Di era tahun 90-an sampai 2000-an, Jalan Cihampelas Kota Bandung pamornya begitu tenar. Kalangan anak muda atau keluarga, dari warga lokal maupun wisatawan luar kota, pasti datang ke Jalan Cihampelas untuk berburu aneka fashion seperti jeans, baju, hingga souvenir Kota Bandung.
Pertokoan itu juga dulu punya ciri khas yakni patung-patung karakter super hero yang terpampang di muka toko sehingga menarik perhatian para pengunjung. Tapi sejak adanya pembangunan Teras Cihampelas dan pasca pandemi COVID-19 merebak, wajah dan nasib Jalan Cihampelas tak lagi sama.
Dari sekian banyak pertokoan fesyen di Kota Bandung, hanya segelintir yang sanggup berjuang. Salah satunya Perahu Jeans Fashion Outlet yang terletak di Jalan Cihampelas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat pertokoan yang lain tak sanggup mempertahankan patung karakter superheronya karena berada di bahu jalan, factory outlet satu ini masih tampil dengan ciri khasnya yakni bentuk bangunannya yang mirip perahu. Andri (35), Kepala Toko Perahu Jeans masih ingat betul bagaimana kala itu Jalan Cihampelas begitu berjaya.
Pada tahun 2008, setelah dia menyelesaikan sekolah SMA, ia memutuskan melamar di toko yang menurutnya saat itu sedang beken-bekennya. Andri muda pun kerap nongkrong dan cuci mata di pertokoan Cihampelas kala itu.
"Saya dari lulus SMA, sempet magang, terus dapet kabar lowongan di sini jadi saya daftar. Sampai sekarang masih bertahan, sudah 16 tahun. Dulu itu hits banget, iya makanya saya lamar ke sini, terus dulu itu belum ada saingan ibaratnya di sini itu fashion yang terbaik dan terjangkau," cerita Andri.
Dari pelanggan setia yang naik angkot sampai yang bermobil, semua belanja dan cuci mata di Cihampelas. Kata Andri, tokonya masih terbilang ramai sebelum COVID-19. Pandemi betul-betul mengubah banyak hal, hingga toko itu pun sempat tutup.
Bahkan sampai kini, kata Andri, Cihampelas tak lagi sama. Traffic penjualan dari tahun ke tahun semakin menurun. Pelanggannya cenderung itu-itu melulu, tak selalu dapat pelanggan turis luar kota.
"Sebelum COVID itu masih ramai. Karena kan belum ada belanja online, pariwisata juga belum terbuka, jadi pada ke Cihampelas larinya terus ke fashion. Dulu belum ada saingan, cuma di sini fashion terbaik," kenangnya.
"COVID-19 itu betul-betul rata, pada tutup semua, sini juga. Wisata juga loyo sampai tiga tahunan kan itu. Sekarang kita online mulai merintis tapi saingannya memang banyak. Orang sudah karena keuangannya menurun, jadi carinya yang murah. Paling yang ke sini itu yang sudah langganan, atau turun temurun sekarang ngajak anaknya," lanjut Andri.
Nasib Cihampelas
Nyatanya, pembangunan Teras Cihampelas yang diresmikan pada awal tahun 2017, tak lagi membawa angin segar bagi para pedagang di sana. Hal ini bukan cuma dialami oleh pertokoan besar, tapi malah dampak paling besar dialami oleh pedagang kaki lima (PKL) sekitar.
Tahun itu, puluhan PKL yang mulanya dagang di tepi jalan, direlokasi ke Teras Cihampelas. Sayang sejak pandemi COVID-19, kios-kios itu sempat tutup dan Teras Cihampelas pun mati suri.
Berkali-kali reaktivasi, berulang kali dipercantik, Teras Cihampelas tak ada perubahan. Pantauan detikJabar pada Kamis (27/6/2024), wajahnya masih sepi. Hanya satu dua pejalan kaki yang mampir ke Teras Cihampelas.
Kondisinya pun terlihat tak terawat. Hanya warnanya saja yang cantik, namun banyak hal yang terkesan tak diperhatikan. Seperti tiga buah toilet yang semuanya tak berfungsi, lantai kayu yang sudah mulai keropos, kios PKL yang justru jadi sasaran vandalisme, hingga lift yang masih tak berfungsi.
Keluh kesah diceritakan Teten (53), warga asli sekitar Cihampelas yang sejak tahun 1993 dagang aneka aksesoris di tepi jalan. Ia ikut dipindah ke Teras Cihampelas dengan dagangannya yakni aneka baju, celana, kemeja, dan kacamata.
Masih terkenang di benaknya bagaimana nasibnya berbanding terbalik setelah ikut berjualan di atas. Teten memilih tetap berjualan di Teras Cihampelas meski ia tahu tak bakal ada pembeli.
"Dulu itu banyak yang terkenal, ada Rambo Jeans sekarang sudah tutup, terus toko-toko yang ada superhero. Saya itu dulu tahun 2000 awal di hari sepi kayak gini aja bisa dapat Rp500 ribu 1-2 hari. Weekend itu sampai kaos tinggal satu, Rp10 juta lebih bisa dapet. Terus saya sambil jadi tukang parkir, itu parkir hari biasa bisa dapet Rp80 ribu, weekend Rp300-400 ribu. Itu jaman motor masih Rp500 dan mobil Rp1-3 ribu," kenangnya.
"Saya beruntung masih bisa nabung, bisa sekolahin anak, beli rumah, beli tanah. 2017 kita suruh pindah ke atas, itu masih rame tapi emang menurun, paling dua hari Rp2 juta. Sejak pandemi itu langsung hilang, sampai sekarang itu dibilang tiga tahun cuma dapet Rp700 ribu," sambung Teten.
