Sungai Citarum dikabarkan tercemar obat paracetamol hingga amoxilin. Kabar itu disampaikan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) lewat penelitian yang dilakukan di DAS Citarum Hulu.
Dalam penelitian itu, disebutkan jika Sungai Citarum terkontaminasi bahan aktif obat atau APIs. Penelitian dilakukan dengan konsentrasi bahan aktif obat yang diminum, frekuensi obat, jumlah obat yang dikonsumsi, dan berapa lama masa sakit responden dalam setahun.
Hasilnya, didapat jika penggunaan antibiotik di DAS Citarum Hulu ternyata relatif besar, dengan penggunaan paracetamol di posisi tertinggi dengan jumlah 460 ton per tahun dan amoxilin 335 ton per tahun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Merespon hal itu, Satgas Citarum Harum menyebut, kontaminasi paracetamol dan amoxilin sudah pernah diteliti dan dipublikasi dalam penelitian yang dilakukan oleh ITB pada 2022 lalu. Saat itu penelitian dilakukan oleh jaringan peneliti dunia.
"Memang isu paracetamol itu kan nggak hanya sekarang, 2 tahun lalu pernah ada rilis dari jaringan peneliti dunia soal kandungan paracetamol di Citarum yang katanya melebihi apa yang ada di Teluk Jakarta. Tahun 2022 itu jaringan peneliti dunai meneliti limbah Paracetamol di 252 sungai sedunia, salah satunya di Indonesia yang dilakukan oleh ITB. Waktu itu mereka ambil sampel di beberapa badan air," kata Tim Ahli Stakeholder Engagement Satgas Citarum Taufan Suranto saat dihubungi, Selasa (9/7/2024).
Taufan menuturkan, metodologi penelitian yang dilakukan oleh ITB pada 2022 dengan BRIN berbeda. Menurutnya BRIN hanya mengambil sampel data dari pengguna obat-obatan (masyarakat) di sekitar DAS Citarum Hulu. Sementara ITB ketika itu, meneliti langsung bagian air Citarum di salah satu titik.
"Yang sekarang oleh BRIN itu sebenernya metodologi berbeda, yang BRIN lakukan hari ini mereka mengambil sampel data dari pengguna obat-obatan, masyarakat yang ada di DAS Citarum. Jadi daratnya, disitu disebutkan para pengguna obat dan dicapai data konsumsi sekian ton per tahun," ujarnya.
Namun selain dari pengguna obat-obatan, kontaminasi paracetamol dan amoxilin di Sungai Citarum bisa juga berasal dari bahan aktif obat yang masuk seperti dari kegiatan peternakan, hingga kebocoran pengolahan limbah industri farmasi atau rumah sakit.
"Tapi kemudian BRIN memprediksi ada yang masuk ke Citarum dan dianalisis lagi bukan hanya dari konsumsi, tapi juga dari limbah peternakan, kebocoran limbah industri bisa jadi industri farmasi di Bandung Raya," katanya.
Namun Taufan menyayangkan persepsi yang muncul akibat dari penelitian BRIN yang menyebutkan pencemaran terjadi di Sungai Citarum. Padahal menurutnya, melihat rilis penelitian BRIN, penelitian dilakukan bukan kepada bidang air, melainkan pengguna obat yang memungkinkan membuat air sungai terkontaminasi bahan aktif.
"Yang jadi ramai itu kan DAS Citarum dari lima kabupaten hulu, Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Sumedang, jadi seolah-olah itu cemaran di sungai padahal itu bukan. Tapi pencemaran di sungai sudah keluar 2022 oleh ITB dan itu memang ada kandungannya," ungkap Tuafan.
Bakal Bertemu ITB dan BRIN
Taufan juga mengungkapkan, Satgas Citarum Harum akan mengagendakan pertemuan dengan ITB dan BRIN untuk membahas kontaminasi paracetamol dan amoxilin tersebut. Menurutnya perlu ada diskusi lanjutan untuk menentukan langkah penanganan ke depan.
"Yang ingin disampaikan bahwa ada kondisi data yang harus diperjelas lagi antara BRIN dan ITB dulu. Kita akan diskusikan ini, karena dampak paracetamol, antibiotik ke biota air akan berdampak pada ekosistemnya tapi jangka panjang," tuturnya.
"Jadi satgas akan mempertemukan peneliti ITB dan BRIN untuk mencari base datanya," imbuhnya.
Belum Ada Aturan Ambang Batas
Lebih lanjut, Taufan menyebut saat ini belum ada aturan untuk mengukur ambang batas pencemaran paracetamol dan amoxilin. Dia mengatakan, aturan ambang batas penting dibuat untuk mengukur sejauh mana tingkat kontaminasi air Sungai Citarum terhadap dua bahan aktif obat itu.
"Paracetamol atau produk spesifik di aturan kita tidak ada ambang batasnya. Yang ada itu obat secara umum sehingga ketika kita akan memantau, kita tidak bisa mengetahui apakah melebihi ambang batas atau belum. Jadi ini kesulitan kita kalau ditanya apakah itu berbahaya atau biasa saja, kita gak punya karena ambang batasnya tidak ada," ucapnya.
"Yang kita dorong kalau ini jadi isu penting, pemerintah harus membuat ambang batas dimasukkan ke aturan supaya gak terjadi ke depan kontaminasi," tutup Taufan.
(bba/mso)