Memetik Arti Keikhlasan dalam Hidup Penjual Gorengan

Memetik Arti Keikhlasan dalam Hidup Penjual Gorengan

Anindyadevi Aurellia - detikJabar
Kamis, 23 Mei 2024 06:30 WIB
Ugi penjual gorengan di kios Teras Cikapundung
Ugi penjual gorengan di kios Teras Cikapundung (Foto: Anindyadevi Aurellia/detikJabar)
Bandung -

Rimbunnya pohon, dinginnya pagi di wilayah Babakan Siliwangi, Kota Bandung tak membuat Ugi (34) lantas memilih bermalas-malasan. Sejak subuh, ia pergi ke pasar untuk bersiap dagang di warungnya yang berdiri di Taman Cikapundung, Jalan Siliwangi.

Sejak tahun 2018, warung berdinding bambu dan beratapkan seng yang dibangun oleh mendiang ayahnya itu jadi tempat Ugi mencari nafkah sehari-hari. Mulai pukul 07.00 sampai 17.00 WIB, ia berjualan aneka gorengan, mie instant, dan aneka minuman.

"Saya dulu lulus Poltekpos, sempat kerja di BPR. Tapi bosen, saya nggak bisa kerja kantoran. Akhirnya ikut bapak, dibuatkan usaha, bapak bangun di sini karena salah satu pengelola Teras Cikapundung juga," cerita Ugi pada detikJabar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sembari bercerita, Ugi sibuk membuatkan beberapa gelas kopi, menggoreng gorengan, dan membuatkan mi pesanan pelanggannya. Semua ia kerjakan sendiri dengan cekatan, katanya ia kadang juga ditemani sang suami.

"Suami saya lagi kerja, narik grabcar. Tapi sekarang lagi sepi, jualan saya juga sepi. Dulu tuh awal-awal saya PKL gitu ngemper, jualan pop ice, terus dibuatin warung sama bapak dan sudah boleh ada yang jualan di sini. Tapi ramenya di awal aja," lanjutnya.

ADVERTISEMENT

Ugi juga menceritakan caranya mengatur keuangan, katanya setiap weekday ia menabung untuk keperluan cicilan mobil dan kebutuhan bengkel. Akhir pekan, ia gunakan untuk keperluan sehari-hari, sisanya merupakan uang modal warung yang harus diputar lagi.

Ugi dan suaminya banting tulang demi menyambung hidup mereka berdua dan membayar kontrakan. Sebab keduanya belum dikaruniai anak. Tapi, anak kelima dari tujuh bersaudara itu harus ikhlas menanggung biaya hidup keluarganya.

"Saya anak kelima dari tujuh bersaudara, ada kakak empat tapi itu beda ibu satu bapak. Saya sama suami belum punya anak, alhamdulillahnya, soalnya ya tanggungannya banyak," ucap Ugi dengan senyuman tersimpul di wajahnya.

"Dulu ada kakak saya pinjem uang untuk anaknya sekolah. Larinya ke adeknya atuh. Udah saya bayar, eh anaknya nggak mau sekolah. Nggak lulus, langsung keluar aja. Terus sekarang saya masih nanggung tiga anak adek saya," lanjutnya bercerita.

Pundak Ugi seolah dibuat begitu kuat untuk membantu saudara-saudaranya, terlebih sepeninggalan sang ayah. Namun tak terdengar keluhan dari bibirnya, ia hanya bercerita seolah permasalahan hidup sudah jadi teman baik baginya.

"Suami adek saya itu nggak kerja, adek sayanya juga nggak kerja soalnya nggak boleh sama suaminya. Anaknya tiga masih kecil-kecil, memang saya nggak nanggung semua tapi ya ada buat jajan, nanti minta apa gitu ke kakaknya larinya," ucap Ugi.

Ugi penjual gorengan di kios Teras CikapundungUgi penjual gorengan di kios Teras Cikapundung Foto: Anindyadevi Aurellia/detikJabar

"Belum lagi waktu awal-awal buka toko, itu saya cuma bisa dagang Sabtu Minggu, soalnya bersaing sama saudara ayah saya. Jadi terus ngalah aja, tapi alhamdulillah rejeki nggak kemana. Sekarang saya bisa buka tiap hari meski nggak rame pembeli," ujarnya mengucap syukur.

Ia berusaha bertahan hidup dari objek wisata Taman Cikapundung. Pandemi sempat membuatnya kehilangan pemasukan, namun Ugi tetap gigih merintis usahanya. Lambat laun, warungnya sudah dihapal dan kerap jadi tempat nongkrong anak sekolah. Dari situ Ugi mengumpulkan rupiah demi rupiah.

"Dulu waktu awal dibuka tahun 2018 saya jualan, rame banget. Sehari bisa dapat Rp1-3 juta, sekarang itu aktivitas sudah nggak ada, pandemi semuanya sepi, ini juga sempat kumuh dulu nggak terurus," kenang Ugi.

"Sekarang itu paling rame Rp200-300 ribu. Kalau harian mungkin Rp100 ribu, dulu pernah sepi banget cuma dapet sehari Rp30 ribu atau malah nggak ada. Jatuh jauh banget pemasukan," lanjutnya.

Saat ditanya apa motivasi yang membuatnya tetap semangat berdagang meski hanya sedikit menikmati hasilnya, Ugi mengaku ia tak mampu melihat saudaranya kesusahan. Rasa iba tak mampu dibendungnya, Ugi memilih untuk selalu bisa menolong siapa saja yang membutuhkannya dengan ikhlas.

"Ya mungkin rejeki saya itu cuma untuk makan sehari-hari, mungkin yang lain itu memang rejeki saudara saya. Saya nggak tegaan, saya pasti berusaha ngasih kalau memang mampu. Makanya saya berdoa, semoga warung itu laris terus karena ya saya nggak hidup sendiri, nggak mikirin sendiri, ada tanggungan lain yang juga harus saya kasih," doa Ugi dengan lirih.




(dir/dir)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads