Hiruk pikuk penerimaan peserta didik baru (PPDB) di tingkat SD, SMP dan SMA berbanding terbalik dengan mekanisme PPDB di SLB. Sekolah para penyandang disabilitas itu relatif sepi. Pihak sekolah justru sedang memutar otak untuk mencari siswa yang mau sekolah, karena siswa baru di SLB sangat minim.
"Baru tiga orang yang daftar di tahun ajaran 2024/2025, tahun ini sedang sepi. Kalau tahun lalu ada 11 murid baru," kata Tata Tajudin Kepala SLB Insan Sejahtera Tasikmalaya belum lama ini.
Kondisi itu membuat Tata dan guru-guru melakukan aksi jemput bola atau mendatangi anak-anak disabilitas untuk mau bersekolah. Menurut Tata animo para orang tua anak disabilitas untuk menyekolahkan anaknya relatif minim. Padahal menurut dia, mendapatkan pendidikan adalah hak anak-anak, termasuk anak disabilitas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Minimnya Pendaftar Sekolah Swasta di Jabar |
"Ada stigma di masyarakat bahwa anak disabilitas itu dianggap beban keluarga, sehingga tak sedikit orang tua mengabaikan hak anaknya untuk mendapatkan pendidikan," kata Tata seraya menyebut di sekolahnya saat ini memiliki total anak didik sebanyak 80 orang.
Hal serupa juga terjadi di SLB Lestari Cieunteung Tasikmalaya, SLB swasta ini baru mendapatkan dua peserta didik baru.
"Sekolah saya baru dapat dua orang siswa, tidak masalah kondisi ini sudah biasa bagi SLB," kata Aris Rahman Kepala SLB Lestari.
Selain soal minimnya peserta didik, Aris mengatakan, saat ini juga tengah menghadapi minimnya guru dengan kualifikasi pendidikan luar biasa. "Mencari guru dengan kualifikasi S1 PLB sulit sekali, apa lagi untuk diajak mengajar di SLB swasta yang tentu saja kesejahteraannya jauh dari harapan," kata Aris.
Kondisi minim peserta didik di PPDB SLB, terjadi juga di SLB Negeri Tamansari. Menurut Kepala SLB Negeri Tamansari, sampai saat ini pihaknya baru menerima 8 anak didik baru. "Di SLB Negeri Tamansari juga sampai sekarang baru 8 orang," kata Iyan Yulianti Kepala SLB Negeri Tamansari.
Iyan menjelaskan, mekanisme PPDB di SLB berbeda dengan sekolah umum. PPDB SLB dibuka tanpa batas waktu pendaftaran. SLB selalu bisa menerima peserta didik baru sepanjang tahun.
Berkaca dari tahun-tahun sebelumnya, peserta didik baru untuk SLB biasanya terjadi setelah pembelajaran di sekolah umum mulai berjalan. "Biasanya setelah sekolah umum mulai berjalan, satu atau dua minggu, biasanya anak-anak disabilitas mulai berdatangan ke SLB," kata Iyan.
Hal itu dipicu karena keinginan sekolah dari anak-anak disabilitas yang melihat saudaranya atau teman-temannya bersekolah. Selain itu diakibatkan anak yang sebenarnya berkebutuhan khusus dipaksakan masuk sekolah umum.
"Tak sedikit orang tua yang memaksakan anak berkebutuhan khusus ke sekolah umum. Setelah berjalan dan menyadari kondisi anaknya, barulah dipindahkan ke SLB," kata Iyan.
Ketiga Kepala SLB itu mengatakan pihaknya tidak menarik iuran bulanan kepada anak didik. Bahkan saat pendaftaran pun, orang tua siswa tidak dikenakan tarif biaya masuk. Kalau pun ada orang tua yang memberi, besarannya disesuaikan dengan kemampuan atau seikhlasnya.
Untuk menopang beban operasional itu, baik SLB negeri maupun swasta mendapatkan bantuan dana BOS dari pemerintah. Dengan bantuan pemerintah itu akhirnya para pengelola SLB itu bisa tetap memberikan pelayanan.
"Sekolah gratis ini juga sebagai upaya agar orang tua mau menyekolahkan anaknya yang disabilitas ke SLB," kata Aris.
Tata Tajudin menambahkan, target anak disabilitas bersekolah targetnya bukan memiliki kompetensi, tapi lebih kepada kemandirian. Dengan sekolah anak disabilitas diharapkan bisa mandiri, minimal bisa mengurus dirinya sendiri.
"Setelah mampu mengurus dirinya sendiri, jika memungkinkan mereka diberi keterampilan, istilahnya vokasi," kata Tata.
Baca juga: Lolongkrang 'Rejeki' Sajeroning PPDB Zonasi |
Salah satu buktinya adalah 4 orang disabilitas, lulusan tiga SLB itu bisa masuk ke dunia kerja. Mereka mampu bekerja di sebuah cafe di Jalan Wiratanuningrat Tasikmalaya.
Penyandang tuna rungu dan tuna grahita itu mampu menempati posisi pelayan cafe dan pengatur tamu. Dede Redi pengusaha cafe yang mempekerjakan pemuda disabilitas itu mengaku memberikan ruang bagi kalangan disabilitas sebagai bentuk kepedulian. "Banyak yang harus kita bantu, artinya banyak juga jalan bagi kita mencari pahala," kata Dede Redi.
Meski demikian Dede tak menampik jika ada sedikit tantangan ketika mempekerjakan disabilitas. "Ya pernah ada komplain, pelayan kurang sopan, karena dipanggil tidak menjawab, kemudian saat membereskan gelas tak bicara dulu. Ya kan mereka tuna grahita, tapi setelah dijelaskan konsumen malah berbalik simpati," kata Dede.
(mso/mso)