
Temuan ini membuat akademisi ikut menyoroti. Wakil Dekan Sumberdaya dan Organisasi FTG Universitas Padjadjaran (Unpad) Cipta Endyana mengungkap kontaminasi kandungan tersebut bisa terjadi sesuai segmen.
"Pencemaran tergantung segmen, kalau daerah padat penduduk limbah rumah tangga paling banyak. Tapi kalau daerah industri itu paling banyak limbah industri, yakni limbah cair," kata Cipta kepada detikJabar, Rabu (10/7/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk daerah pertanian, menurut Cipta, hal itu bisa disebabkan oleh pestisida hingga kotoran hewan yang turut dibuang ke aliran Sungai citarum. Sehingga hal itu menimbulakan bakteri ecoli, apalagi masuk ke sumur warga. Menurutnya limbah pestisida dan kotoran hewan itu membahayakan.
"Rumah tangga sekarang sudah ada septictank, sehingga limbah rumah tangga lebih ke sabun cuci bukan lagi tinja. Sampah juga untuk daerah pemukiman, dulu enggak boleh buang sampah ke sungai waktu zaman Citarum Harum pertama, warga nurut, sehingga sampah numpuknya itu di darat, karena mekanisme kebersihan belum bagus sekarang banyak di darat, setelah itu muncullah insinerator, pembakaran dan sebagainya dan digulirkan program zero waste," ungkapnya.
Menurut Cipta, saat ini masyarakat ada yang mempertahankan lingkungan yang sudah diperbaharui, dipertahankan dan ditingkatkan. Namun ada juga yang balik lagi dan memang masyarakat harus terus mendapatkan pendampingan.
"Kualitas air Citarum meningkat, layak digunakan mandi tapi belum layak minum. Dari masyarakat harus ada champions, dari akademisi terus pengabdian dan dari pemerintah terus mendampingi. Banyak hal secara kolaboratif harus konsisten dilakukan," jelasnya.
Terkait kontaminasi paracetamol dan amoxilin Cipta mencurigai ada industri pembuatan obat yang limbahnya masuk ke Sungai Citarum. Lalu pestisida, ada amoniak dan unsur senyawa terkait, namun paracetamolnya tidak terlalu besar.
"Hubungan tekstil mungkin dan hubungan dengan peternakan juga mungkin karena mereka perlu obat, dari obat itu, lari kekotoran. Tapi kalau sebegitu besar logis enggak dan saya juga tertarik untuk mempelajari. Saya belum mempelajari, jika sampai ton-tonan itu mungkin akumulasi ya," terangnya.
Menurutnya, hasil riset BRIN ini jadi isu baru dan seharusnya jadi perdebatan ilmiah. Dia juga ingin tahu seberapa banyak dan seberapa besar pengaruh itu dan seberapa lama itu terjadi.
"Kemungkinan (terjadi), tapi kalau besar enggak logis, mungkin itu terjadi bertahun-tahun, yang udah-udah di Citarum itu memang bersih airnya, tapi sedimentimentasinya itu masih tercemar, endapan di sungai belum sepenuhnya bersih," ucapnya.
"Kita tabayun ya, istilahnya benar gak maslah ini ada, kemudian sumbernya apa, setelah itu tindak permasalahan. Dari sisi akademisi ini jadi satu isu baru dan kita harus mempelajari riset itu," pungkasnya.
Sebagaimana diketahui, penggunaan antibiotik di DAS Citarum Hulu ternyata relatif besar. Dengan penggunaan Paracetamol di posisi tertinggi dengan jumlah 460 ton per tahun dan amoxilin 335 ton per tahun.
Peneliti BRIN menyebut sumber-sumber kontaminasi bahan aktif obat yang mungkin masuk ke dalam Sungai Citarum bisa teridentifikasi dari banyak hal.
Dari kegiatan peternakan yang dinilai banyak menggunakan obat-obatan dan hormon untuk meningkatkan hasil peternakan, penggunaan obat rumah tangga dan industri, serta sistem pengelolaan limbah obat di rumah sakit yang mungkin terdapat kebocoran, sehingga mengakibatkan masuknya obat ke ekosistem akuatik.
(wip/dir)