Asa Siska Nirmala Kurangi Sampah Lewat Toko Kelontong Tanpa Kemasan

Kota Bandung

Asa Siska Nirmala Kurangi Sampah Lewat Toko Kelontong Tanpa Kemasan

Naufal Nabilludin - detikJabar
Minggu, 30 Jun 2024 15:00 WIB
Siska Nirmala, pemilik Toko Nol Sampah yang juga pegiat lingkungan.
Siska Nirmala dan Perjuangannya Mengurangi Sampah Plastik Lewat Toko Nol Sampah. (Foto: Wisga Putra Julian/detikJabar)
Bandung -

Toko Nol Sampah di Jalan Bima No. 40, Cicendo, Kota Bandung, Jawa Barat, tidak menyerupai toko konvensional. Tidak ada plang nama atau identitas yang mencolok, hanya terlihat seperti rumah sederhana dengan pagar hijau diapit oleh pohon mahoni besar di depannya.

Di dalam, puluhan stoples bening berisi berbagai bumbu dan camilan tersusun rapi di rak kayu yang menempel di berbagai sisi ruangan berukuran 6 meter x 4 meter. Meskipun sederhana, pemiliknya, Siska Nirmala (37), memiliki harapan besar untuk menjadikan Toko Nol Sampah sebagai sistem pendukung bagi mereka yang menerapkan gaya hidup nol sampah.

Kesulitannya dalam membeli bumbu-bumbu tanpa kemasan menjadi inspirasi bagi Siska untuk mendirikan toko ini, yang telah ia lakukan sejak tahun 2010. "Inisiatif aku bikin Toko Nol Sampah itu untuk bikin supporting system sebetulnya, terutama untuk diri sendiri dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dan jadi supporting system buat orang-orang yang juga sudah menerapkan gaya hidup zero waste," kata Siska saat ditemui di Toko Nol Sampah beberapa waktu lalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Impiannya membuat toko bebas sampah itu sudah ada sejak tahun 2016 silam, namun baru bisa diwujudkan empat tahun kemudian pada September 2020. Siska memulainya hanya dengan satu rak yang ditaruh di ruang tamu rumahnya. Motivasinya pada saat itu adalah membuat solusi dari keresahannya dan orang-orang yang sulit berbelanja dengan kemasan ramah lingkungan.

"Sejak awal buka, aku mau bikin solusi, bukan untuk cari profit (keuntungan) meskipun profit tetap harus ada supaya bisnisnya berjalan. Bahkan ketika bikin toko ini aku sudah bersiap diri 3 tahun pertama nggak boleh berharap profit," ungkapnya.

ADVERTISEMENT

Saat awal membuka toko, Siska tidak menjual banyak produk, ia hanya menjual kebutuhan bumbu dapur kering seperti garam, merica, ketumbar, kunyit dan lainnya yang menjadi kebutuhan sehari-hari banyak orang. Yang terpenting baginya adalah memulai terlebih dahulu dengan konsep toko kelontong curah yang ramah lingkungan.

Seiring berjalannya waktu dan pelanggan semakin banyak, Siska menambah etalasenya dengan berbagai barang yang diperlukan pelanggannya, seperti coklat, almond panggang, mix nuts, gluten, aneka pasta, kue-kue kering hingga buah lerak yang digunakan untuk bahan pencuci ramah lingkungan.

"Yang dijual di Toko Nol Sampah memang yang dicari sama teman-teman yang suka datang ke sini. Jadi pelan-pelan banget aku tambahin produknya sampai sekarang sudah lumayan banyak," jelas Siska.

Selain ramah lingkungan, produk-produk yang dijualnya menciptakan ekonomi sirkular bagi para pelaku UMKM lokal. Konsep toko curah memberikan peluang dan kemudahan bagi para penyuplai dalam mendistribusikan barang dagangannya. "Banyak pelaku usaha yang tertarik menjual produknya secara curah. Yang biasanya harus dalam kemasan, kami membelinya dalam bentuk curah," kata Siska.

Konsumen yang datang hanya cukup membawa wadah sendiri untuk berbelanja di Toko Nol Sampah. Bagi konsumen yang tidak membawa wadah, disediakan wadah hasil donasi dari konsumen yang lain. Dengan sistem seperti itu, baik produsen, distributor, dan konsumen dapat mengurangi sampah plastik dari hulu ke hilir.

Siska mengupayakan produk-produk yang dijualnya diambil dari supplier lokal dan tidak menjual produk impor. Produk seperti coklat, pasta dan yang lain diperolehnya langsung dari produsen di Bandung. Walaupun masih ada beberapa produk yang ia ambil dari luar kota. "Rata-rata dari UMKM atau start up kecil lokal yang mereka baru membangun. Jadi, kita saling dukung supaya sistem ekonomi sirkularnya terbangun," tambah Siska

Menjawab Persoalan untuk Tetap Bertahan

Tiga tahun berjalan dengan segala dinamikanya, Siska mengaku tidak mudah untuk tetap bertahan di tengah banyaknya toko dengan konsep serupa gulung tikar. Berbagai cara ia lakukan untuk membuat tokonya tetap bertahan.

Resepnya bertahan adalah berkolaborasi dengan komunitas terutama komunitas pegiat lingkungan. Tanpa ia pungkiri, tokonya mulai dikenal dari mulut ke mulut dan menyebar dari satu komunitas ke komunitas yang lain.

Dari kolaborasi dengan banyak komunitas itu, Siska melihat ada masalah yang harus dijawab. Misalnya ketika komunitas yang membahas tentang zero waste namun makanan yang disediakan masih menggunakan snack box yang terdapat plastik.

