- Larangan dan Mitos Malam 1 Suro 1. Larangan Keluar di Malam Hari 2. Tidak Boleh Mengadakan Pesta atau Hajatan 3. Tidak Boleh Berbicara atau Berisik 4. Dilarang Berkata Kasar atau Buruk 5. Dilarang Pindahan atau Membangun Rumah
- Pendapat Ulama Tentang Malam Satu Suro
- Hal yang Bisa Dilakukan Pada Bulan Muharram atau Bulan Suro 1. Berpuasa di Bulan Muharram 2. Banyak Berpuasa dan Tidak Sebulan Penuh 3. Puasa Asyura dan Tasu'a
Malam satu suro lekat dengan tradisi turun-temurun masyarakat suku Jawa yang masih berpegang pada tradisi para leluhur. Masyarakat suku Jawa menghindari hal-hal besar yang menyangkut kehidupan mereka dalam bulan tersebut.
Di Jawa Barat, bulan Muharram ini juga dulu disebut bulan Kapit atau Apit karena terjepit di antara Lebaran Syawal dan Lebaran Haji. Sama dengan masyarakat suku Jawa (Timur, Tengah, dan sekitarnya), sempat muncul anggapan bahwa bulan ini adalah bulan yang tidak membawa keberuntungan.
Apa saja larangan dan mitos malam satu suro? Lalu bagaimana pandangan dari para ulama soal mitos adanya hari dan bulan tersebut? Simak berikut rangkumannya dari Kanal Youtube resmi Ponpes Al-Bahjah Cirebon Al-Bahjah TV, laman Rumaysho, dan literatur lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Larangan dan Mitos Malam 1 Suro
Mayoritas masyarakat muslim Jawa mempercayai adanya sejumlah pantangan untuk melakukan kegiatan penting di bulan Suro, khususnya pada tanggal 1 Suro. Bahkan, 1 Muharram atau 1 Suro Jawa yang dimulai pada hari Jumat Legi juga turut dikeramatkan. Sebab ada mitos anggapan hari itu akan membawa sial, kalau ada orang yang memanfaatkan hari tersebut di luar kepentingan mengaji, ziarah, dan haul.
Masyarakat Jawa seringkali menyambut tradisi ini dengan suasana atau nuansa yang sakral dan hikmat. Tradisi Malam Satu Suro tentunya tidak terlepas dari mitos-mitos dan kepercayaan yang beredar di masyarakat. Namun, mitos dan kepercayaan yang muncul di masyarakat pun berbeda beda di setiap daerah.
Berikut sejumlah mitos dan larangan malam 1 suro dikutip detikHikmah dari Makna Komunikasi Ritual Masyarakat Jawa (Studi Kasus pada Tradisi Perayaan Malam Satu Suro di Keraton Yogyakarta, Keraton Surakarta, dan Pura Mangkunegaran Solo), Vol. 1, No. 1, March 2024, karya Galuh Kusuma Hapsari:
1. Larangan Keluar di Malam Hari
Pada Malam Satu Suro, masyarakat lebih memilih berdiam diri di rumah, terutama saat malam. Mitosnya, diyakini malam itu akan mendatangkan kesialan atau hal negatif.
2. Tidak Boleh Mengadakan Pesta atau Hajatan
Banyak orang menghindari mengadakan acara seperti pernikahan atau sunatan di bulan Suro karena dianggap pamali dan membawa bencana. Padahal sejatinya, dalam Islam tidak ada aturan mengenai waktu yang tepat untuk menikah, termasuk di bulan Muharram.
3. Tidak Boleh Berbicara atau Berisik
Salah satu ritual yang dilakukan di Malam Satu Suro adalah Mubeng Benteng dan Tapa Bisu, yaitu tidak berbicara. Ritual ini hanya ada di Keraton Yogyakarta.
4. Dilarang Berkata Kasar atau Buruk
Saat Malam Satu Suro, ada larangan untuk berbicara hal-hal buruk atau kasar. Diyakini bahwa jika tidak menjaga lisan dan berkata buruk, hal tersebut akan menjadi kenyataan.
Hal ini juga dikaitkan dengan kepercayaan sebagian orang Jawa terhadap keberadaan makhluk gaib di bulan Suro, yang akan mencari manusia yang lalai dalam ingat dan waspada (eling lan waspada).
5. Dilarang Pindahan atau Membangun Rumah
Pindahan atau membangun rumah tidak disarankan pada malam 1 Suro. Mitosnya, diyakini hari itu dapat mendatangkan kesialan.
Pendapat Ulama Tentang Malam Satu Suro
Prof KH Yahya Zainul Ma'arif atau akrab disapa Buya Yahya, pengasuh Lembaga Pengembangan Da'wah dan Pondok Pesantren Al-Bahjah Cirebon menjelaskan pandangan malam satu suro dalam Kanal Youtube resmi Ponpes Al-Bahjah Cirebon, Al-Bahjah TV.
Pada program Buya Yahya Menjawab, ia menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia khususnya Jawa, kerap menganggap bulan Muharram atau Suro adalah bulan keramat. Pada momen tertentu itu, mereka menghentikan hal yang bersifat hajatan besar, perjalanan jauh,dan dianggap hari nahas atau hari sial.
"Dalam Hadits Qudsi, Allah itu senang dengan yang berprasangka baik supaya dapat kebaikan. Hari Allah semuanya baik, hari jelek hanya ada satu, yakni saat anda bermaksiat. Menikah itu hari baik, syukuran. Nggak tahu kenapa, di Jabar juga ada Bulan Kapit, di Jatim ada Bulan Suro yang dianggap malapetaka, padahal kebalikannya, yakni bulan penuh rahmat," ucap Buya Yahya.
"Dari 12 bulan Allah, empat di antaranya bulan haram salah satunya adalah Muharram, itu adalah bulan yang dimuliakan, bukan bulan petaka. Ndak ada itu, jangan dipercaya. Itu adalah suudzon pada Allah. Bulan Muharram itu justru istimewa, malah lakukan puasa. Sebaik-baik puasa setelah Bulan Ramadhan adalah di Muharram. Dulu Nabi menyuruh para sahabat berpuasa, 10 Muharram hendaknya puasa. Sunnah berpuasa di 9 atau 11 Muharram untuk membedakan hari agung kaum Yahudi. Wallahu A'lam bishawab," lanjutnya.
Serupa dengan pendapat Ustad Muhammad Abduh Tuasikal, Pimpinan Ponpes Darush Sholihin dalam laman Rumaysho menyebut dalam agama ini, bulan Muharram (dikenal oleh orang Jawa dengan bulan Suro), merupakan salah satu di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram. Allah Ta'ala berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ
"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu." (QS. At Taubah: 36)
Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo'dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya'ban." (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679)
Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya'la rahimahullah mengatakan:
"Dinamakan bulan haram karena dua makna. Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian. Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan."
Namun, bulan Suro atau Muharram lekat juga dengan tanggapan negatif sebagian orang. Beberapa daerah punya ritual untuk menghindari kesialan, bencana, musibah dilakukan oleh mereka.
"Karena bulan ini adalah bulan sial, sebagian orang tidak mau melakukan hajatan nikah, dsb. Jika melakukan hajatan pada bulan ini bisa mendapatkan berbagai musibah, acara pernikahannya tidak lancar, mengakibatkan keluarga tidak harmonis. Ketahuilah saudaraku bahwa sikap-sikap di atas tidaklah keluar dari dua hal yaitu mencela waktu dan beranggapan sial dengan waktu tertentu. Karena ingatlah bahwa mengatakan satu waktu atau bulan tertentu adalah bulan penuh musibah dan penuh kesialan, itu sama saja dengan mencela waktu. Perlu kita ketahui bersama bahwa mencela waktu adalah kebiasaan orang-orang musyrik," tulis Ustad Muhammad Abduh.
Ustad Muhammad Abduh pun mengungkap bahwa setiap kesialan atau musibah yang menimpa, sebenarnya bukanlah disebabkan oleh waktu, orang, atau tempat tertentu. Namun, semua itu adalah ketentuan Allah Ta'ala Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya.
Hal yang Bisa Dilakukan Pada Bulan Muharram atau Bulan Suro
Ustad Muhammad Abduh Tuasikal menuliskan dalam lamannya bahwa Bulan Muharram adalah Syahrullah (Bulan Allah). Hal ini sebab Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
Artinya: "Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam." (HR. Muslim no. 2812)
"Bulan Muharram betul-betul istimewa karena disebut syahrullah yaitu bulan Allah, dengan disandarkan pada lafazh jalalah Allah. Karena disandarkannya bulan ini pada lafazh jalalah Allah, inilah yang menunjukkan keagungan dan keistimewaannya," tulis Ustad Muhammad Abduh.
