Tatang, pria tunanetra dari Kecamatan Babakan Ciparay, telah dikenal luas di dunia pendidikan di Kota Bandung. Meski tak bisa melihat, Tatang memiliki mata hati yang mampu melihat dengan terang, terutama dalam memahami kondisi pendidikan di Indonesia, khususnya bagi anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) atau disabilitas seperti dirinya.
Melihat ketimpangan dalam pendidikan bagi disabilitas yang masih kurang layak, Tatang dengan keteguhan dan kesabarannya mendirikan sebuah Sekolah Luar Biasa (SLB) yang dinamai ABCD pada tahun 2003. Sekolah ini dibangun di tempat tinggalnya sendiri di wilayah Caringin, Jalan Holis Gang H Pakih No 67, Kecamatan Babakan Ciparay.
"SLB ini berdiri sejak tahun 2003," kata Tatang membuka perbincangan dengan detikJabar, belum lama ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tatang, lulusan Universitas Padjadjaran tahun 1998, mendirikan SLB ini untuk memfasilitasi disabilitas yang tidak mendapatkan pendidikan layak. Menurutnya, banyak disabilitas yang seharusnya mendapatkan pendidikan pada usia sekolah, namun ditemukan terkatung-katung di jalan, bahkan melakukan pekerjaan yang belum semestinya.
"Nah, karena kami keluarga dari disabilitas netra, jadi ketika di jalan menemukan kawan-kawan anak-anak disabilitasnya hati saya merasakan keresahan, bahwa bagaimana rasanya juga seperti mereka," ujarnya.
"Saya juga merasakan ini, yang nanya disabilitaskan tidak sempurnalah, kebetulan kalau keluarga saya alhamdulillah bapak itu mendukung (untuk bersekolah) karena kalau sayakan ditinggalkan oleh ibu itu ketika usia tiga tahun, jadi diurus sama bapak aja dulu. Nah, banyak tantangan di masyarakat terhadap disabilitas itu, mulai dari menomerduakan, disisihkan, sampai kita dianggap seolah-olah orang yang tidak berguna," ungkapnya.
Meski tak bisa melihat secara langsung, dengan mata hatinya Tatang merasakan banyak anak-anak disabilitas, terutama penyandang tuna grahita, tuna wicara, tuna daksa, dan tuna netra, yang berkeliaran tanpa mendapatkan pendidikan yang layak.
Selain itu, menurut Tatang, pada tahun 2000-an, fasilitas pendidikan seperti SLB yang lokasinya jauh di Pajajaran dan Cicendo belum dapat menjangkau seluruh masyarakat. "Dulu di sini belum ada SLB. SLB baru ada di Pajajaran, jauh dari sini. Ketika saya lulus kuliah, saya berpikir bagaimana caranya supaya bisa menangkap mereka," ujarnya.
Tatang kemudian menemui kakaknya, Ade Daud, yang memiliki latar belakang pendidikan luar biasa dan secara keilmuan mumpuni, cocok dipadukan dengan latar belakang pendidikan Tatang yang merupakan jebolan Antropologi Unpad. Mereka berdua sepakat menggunakan rumah Tatang sebagai tempat pendirian sekolah.
"Akhirnya saya rembuk, yaudahlah rumah saya diadakan untuk dijadikan sekolah. Karena kepentingan umum, jadi saya juga tidak masalah, kepentingan sosial apalagi senasib. Masa saya bisa sekolah, tapi membiarkan mereka tidak mengenyam pendidikan," jelasnya.
Tatang menyebut, untuk membuat SLB seperti saat ini, tak terlepas dari bantuan sang kakak yang sudah meninggalkan dia sejak tahun 2015 lalu. Semasa hidup, Tatang sebut jika kehadiran sang kakak saling menutupi kekurangan yang dimilikinya.
"Pendirian 2003, proses itu dari 1998 dampak 2002. Kakak meninggal tahun 2015, tapi pas masih hidup, beliau juga sempat di sini. Kami mendirikan ini benar-benar satu kesatuan, saling menutupi, saling membantu. Karena memang dari sisi biaya, alhamdulillah kalau kakak dia kan sudah diangkat PNS, kalau saya kan belum apa-apa. Tapi saya kelebihannya punya tempat, jadi biaya beliau untuk membelikan bangku, lemari dan lainnya. Kalau saya, silahkan tempat tanah dan rumahnya," terang Tatang.
Rumah Tinggal Disulap Jadi 12 Ruang Kelas
Tatang membangun 12 ruang kelas dengan ukuran 3x3 meter secara bertahap di rumahnya. Ruang kelas ini digunakan untuk belajar oleh para siswa SLB ABCD dari jenjang SD, SMP, hingga SMA. Siswa yang belajar di sini termasuk penyandang tuna netra, tuna wicara, tuna daksa, dan tuna grahita. Karena keterbatasan tempat, ada kelas yang dicampur.
"Tahun ini, kebanyakan anak-anak kecil masuk ke SD dan didominasi oleh tuna grahita, sekitar 70 persen," ujarnya.
SLB ABCD telah menjangkau siswa dari luar Kota Bandung. Namun, luas lahan 218 meter persegi masih jauh dari ideal yang seharusnya mencapai 1.200-1.500 meter persegi.
Pesan Tatang untuk Dunia Pendidikan Disabilitas
Tatang menyampaikan banyak harapan untuk dunia pendidikan disabilitas. Ia merasakan suka duka sebagai penyandang tunanetra dan pengelola pendidikan. Salah satu kebahagiaannya adalah bisa berbagi dengan masyarakat melalui SLB yang didirikannya, meski ia tidak bisa memberi dari segi ekonomi.
Tatang berharap masyarakat lebih berpihak kepada disabilitas, mengingat mereka lahir bukan atas permintaan sendiri, melainkan atas izin Allah. Ia juga bersyukur atas bantuan BOS yang diterima SLB-nya dan meminta pemerintah untuk terus memberikan perhatian kepada disabilitas demi masa depan mereka.
"Terhadap disabilitas ini, untuk masa depannya, karena masa depan mereka itu tergantung kita yang memahami, mengerti, dan menyayangi. Terakhir dari saya mungkin harapan mudah-mudahan SLB ini punya fasilitas yang lebih lengkap untuk pelayanan terhadap disabilitas," pungkasnya.