"Dari masalah itu, kita bantu buat menyediakan makanan yang ramah lingkungan tanpa sampah plastik, kalau pun ada sampah organiknya, kita bantu kelola. Ini sudah berjalan hampir setahun terakhir dan menjadi salah satu lini bisnis kita," ungkap Siska.

Siska percaya, bisnis yang bagus adalah bisnis yang berusaha menjawab masalah dengan solusi yang dihadirkan. Ia menjadikan Toko Nol Sampah bukan hanya sekedar proses jual beli, namun sebagai tempat untuk saling tukar cerita.

Kedekatan dengan pelanggan menjadi kuncinya. Siska berusaha menghadirkan solusi dari permasalahan yang ditangkap dari pelanggannya, misalnya dengan menjualkan barang bekas layak pakai titipan pelanggan, membuat kompos komunal hingga membuka donasi untuk kantung kain dan wadah jar kaca. "Aku selalu berharap Toko Nol Sampah ini akan selalu jadi bagian dari solusi yang dibutuhkan warga Bandung untuk membantu mereka meminimalisir sampah," tambahnya.

Menurut Siska, peluang bisnis yang ramah lingkungan seperti tokonya ini punya peluang yang besar seiring dengan kesadaran orang terhadap kerusakan lingkungan meningkat. "Kebanyakan memang generasi Milenial dan Gen Z, ibu-ibu muda yang baru menikah. Mereka yang sudah sadar dan merasakan dampak dari kerusakan lingkungan akhirnya mulai memilih gaya hidup sehat dan zero waste," ujarnya.

Perjalanan Siska Memilih Gaya Hidup Nol Sampah

Ketertarikan Siska Nirmala terhadap isu sampah berawal ketika ia mendaki gunung Rinjani, Nusa Tenggara Timur pada tahun 2010. Bukan hanya pemandangan gunung yang indah dengan langit biru yang didapatkan, namun juga sampah-sampah pendaki yang berceceran di jalur pendakian.

"Naik gunung kan sebenarnya kegiatan alam yang seharusnya kita jaga, tapi kenapa malah banyak sampah. Dari situ muncul semacam kegelisahan, aku berpikir 'bagaimana caranya aku bisa tetap berkegiatan di alam bebas, tapi gak menghasilkan sampah'. Sejak saat itu mulai tertarik dengan isu sampah," ujarnya mengenang kejadian 14 tahun yang lalu.

Sebelum mendaki gunung Rinjani, di tahun yang sama, Siska juga sudah dapat paparan tentang gaya hidup zero waste dari para pegiat lingkungan di Yayasan Pendidikan Biosains dan Bioteknologi (YPBB) Bandung.

"Dapat banyak informasi soal pengelolaan sampah dari teman-teman YPBB Bandung. Tapi sampai benar-benar tergerak soal isu sampah ketika naik Gunung Rinjani itu," tambahnya.

Dari permasalahan itu, Siska mencoba menjawab kegelisahannya dengan menerapkan konsep nol sampah ketika naik gunung. Konsep itu ia wujudkan lewat Ekspedisi Nol Sampah yang dilakukannya pada tahun 2012-2015.

Dalam rentang waktu 3 tahun itu, Siska berhasil mendaki 5 gunung tanpa menghasilkan sampah. Di antaranya adalah Gunung Gede, Papandayan, Tambora, Lawu dan Argopuro. Perjalanannya itu ia abadikan dalam bentuk tulisan yang kemudian dikumpulkan dan diterbitkan dengan judul "Zero Waste Adventure". "Tujuan utama Ekspedisi Nol Sampah itu untuk menjawab 'bisa gak sih naik gunung tanpa menghasilkan sampah sama sekali' dan aku membuktikannya dalam 5 gunung itu bisa," ujarnya.

Siska dengan zero waste adventure-nya semakin dikenal. Banyak orang dan komunitas ingin meniru konsep petualangannya. Tahun 2019, Siska membuat pelatihan mengenai zero waste adventure dengan total 10 pertemuan di 8 daerah di Jawa dan Bali.

Lebih dari 500 orang dari puluhan komunitas dan organisasi dengan latar belakang yang berbeda-beda mengikuti pelatihan zero waste adventure. Puncak dari pelatihan itu kegiatan yang bertajuk "Zero Waste Adventure Camp" pada September 2019 di Curug Layung, Bandung. "Inti dari acara itu adalah kita bisa berkegiatan di alam bebas tanpa menghasilkan sampah sama sekali. Dan itu terbukti, dari 125 peserta hanya menghasilkan sampah organik 21,3 kg yang dikompos di lokasi bareng-bareng," katanya.

Di tahun 2024, kegiatan Zero Waste Adventure Camp kembali digelar di Taman Nasional Gunung Merbabu. Yang berbeda dari acara yang kedua ini adalah Zero Waste Adventure Camp menjadi bagian dari program Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada peringatan Hari Peduli Sampah Nasional. "Aku merasa bahwa sesuatu yang kita lakukan secara individu sebenarnya punya peran yang besar dan bisa berdampak lebih luas bahkan sampai didengar pemerintah," ujarnya.

Konsep Nol Sampah yang sudah menjadi gaya hidupnya, ia tularkan ke banyak orang dengan berbagai cara. Lewat Ekspedisi Nol Sampah, Zero Waste Adventure Camp, dan Toko Nol Sampah Siska mengajak semua orang untuk peduli dan berbenah diri dalam mengelola sampah

(iqk/iqk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads