Nasib guru, terlebih mereka yang masih berstatus tenaga honorer di pelosok Cianjur, Jawa Barat begitu memprihatinkan. Dengan upah yang hanya sekitar Rp 150 ribu per bulan, mereka dibebankan dengan tanggungjawab berat.
Bahkan tidak sedikit guru honorer yang harus bertanggungjawab untuk beberapa kelas sekaligus, dengan disertai fasilitas sekolah yang sangat tidak layak.
Hal itu yang dialami Usman guru SDN Budisetra dan Suhendi guru SDN Ciawitali Kecamatan Agrabinta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Usman, guru SDN Budisetra mengaku sudah 12 tahun mengajar di sekolah yang berjarak 158 kilometer dari pusat kota Cianjur tersebut.
Latar belakang pendidikannya membuat Usman hingga kini belum bisa diangkat menjadi pegawai negeri, ataupun program PPPK.
"Saya sudah mengajar selama 12 tahun. Masih honorer dari awal sampai sekarang. Karena masih belum S1. Syarat PPPK kan S1," kata dia, Rabu (15/5/2024).
Usman mengungkapkan, di sekolah tersebut hanya ada dua orang guru yang sama-sama berstatus honorer. Dengan begitu, satu guru harus bertanggungjawab atas tiga kelas sekaligus.
"Satu guru jadi wali kelas untuk tiga kelas sekaligus. Selain itu harus bisa ngajar semua mata pelajaran. Karena tidak ada guru olahraga dan agama. Jadi harus mengajarkan semua," kata dia.
![]() |
Sayangnya, dengan beban dan tanggungjawab itu, upah yang diterima sangat tidak layak. Dalam tiga bulan terakhir dia dan seorang guru lainnya hanya mendapatkan upah sebesar Rp 400 ribu atau rata-rata per bulan hanya Rp 150 ribu.
"Sedih kalau ngomongin gaji mah. Terakhir juga dapat Rp 400 ribu per orang untuk tiga bulan ngajar. Jadinya kami lebih ke pengabdian untuk pendidikan. Kalau untuk kebutuhan sehari-hari mah jelas tidak cukup. Untuk kebutuhan kita mah ngandelin dari bertani," kata dia.
Senada, Suhendi, guru SDN Ciawitali, mengaku di sekolahnya juga hanya ada dua orang guru yang mengajar.
"Jadi bertiga, saya dan teman saya yang honorer serta kepala sekolah yang berstatus PNS. Kalau kepala sekolah juga membawahi dua SD dengan SDN Budisetra," kata dia.
Untuk upah, Suhendi, mengaku juga hanya mendapatkan rata-rata Rp 300 ribu per bulan. "Tidak banyak, makanya mengabdi untuk pendidikan. Tidak menjadikan mengajar sebagai pekerjaan utama untuk memenuhi kebutuhan," kata dia.
Dia menambahkan, selain tanggungjawab dan upah yang minim, para guru juga dihadapkan dengan fasilitas sekolah yang tidak layak.
"Sekolah ini runtuh, siswa terpaksa belajar di tenda darurat. Tentu memprihatinkan. Kami harap selain kesejahteraan yang diperhatikan, juga fasilitas belajar untuk siswa segera diperbaiki," pungkasnya.
(yum/yum)