Seorang wanita asal Surabaya menjadi korban teror dan pelecehan seksual oleh pria yang merupakan teman saat mereka bersekolah di SMP. Wanita tersebut diteror melalui telepon seluler dan media sosial selama 10 tahun atau sejak 2014. Karena hal itu, wanita tersebut melaporkan pelaku ke polisi.
Dilansir detikHealth, psikolog klinis Anastasia Sari Dewi memberi pandangan atas kasus tersebut. Dia menyebutkan ada beberapa tanda 'red flag' obsesi dari pelaku. Sari meluruskan bahwa secara umum perilaku obsesi sebenarnya sudah termasuk tidak normal.
Namun, secara lebih lanjut terdapat beberapa hal yang mungkin bisa dilihat dan dirasakan ketika orang lain atau diri sendiri sudah merasakan obsesi yang berlebihan. Salah satunya adalah pikiran soal 'target obsesi' yang muncul di kepala secara berulang-ulang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pikiran tentang topik-topik tertentu itu berulang-ulang terus di kepala. Seringkali sampai menimbulkan perilaku sama berulang dalam jarak waktu yang berdekatan. Biasanya ampai mengganggu aktivitas kewajiban, tugas dia sehari-hari," jelas Sari.
Sari menuturkan orang dengan obsesi akan terlalu fokus pada target secara terus menerus sehingga cenderung melalaikan tugas dan kewajibannya. Penurunan fokus ini menurutnya juga dapat menimbulkan penurunan kinerja dan pikiran yang teralih ke hal lain.
"Tidak normal lagi itu seperti menguntit orang itu terus kemana-mana, melakukan spam terus dengan harapan mendapatkan perhatian, walaupun diminta stop dia akan terus begitu itu termasuk obsesi sudah tidak normal," sambungnya.
Seluruh kondisi tersebut juga berpengaruh pada kehidupan sosial orang yang memiliki obsesi. Alih-alih fokus pada apa yang penting untuk dikerjakan, ia akan lebih sibuk 'menyusun strategi' untuk mendapatkan perhatian dari target.
"Jam tidur biasanya juga akan terlihat, kualitas tidurnya, pikiran pagi sampai malam itu gimana. Jadi beberapa tanda itu memang ada yang bisa dilihat, dan ada juga yang hanya orang itu yang bisa mengakui tanda-tanda tersebut," tandasnya.
Artikel ini telah tayang di detikHealth. Baca selengkapnya di sini.