Ia juga mengutip pernyataan dari Al Hafizh Abul Fadhl Al 'Iroqiy yang mengatakan dalam Syarh Tirmidzi:
"Apa hikmah bulan Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah), padahal semua bulan adalah milik Allah?"
Beliau rahimahullah menjawab, "Disebut demikian karena di bulan Muharram ini diharamkan pembunuhan. Juga bulan Muharram adalah bulan pertama dalam setahun. Bulan ini disandarkan pada Allah (sehingga disebut syahrullah atau bulan Allah, pen) untuk menunjukkan istimewanya bulan ini. Dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menyandarkan bulan lain pada Allah Ta'ala kecuali bulan Allah (yaitu Muharram)."
Berikut beberapa hal yang justru dianjurkan dalam mengisi bulan Muharram:
1. Berpuasa di Bulan Muharram
Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam mendorong umatnya banyak melakukan puasa pada bulan tersebut. Dari sebulan itu, puasa yang paling ditekankan untuk dilakukan adalah puasa pada hari Asyura yaitu pada tanggal 10 Muharram.
Berpuasa pada hari tersebut akan menghapuskan dosa-dosa setahun yang lalu. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata:
"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa Arafah? Beliau menjawab, "Puasa Arafah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang." Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa 'Asyura? Beliau menjawab, "Puasa 'Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu."
Seperti dalam penjelasan Buya Yahya, bahwa Nabi menyuruh para sahabat berpuasa pada tanggal 10 Muharram. Sunnah berpuasa di 9 atau 11 Muharram untuk membedakan hari agung kaum Yahudi.
"Intinya, kita lebih baik berpuasa dua hari sekaligus yaitu pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Karena dalam melakukan puasa 'Asyura ada dua tingkatan yaitu: [1] Tingkatan yang lebih sempurna adalah berpuasa pada 9 dan 10 Muharram sekaligus, dan [2] Tingkatan di bawahnya adalah berpuasa pada 10 Muharram saja," tulis Ustad Muhammad Abduh.
2. Banyak Berpuasa dan Tidak Sebulan Penuh
Umat muslim dianjurkan memperbanyak puasa pada bulan Muharram. Berpuasalah sesuai kemampuannya, dan tidak berpuasa Muharram sebulan penuh. 'Aisyah radhiyallahu 'anhu berkata:
وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلاَّ رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ فِى شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامًا فِى شَعْبَانَ
Artinya: "Aku tidak pernah melihat Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan. Aku tidak pernah melihat beliau banyak puasa dalam sebulan selain pada bulan Sya'ban." (HR. Muslim no. 1156).
3. Puasa Asyura dan Tasu'a
Dari sekian hari di bulan Muharram, yang lebih afhol adalah puasa hari 'Asyura, yaitu pada 10 Muharram. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata:
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ ». قَالَ وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
Artinya: "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa Arafah? Beliau menjawab, "Puasa Arafah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang." Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa 'Asyura? Beliau menjawab, "Puasa 'Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu." (HR. Muslim no. 1162)
Namun, puasa Asyura bersifat sunnah, artinya jika tidak mampu maka tidak perlu dipaksakan untuk dilakukan. Seperti sabda Rasul berikut:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِصِيَامِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ وَمَن شَاءَ أَفْطَرَ
Artinya: "Dahulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk berpuasa Asyura, tatkala puasa Ramadhan diwajibkan, maka bagi siapa yang ingin berpuasa puasalah, dan siapa yang tidak ingin, tidak usah berpuasa" [Hadits Riwayat Bukhari 2001]
Umat muslim juga dianjurkan berpuasa pada hari sebelumnya, yaitu berpuasa pada hari kesembilan (tasu'a). Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata bahwa ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan puasa hari 'Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada yang berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى.
Artinya: "Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani." Lantas beliau mengatakan,
فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ - إِنْ شَاءَ اللَّهُ - صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ
Artinya: "Apabila tiba tahun depan -insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan." Ibnu Abbas mengatakan,
فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
Artinya: "Belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sudah keburu meninggal dunia." (HR. Muslim no. 1134)
Nah detikers, itulah tadi penjelasan mengenai larangan dan mitos di malam satu suro serta pandangan dari ulama. Di bulan ini hendaknya kita selalu mengisi dengan hal-hal yang disenangi Allah dan selalu berprasangka baik pada-Nya. Wallahualam bishawab.
(aau/tey)