Ia juga melihat nasib Cihampelas tak lagi sama, tak lagi seramai dulu dan dunia fesyen tak lagi ngehits. Orang-orang lebih memilih pergi ke Cihampelas untuk mengunjungi mall, menginap, atau cari tempat makan. Tidak ada wisatawan yang sengaja mampir ke Cihampelas untuk jalan-jalan deperti dulu.
Teten menyesalkan, pembangunan Teras Cihampelas terkesan stagnan. Tak ada perubahan dan tak ada jaminan bahwa para PKL dapat pelanggan sebanyak dulu. Akhirnya, banyak teman-teman seperjuangannya yang memutuskan untuk gulung tikar, tapi ada juga yang memilih kembali berjualan di bawah.
"Saya nggak ikut ke bawah lah buat apa, sekarang juga udah nggak serame dulu, di sini juga gratis udah disediain tempat. Tapi yang mau saya tanya, ini tuh gimana sih akhirnya? Bukannya kita nggak mau dimanusiakan, tapi kalau nggak dapet duit gimana? Nggak ada yang beli. Dari parkirnya aja deh, sebelum membangun kok nggak dipikirkan orang dateng itu parkirnya di mana? Parkirannya belum disiapkan, tapi ini sudah dibangun," keluh Teten.
"Cihampelas itu dulu banyak fashion jeans, jadi paling murah se-Asia Tenggara, katanya. Tapi sekarang itu rame enggaknya nggak bisa ditebak. Ditambah lagi pengurusnya juga acak-acakan. Lift nggak berfungsi karena katanya nggak kuat bayar beban listriknya. Makanya toilet juga mati karena nggak bisa bayarnya, terus mesin airnya juga sempet dicuri," sambungnya bercerita.
Teten yang merupakan bapak dua orang anak itu kini hanya bisa pasrah dengan keadaannya. Ia terus mencoba berjualan di sana sambil sesekali membantu istrinya yang bekerja di salah satu factory outlet di Jalan Cihampelas.
"Memang di sini itu juga tumpang tindih lah, jadi terlalu banyak saingan dengan barang sama. Akhirnya ada yang dapet, ada yang nggak dapet duit padahal udah keluar modal. Akhirnya pada turun semua. Ya sekarang saya pasrah, rejeki udah diatur Allah, saya sama istri berjuang buat makan sehari-hari, kalau anak semuanya sudah kerja," ucap Teten.
![]() |
Peliknya Problem di Teras Cihampelas
Sementara itu dihubungi detikJabar, Kepala Bidang Usaha Non Formal Diskop UKM Kota Bandung, Evy Oktaviyanti menceritakan saat ini pihaknya terus memproses untuk pendataan total 192 PKL yang bakal menempati kios-kios tersebut. Ia pun menceritakan betapa sulitnya melakukan penataan sebab banyak problem di Teras Cihampelas.
"Jadi kan melihat sejarahnya, ada 192 kios di atas untuk PKL. Faktanya setelah COVID-19 mereka berkurang, terus kami lihat ada kekosongan 140 kios itu kami ambil alih. Nanti akan ditawarkan ke pelaku UMKM lainnya. Nah saat ambil alih, baru terbuka sejarahnya itu banyak yang bukan PKL dari di bawah, tapi warga sekitar Bandung Wetan dan Coblong," kata Evy.
"Jadi sekarang Koperasi Teras akan disolidkan, akan kami berdayakan, jangan disuapin terus, tapi harus mandiri. Kemudian sekarang ini yang aktif ada 29 PKL kuliner dan sovenir. Kami apresiasi sudah ada kemajuan, mereka berusaha bergerak untuk mendatangkan pelanggan masing-masing dan membuat kegiatan," ucapnya.
Evy mengungkap bahwa dulu para PKL terkesan selalu menunggu arahan Pemerintah, namun tak berkreasi demi survive bertahan dengan dagangannya. Ditambah lagi dengan banyaknya oknum tak bertanggung jawab yang melakukan pencurian sehingga membuat Teras Cihampelas tak kondusif.
Selain mengatur penertiban, pendataan, dan penataan, Evy mengaku tengah berkoordinasi agar ke depan Teras Cihampelas dijaga oleh sejumlah petugas dan tak terjadi lagi hal-hal yang tidak diinginkan.
"PKL itu dulu manja, nunggu promosi, nunggu dinas ada acara, sekarang mereka bisa laporan mulai bergerak dan bikin kegiatan supaya lapaknya laku. Ada yang jual ayam geprek terus pakai ojek ember, jadi nganter makanannya pakai tali, itu juga kreatif dan kita apresiasi. Sekarang yang 29 masih bertahan itu mereka sudah bisa berdaya meski tidak setiap hari jualan, karena karakternya Teras Cihampelas itu ramenya weekend," kata Evy.
"Kalau dinas kami kan hanya pemeliharaan, tapi di sana itu masih kurang keamanannya ya, jadi sarpras tidak terjaga. Kemarin kios kosong sudah dicat, ada yang coret-coret lagi, ada penjebolan gembok dan barang pedagang hilang, ini sudah kami laporkan. Kemudian lampu juga sering hilang, Dishub itu sampai capek juga. Jadi ya ke depan akan kami usulkan ada penjaga di beberapa pintu agar nyaman dan kita juga PD dengan Teras Cihampelas. Kita usaha terus," lanjutnya.
(aau/sud)