Sosiolog Ungkap Faktor Pemicu Pungli di Area Wisata Jabar

#BasmiPungli

Sosiolog Ungkap Faktor Pemicu Pungli di Area Wisata Jabar

Wisma Putra - detikJabar
Sabtu, 11 Mei 2024 16:00 WIB
Poster
Ilustrasi pungli. Foto: Edi Wahyono
Bandung -

Serangkaian kasus pungli di kawasan objek wisata terjadi di Jawa Barat, dari mulai terjadi di Masjid Raya Al Jabbar, Kota Bandung, kebun teh Kertasari, Kabupaten Bandung hingga akses jalan menuju Curug Ciburial, Kabupaten Bogor. Lalu seperti apa pandangan Sosiolog terkait kasus maraknya punglu di lokasi wisata?

Sosiolog Unpad Budi Rajab mengatakan maraknya praktik pungli diakibatkan penegakan hukum yang lemah.

"Pemerintah harus menindak, jangan dibiarkan, karena akan terjadi di tempat lain. Pemerintah jika diam dan tidak bergerak itu salah," kata Budi kepada detikJabar, Rabu (8/5/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pokoknya pemerintah harus berani tegakan hukum, jika hukum ditegakkan praktik pungli tidak akan terjadi di manapun. Kalau tidak ada tindakan tegas masyarakat juga bakal merasa bebas (pelaku pungli)," ungkapnya.

Menurut Budi, masyarakat yang melakukan praktik pungli itu dilakukan untuk mencari uang, namun tidak melihat aturan dan mereka menganggap yang penting mencari uang tanpa peduli harus merugikan orang lain.

ADVERTISEMENT

"Itu orang yang mencari uang, tidak ada aturan yang penting cari uang. Pungli nggak ada legalnya, semua ilegal. Cari duit memanfaatkan kendaraan yang melintas," ujarnya.

Menurut Budi, jika tidak ditindak tegas maka praktik pungli itu akan dianggap umum dan terjadi berulang seperti terjadi di Masjid Raya Al-Jabar. "Harus ditindak, supaya ada efek jera," ucapnya.

Terpisah, Psikiater RSIA Limijati Kota Bandung dr Elvine Gunawan mengatakan seperti praktik pungli di Masjid Al-Jabbar yang dilakukan warga sekitar dan kasus serupa terus terulang maka harus dilihat dari ciri kepribadian setiap orang.

"Setiap orang kan punya ciri kepribadian masing-masing, ada memang ciri kepribadian dengan pertumbuhan moral yang baik sehingga mereka tahu moral, tahu hukum, tahu etika, ada orang yang memang punya ciri kepribadian contohnya disebut antisosial, antisosial yang dimaklumi orang itu antisosial yang dia menarik diri dari lingkungan sosial. Justru dia keras sekali bertentangan dengan aturan sosial, dia berani langgar aturan, dia merasa aturan bisa dilanggar sesuai keuntungan dia, tidak punya empati dan tidak punya rasa bersalah," kata Elvine.

Menurutnya, untuk gangguan kepribadian antisosial angkanya cukup tinggi, terutama pada daerah yang memiliki perekonomian rendah, pendidikan rendah, proses parenting di wilayah tersebut cenderung negatif dan memiliki angka risiko kriminalitas tinggi.

Sehingga kata Elvine, nilai-nilai sosial di sana dibangun dengan konsep sosial budaya destruktif.

Menurutnya, pada proses pembangunan atau Majid Al-Jabbar bisanya melihat faktor sosial budaya di wilayah itu seperti apa. Jika memang faktor sosial budayanya seperti itu dan tidak diintervensi maka kasus serupa akan terus terjadi.

Dalam hal ini, kita juga tidak bisa melulu menyalahkan masyarakat sekitar yang melakukan pungli, bisa jadi hal tersebut dilakukan masyarakat sekitar karena terpaksa.

"Kita tidak adil kalau melihat dari sisi itu, secara ekonomi mereka kekurangan dan itu salah satu ranah ekonomi dan membuktikan apakah pembangunan di satu daerah dibarengi dengan pembangunan SDM-nya atau tidak. Jadi apakah memang ketika dibangun sesuatu, rakyatnya masih miskin, wajar mereka mengais rezeki," jelasnya.

Elvine juga menerangkan, apakah ketika ada pembangunan dapat memberikan kesempatan kerja bagi warga yang tinggal di darah itu apakah tersedia atau tidak. Jika tidak, aksi premanisme lah yang akan dilakukan oleh mayarakat tersebut.

"Jadi kalau mereka lulusan SD, cuman punya otot ya sudah premanisme," tuturnya.

Elvine menyebut, sebuah observasi harus dilakukan oleh pemerintah apakah memang benar kehadiran Al-Jabbar ini menjanjikan atau yang awalnya ekspektasi masyarakat bisa jadi sumber perekonomian, dan hal itu sesuatu yang wajar ketika mereka melihat sebuah pembangunan harusnya bisa merasakan dampak positifnya.

"Tapi kalau kita membangun di daerah kumuh, terlantar, miskin dan terpinggirkan, fenomena seperti ini menjadi kesempatan. Kalau kita lihat dari kereta pinggir Al-Jabbar itu rumah-rumah bedeng, jadi mereka melihat ini bakal menjadi perbaikan ekonomi, karena selama ini mereka warga termarjinalkan," tuturnya.

Elvine juga menyoroti terkait lapangan pekerjaan. Apakah dengan adanya masjid tersebut memberikan lapangan pekerjaan atau tidak bagi masyarakat, atau apakah selama ini mereka juga terlahir dan hidup dari belas kasih orang lain.

"Mereka lihat, masa orang mau beramal di masjid tapi kita hidup kesusahan, jadi melihat ini sebagai pekerjaan. Coba sosial ekonominya, kita lihat misal yang melakukan fenomena ini di usia 40-50 tahun. Sekarang minimal pekerjaan yang rada baik itu maksimal 35-40 tahun, mereka mau kerja apa kalau tidak premanisme. Karena premanisme itu kerjaan yang tidak perlu ada batasan usia dan tidak perlu ada modal. Terus standar pendidikan saat ini S1, mereka lulus SD aja alhamdullilah," terangnya.

"Solusi harus dilakukan pemerintah diajak ngobrol warga lokalnya apakah ada sesuatu ketimpangan di sana, enggak adil juga kalau langsung men-judge, ada masalah sosial yang tidak pernah tercetuskan. Kalau dilihat komentar netizen sama, daerah sini bukan daerah yang siap dibangun, tapi tidak ada upaya intervensi terhadap faktor sosial budaya dan manusianya di sana, semoga ke depan bisa lebih baik ya," pungkasnya.

(wip/sud)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads